Beranda blog Halaman 68

Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa

0
membaca surah-surah pilihan di pesantren
membaca surah-surah pilihan di pesantren

Sebagai kitab suci umat Islam, Alquran merupa dalam banyak bentuk pemaknaan. Sebagian muslim menilainya sebagai kitab yang mesti diamal-bacakan setiap harinya demi perolehan pahala. Sebagian lainnya membuka kitab suci tersebut, lantaran di dalamnya tersimpan sekian pengetahuan yang perlu didedah. Sementara beberapa yang lain menilai Alquran sebagai ‘mukjizat’ bagi pembacanya. Untuk status Alquran yang terakhir tersebut, orang yang membaca surah-surah pilihan atau ayat tertentu secara ajeg, dia meyakini bahwa Alquran akan memberi dampak positif baginya dan atau bisa menolak segala bentuk bala bencana.

Seperti halnya yang dilakukan oleh santri putri di Pondok Pesantren Daar al-Furqon di Desa Janggalan, Kudus. Para santri putri ini membaca beberapa surah yang dinilai memiliki manfaat baik bagi dirinya, sekaligus pesantren yang jadi lokasi mukim mereka. Pembacaan rutin ini ditunaikan setiap hari, dengan pemilihan waktu setelah salat fardu. Waktu yang dinilai mustajab untuk memunajatkan doa dengan lantaran kalam dari kitab suci Alquran.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Sketsa Kecil Pesantren Dar al-Furqon

Pondok Pesantren Daar al-Furqon sendiri berdiri pada 1984 dibawah asuhan K.H.S Abdul Qadir bin Umar Basyir. Secara sanad keilmuan, K.H.S Abdul Qadir bin Umar Basyir mengenyam pendidikan di Madrasah Tasywiquth Thulab Salafiyyah sebagai modal awal mendalami ilmu dan hafalan Alquran. Selain itu, ia juga tercatat pernah nyantri di Jombang dibawah asuhan KH Dahlan. Setelahnya, kembali lagi ke Kudus dan nyantri dibawah asuhan KH Arwani Amin sebelum memutuskan mendirikan pesantren. Pesantren ini di tahun 2009 diteruskan oleh putranya, KH Abdul Basith bin Abdul Qadir bin Umar Basyir.

Sementara untuk pesantren putrinya, baru berdiri dua dekade setelahnya, tepatnya pada 2005 dengan jarak 100-an meter dari lokasi pondok pesantren pusat. Pesantren putri ini diasuh oleh Nyai Hj. Khoirin Nida (istri KH Abdul Basith). Pada awal pendiriannya, tercatat hanya sejumlah 7 orang yang menjadi santriwati di pesantren putri Daar al-Furqon ini. Kendati demikian, lamat-lamat pesantren putri tersebut terus mengalami perkembangan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pengajarannya.

Baca Juga: Asal Muasal Amalan Baca Surah Alkausar Tujuh Kali saat Sahur

Ihwal Kitab Kanzu al-Nafais

Siti Fauziyah dalam artikelnya Pembacaan Alquran Surat-Surat Pilihan di Pondok Pesantren Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Quran) (2014) mencatat, ada lima surah yang rutin diamal-tunaikan oleh para santri putri. Kelima surah tersebut dirangkum di kitab Kanzu al-Nafais bersamaan dengan bacaan wirid, doa-doa, dan amalan lainnya.

Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi produksi kitab Kanzu al-Nafais ini. Pertama, sebagai pegangan bagi para santri dalam belajar membaca Alquran. Dengan membaca surah-surah pilihan di kitab tersebut dengan saksama, maka lamat-lamat bacaan para santri akan lebih lancar. Nyai Hj. Khoirin Nida menilai bahwa masih ada santri putri yang belum lancar membaca Alquran. Jika membacanya saja masih kurang lancar, maka santri tersebut akan kesulitan dalam mengahafalkannya, terlebih memahami kedalaman makna yang ada di dalam Alquran.

Kedua, kitab ini disusun dari lima surah yang dinilai oleh Nyai Hj. Khoirin Nida memiliki keutamaan tertentu ketika dibaca. Lima surah tersebut antara lain; Surah Yasin dibaca setelah menunaikan salat mahgrib, Surah al-Mulk setelah salat isya’, Surah al-Waqiah ba’da salat subuh, Surah ad-Dukhan usai merampungkan salat dhuhur, dan Surah ar-Rahman di waktu salat ashar.

Ketiga, sebagai bentuk pengejawantahan rasa taat kepada para kyai yang dulu pernah mengajari Ny Hj. Khoirin Nida ilmu-ilmu Alquran seperti ketika nyantri di Pondok Pesantren Ali Maksum, Krapyak, Yogyakarta. Nyai Hj. Khoirin Nida memang pernah tercatat menjadi santri selama 4 tahun di pondok pesantren tersebut.

Laku semacam pengamalan atas surah-surah pilihan atau ayat tertentu dari Alquran memang lumrah kita jumpai di negeri ini. Tentu saja, pengamalan itu bentuknya bermacam-macam, selain memang tujuannya juga beragam. Tapi saya rasa, hal tersebut malah menjadi satu wujud pembuktian bagi mereka yang emoh atau benci khususnya pada kebenaran Alquran.

Mengutip ucapan KH Bahauddin Nursalim, “Alquran sebagai mukjizat itu penting. Karena mereka yang tidak menggunakan akalnya, hanya akan menuntut Alquran itu bisa apa, bisa apa. Kalau ada yang mengamalkan rutin demi tujuan tertentu, misalnya ingin kebal dan berhasil, nah itu buktinya.” Kurang lebih demikian.

Isyarat Tanggung Jawab Sosial dalam Alquran (1): Makna Al-‘Alaq

0
Isyarat Tanggung Jawab Sosial dalam Alquran (1): Mengulik Makna Al-‘Alaq
Surah Al-'Alaq

Selama ini kata al-‘alaq pada umumnya dimaknai dengan segumpal darah. Keumuman makna al-‘alaq ini tidak terlepas dari unsur kebahasaan yang melekat padanya. Akan tetapi, sesungguhnya kata al-‘alaq memiliki cakupan makna yang lebih luas dari sekadar hanya segumpal darah. Dikutip dari Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, kata al-‘alaq sesungguhnya tersirat akan tanggung jawab sosial. Perhatikan Q.S. Al-‘Alaq [96]: 2 berikut:

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ

Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. (Q.S. al-‘Alaq [96]: 2)

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut memiliki titik tekan pada proses kejadian penciptaan manusia. Alquran, lanjut Shihab, mengkalamkan kejadian manusia sangat komprehensif meliputi banyak aspek, baik vertikal maupun horizontal, ritual-sosial maupun muamalah. Bahkan, Alquran telah menuturkan sedemikian rupa potensi manusia yang luar biasa, semisal intelektual, kekuatan hati, kekuatan pikiran, sampai potensi jasadiyah manusia di antaranya sifat tergesa-gesa (Jawa: kesusu, grusa-grusu), tidak enakan (Jawa: sungkan, pekewuh), sifat lemah, merasa jumawa, dan sebagainya.

Baca juga: Empat Falsafah Pendidikan Islam dalam Q.S. Al’alaq: 1-5

Beberapa hal tersebut dapat mengantarkan seseorang untuk menangkap kesan bahwa ayat ke-2 dari surah Al-‘Alaq ini tidak hanya sekadar membincang terkait reproduksi dan awal mula kejadian manusia saja, melainkan juga berbicara terkait sifat bawaan manusia sebagai makhluk sosial. Pandangan tersebut didasarkan pada analisis kebahasaan terkait makna al-‘alaq. Kata tersebut menurut pakar kebahasaan tidak hanya bermakna tunggal, yakni segumpal darah, melainkan terdapat pemaknaan lainnya, di antaranya darah yang membeku; makhluk yang hitam seperti cacing yang terdapat dalam air; dan sesuatu yang bergantung atau berdempet.

Di lain itu, Allah menyandingkan kata al-insan sebelum kata al-‘alaq. Jika dirunut secara semantik, kata al-insan terambil dari kata uns, yaitu senang, jinak, dan harmonis; atau dari kata nisya yang berarti lupa. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata naus, yakni gerak atau dinamika. Makna-makna di atas, kata Shihab, setidaknaya memberikan gambaran umum (overview) tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni bahwa ia memiliki sifat lupa dan kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika. Ia juga adalah makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme, dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain.

Baca juga: Kisah Khadijah dan Pembacaan Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir atas Q.S. Al-‘Alaq: 1-5

Manusia adalah makhluk pertama yang disebut Allah dalam Alquran melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, dan alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingan manusia itu sendiri, tetapi juga karena kitab suci Alquran ditujukan kepada manusia guna menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh Alquran untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah dengan memperkenalkan jati dirinya antara lain melalui uraian proses kejadiannya. Ayat kedua surah Iqra’ menguraikan secara sangat singkat hal tersebut.

Lebih jauh, bisa juga kata ‘alaq, menurut Shihab, dipahami sebagai berbicara tentang sifat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tetapi selalu bergantung kepada selainnya. Hal ini serupa dengan firman Allah “khuliqa al-insanu min ‘ajalyang artinya manusia diciptakan (bersifat tergesa-gesa) (Q.S. Al-Anbiya [21]: 37).

Baca juga: Mengenal Tiga Istilah Manusia dalam Alquran: Nas, Insan, dan Basyar

Dari analisis kebahasaan tersebut, menurut hemat Shihab, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah Swt. dengan memiliki sifat dependensial (ketergantungan) kepada pihak lain hingga akhir perjalanan hidupnya, bahkan melampaui hidupnya di dunia ini. Sebagai zoon politicon (makhluk sosial), mau tidak mau manusia berada dalam keadaan interdependensi. Artinya, manusia tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya secara mandiri tanpa bantuan pihak lain.

Kesan tersebut jelas tidak akan didapatkan apabila kata ‘alaq dipertukarkan dengan kata turab (tanah), misalnya, atau yang lainnya. Kata ‘alaq juga dimaknai sebagai salah satu periode kejadian manusia yang mengantarkan manusia kepada asal mula kejadiannya yang pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya bukanlah satu-satunya makhluk tunggal yang ada di dunia ini. Implikasinya, ia menyadari bahwa ia hidup di tengah lingkungan sosial yang saling membutuhkan. Wallahu a’lam.

Manuskrip Alquran dari Daun Lontar di Museum Gusjigang Kudus

0
Manuskrip Alquran dari Daun Lontar di Museum Gusjigang Kudus
Manuskrip Alquran dari Daun Lontar di Museum Gusjigang Kudus

Sejarah media penulisan di Indonesia mempunyai corak yang beraneka ragam. Seperti penulisan aksara pada batu, kayu, kulit sapi hingga daun lontar.  Daun lontar adalah daun tal atau siwalan (Borossus Flabellifer Polmyra), daun ini termasuk salah satu daun yang bisa digunakan sebagai media untuk tempat menulis. Daun lontar yang dikeringkan bisa dimanfaatkan sebagai karya kerajinan atau pun bahan naskah.

Jauh sebelum mengenal kertas, orang terdahulu sudah terbiasa menulis di daun lontar seperti menulis suluh, manuskrip, sastra yang biasa digunakan untuk prasi, atau tulisan yang disertai dengan narasi. Pada zaman dahulu daun lontar digunakan untuk menulis sejarah kehidupan seperti pelantikan, perjanjian, dan peristiwa penting lainnya pada masa kerajaan. Daun lontar di Nusantara banyak ditemukan dari wilayah Jawa, Sunda, Bali, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Manuskrip Alquran dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang Kudus

Proses Penulisan Manuskrip Mushaf Alquran dari Daun Lontar

Daun lontar dipilih sebagai tempat untuk menulis naskah manuskrip karena bentuk daunnya yang awet dan tidak mudah rusak. Manuskrip Alquran dari daun lontar terbilang unik dan langka karena jumlahnya yang tidak banyak di Indonesia. Terdapat rangkaian proses pengolahan daun lontar sebelum dijadikan tempat untuk menulis.

Pertama, daun lontar yang sudah dipetik dikeringkan dengan menggunakan panas matahari dengan tujuan merubah warna daun yang asal mulanya hijau menjadi kuning, kemudian daun lontar direndam didalam air yang mengalir selama beberapa hari dan dibersihkan dengan menggunakan serabut kelapa serta dijemur di bawah sinar matahari kembali.

Setelah kering, daun-daun tersebut direbus untuk kedua kalinya dengan menggunakan air rempah agar terhindar dari sisa kotoran dan memastikan struktur daun supaya tetap bagus. Selanjutnya, untuk tahap penulisan dilakukan secara teliti di atas daun lontar kering dengan menggunakan alat pengutik. Semacam alat khusus logam jarum yang dipanaskan. Pada zaman dahulu alat ini juga dipakai secara tradisional untuk menorehkan tulisan aksara jawa kawi.

Baca Juga: Manuskrip Alquran dari Kertas Kuno di Museum Gusjigang Kudus

Karakteristik Manuskrip Mushaf Alquran Dari Daun Lontar di Museum Gusjigang

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, manuskrip mushaf Alquran dari daun lontar diperkirakan berumur 3 abad atau 300 tahun. Manuskrip ini dalam kondisi terawat karena masih utuh terdiri atas 30 juz dan dengan sampul halaman yang terbuat dari pelepah batang pohon lontar serta masih terlihat bagus hingga sekarang.

Disalin di atas daun lontar, pada satu halamannya terdiri dari 17 daun lontar, yang mana pada satu lontar terdiri dari 3 baris. Sehingga, 3×17= 51. Jadi, dalam naskah mushaf Alquran daun lontar terdiri dari 51 baris pada setiap halamannya. Ukuran daun lontar itu sendiri sekitar 3,5 x 30 cm. Manuskrip Alquran daun lontar ini disatukan menggunakan benang wol membentuk garis vertikal ditengahnya serta dilapisi dengan kain supaya kokoh dan rapi menyerupai bentuk buku. Manuskrip mushaf ini tidak memiliki syakl atau tanda baca sebagaimana mushaf-mushaf yang lainnya.

Baca Juga: Manuskrip Mushaf Al-Quran dari Daun Lontar: Koleksi Kiai Abdurrachim asal Grobogan, Jawa Tengah

Berdasarkan sumber yang kami dapatkan dari pihak pengelola museum Gusjigang, bahwa manuskrip mushaf Alquran dari daun lontar ini awal mulanya dibuat atas imbauan kyai kepada santri-santrinya untuk menulis Alquran ketika akan lulus dari pendidikan pondok pesantren. Jadi semacam tugas akhir para santri sebelum haflah. Manuskrip mushaf ini didapatkan dari kolektor asal Salatiga. Kepemilikan manuskrip mushaf tersebut ternyata sudah mencapai tujuh turunan hingga pada akhirnya dipegang oleh Bapak Panji Hanief Gumilang yang awalnya terdapat di rumah Museum Java Mooi Heritage Salatiga, kini sudah bisa dijumpai di Museum Jenang dan Wisata Edukasi Gusjigang Kudus.

Pesan-Pesan Alquran dalam Kisah Hatim al-Asham

0
Pesan-pesan Alquran dalam kisah Hatim al-Asham
Pesan-pesan Alquran dalam kisah Hatim al-Asham

Diriwayatkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad tentang kisah Hatim al-Asham, tepatnya tentang delapan ilmu yang dengannya sudah cukup untuk menjadi bekal dalam menjalani kehidupan. Beliau merupakan salah satu murid dari Syaqiq al-Bakhli. Pada suatu hari beliau ditanya oleh gurunya tentang ilmu yang diperolehnya. “ Wahai anakku, setelah kau berguru kepadaku selama tiga puluh tahun, ilmu apa saja yang kau peroleh selama ini?” Demikian tanya sang guru. Hatim al-Asham menjawab, “Ada delapan hal.”

Mendengar jawaban muridnya itu, Syaqiq al-Bakhli kaget, “Ku habiskan waktuku bersamamu dan kau hanya mendapatkan delapan macam ilmu?” Sang-murid itu langsung menjelaskan bahwa beliau memang hanya mendapat delapan pelajaran, namun menurutnya, hal itu sangat berharga dan sudah mencukupi kebutuhanya serta dapat menjadi jalan keselamatannya. Delapan intisari ilmu yang berharga itu sebagai berikut.

Baca Juga: Tiga Aspek dalam Kandungan Ayat Alquran

  1. Menjadikan amal saleh sebagai kawan sejati

Setiap manusia pasti memiliki kecintaan terhadap sesuatu. Hal yang paling utama untuk dicintai oleh seseorang adalah kawan yang dapat menyertainya di dalam kubur. Hatim al-Asham berkomentar tentang hal ini, “Aku tidak mendapati hal itu selain pada amal saleh. Maka aku menjadikan amal saleh sebagai kawan yang paling aku cintai dan gandrungi, supaya dia menjadi cahaya penerang di dalam kuburku, pendamping yang menemaniku dan tidak meninggalkanku sendirian di sana.”

Komentar Hatim senada dengan hadis Nabi yang menyatakan bahwa tiga hal yang akan menyertai orang yang meninggal, dua hal akan kembali meninggalkan janazah lagi, yaitu keluarga dan hartanya, sedangkan yang satu tetap bertahan bersama orang yang meninggal, yaitu amal saleh. (HR Bukhari dari Anas Ibn Malik).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya juga menjelaskan tentang keutamaan amal saleh, tepatnya ketika menafsirkan surah Al-Mu’minun ayat 100. Beliau mengilustrasikan hal tersebut dengan ulasan bahwa seorang hamba pasti akan merasa menyesal di saat meregang nyawanya. Dia meminta agar usianya diperpanjang sekali pun sebentar, hanya untuk bisa berbuat baik, karena pada saat itu, dia baru sadar bahwa hanya amal saleh yang bisa menjadi teman yang memberikan kebahagiaan di alam kuburnya.

2. Menyelisihi dan menundukkan hawa nafsu

Terkait hal ini, al-Asham mengutip sekaligus merenungi ayat 40-41 surah an-Naziat “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.”

Menurut Al-Asham, seseorang yang takut kepada Allah, harusnya dia juga menuruti semua perkataanNya, termasuk dalam menyelisihi dan melawan keinginan nafsunya. Hawa nafsu sejatinya bisa dibiasakan, seperti halnya membiasakan berbuat baik, awalnya pasti sulit dan berat, namun jika ia sungguh-sungguh dan berusaha, maka hawa nafsunya akan terbiasa dan tunduk dalam ketaatan kepada Allah.

3. Tabungan amal untuk akhirat

Pelajaran ketiga yang diperoleh oleh Hatim al-Asham yaitu beliau peroleh dari kandungan surah an-Nahl ayat 96. “Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl [16]: 96)

Berdasar pada ayat tersebut, seharusnya manusia mendermakan kenikmatan dunia untuk mencari rida Allah semata. Hatim al-Asham terkenal sebagai orang yang sangat dermawan, beliau membagi-bagikan hartanya kepada orang-orang miskin. Hal ini dilakukannya untuk menjadi tabungan pahala di sisi Allah.

Baca Juga: Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

4. Ketakwaan sebagai satu-satunya kemuliaan

Jika sebagian orang mengira bahwa kemuliaan dan kehormatan terletak pada banyaknya pendukung, berlimpahnya harta dan jabatan. Hatim al-Asham justru tidak meyakini hal tersebut, kemuliaan itu terletak pada ketakwaan seseorang. Sebagaimana firman Allah, “…Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa ” (QS. al-Hujurat [49]: 13)

5. Rida atas rezeki yang Allah berikan

Al-Asham melihat sebagian manusia mencela sebagian lainnya. Sebagian manusia menggunjing sebagian lainnya. Pangkal dari semua itu tidak lain adalah iri dengki dalam urusan harta, jabatan dan ilmu. Lalu ia merenungkan firman Allah, surah az-Zukhruf ayat 32, “…Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia…”

Kita telah mengetahui bahwa setiap manusia sudah mempunyai bagiannya masing-masing, mulai dari rezeki dan nasib mereka. Semua telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali. Oleh karenanya jangan pernah merasa iri kepada siapapun dan kita harus ridha dengan pembagian jatah dariNya.

6. Satu-satunya musuh adalah setan

Pelajaran keenam ini berdasar pada surah Fatir [35] ayat 6, “Sungguh, setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Kita menyaksikan betapa banyak manusia satu sama lain saling menzalimi, saling bertikai, itu karena mereka menganggap orang lain sebagai musuh. Padahal manusia adalah saudara yang satu dengan yang lain (ukhwah basyariyah), sebagaimana Hatim al-Asham yang merenungkan firman Allah di atas, bahwa sejatinya yang patut dimusuhi oleh manusia adalah setan, karena ia mengajak kepada jalan kemungkaran.

Baca Juga: Makna Ihsan dalam Alquran

7. Tekun ibadah dan tidak tamak terhadap dunia

Hatim al-Asham berkata, “Aku melihat setiap orang bekerja keras, membanting tulang demi memenuhi kebutuhan hidup, sampai-sampai terjatuh dalam perkara syubhat dan haram, menghinakan dirinya dan merendahkan harga dirinya. Maka aku merenungkan firman Allah, “Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya..”(QS. Hud [11]: 6)

Kita pun sadar bahwa rezeki berada di tangan Allah dan Dia telah menjaminnya. Oleh karena itu tidak sepantasnya kita mengharap kepada manusia dan jauh dari harapan kepada Allah.

8. Bersandar kepada Allah semata

Pelajaran terakhir dari Hatim al-Asham, beliau melihat setiap orang bersandar kepada harta, pangkat, dan makhluk-makhluk Allah yang lain. Padahal dalam al-Quran jelas-jelas disebutkan bahwa jika seorang hamba berserah diri kepada Allah semata, maka Dia-lah yang mencukupi segala kebutuhannya dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandarnya manusia yang lemah.

Sebagaimana firmanNya, “Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. at-Talaq [65]: 3)

Wallah a’lam.

Antara Kajian Ilmu Alquran Klasik dan Hermeneutika

0
kajian ilmu Alquran klasik dan hermeneutika Alquran
kajian ilmu Alquran klasik dan hermeneutika Alquran

Mendesaknya kebutuhan akan penggunaan alat baru dalam menafsirkan Alquran di era ini bukanlah sebuah omong kosong belaka. Oleh beberapa tokoh seperti Hasan Hanafi, Arkoun, dan Nashr Hamid Abu Zaid, hermeneutika Alquran dianggap dapat memenuhi kebutuhan mendesak tersebut -setidaknya untuk sementara waktu sampai ditemukan instrumen penafsiran lain yang dianggap lebih baik.

Keunggulan hermeneutika bukan terletak pada komponen di dalamnya. Sebagaimana disebutkan oleh Fahruddin Faiz, komponen teks, konteks, dan kontekstual yang terdapat dalam hermeneutika pada dasarnya sudah dipraktikkan sejak lama oleh mufasir dan pemikir muslim dalam kajian ulûm al-Qur’ân klasik maupun tafsir, hanya keberadaannya tidak ditemukan dalam bentuk definisi yang baku, melainkan dalam bentuk kesadaran. Kesadaran akan pentingnya konteks dapat dirasakan dari kajian yang berkaitan dengan asbâb al-nuzûl, makki madani, dan nâsikh-mansûkh.

Begitu pun dengan kesadaran kontekstualisasi juga ditemukan dalam karya-karya mufasir modern, seperti Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar yang bercorak sastra dan sosial kemasyarakatan, dan Thanthawi Jawhari dengan Tafsîr al-Jawâhir-nya yang sarat akan muatan-muatan ilmiah.

Baca Juga: Hermeneutika dan Kontribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Mengapa perlu hermeneutika?

Jika demikian, mengapa urgensi penggunaan hermeneutika tetap diperlukan meski substansinya juga terdapat dalam ulûm al-Qur’ân dan tafsir? Hal ini dikarenakan selama ini komponen teks, konteks, dan kontekstual diterapkan secara terpisah. Kesadaran akan konteks ayat hanya akan membawa seseorang ke ‘masa lalu’, ke masa di mana sebuah teks dilahirkan, apa tujuan ‘pengarang’-nya dan seperti apa pemaknaan para pembaca teks yang menjadi audiens pertama teks.

Pemaknaan yang berhenti di tahap ini akan membawa pembaca kepada masa lalu dan terjebak dalam keterasingan dari aspek ruang dan waktu di mana dia hidup saat ini. Dalam tahap ini, tidak ada pemaknaan baru yang diperoleh dan diterapkan. Pemaknaan yang dihasilkan merupakan reproduksi pemaknaan lama yang dibawa ke masa sekarang. (Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial, 20-21). Oleh Andrew Rippin, pemaknaan seperti ini tidak lebih dari satu mata rantai dalam rantaian historis respon pembaca Alquran. (dalam catatan @studitafsir)

Begitu pun halnya dengan kesadaran kontekstualisasi yang mengabaikan konteks ayat akan menghasilkan pemahaman Alquran yang tercabut dari akar konteks di masa lalu dan berpotensi keluar dari maksud dan spirit teks yang sebenarnya.

Sebagai penjelas, Fahruddin Faiz menyebutkan penafsiran Muhammad Abduh memang kental akan nuansa kontekstualisasinya, namun dalam beberapa hal malah mengabaikan konteks ayat (Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial, 22).

Hal yang serupa dapat dijumpai dari penafsiran Thanthawi Jawhari mengenai rahasia kimia yang tersembunyi di dalam huruf-huruf muqatha’âh. Al-Dzahabi menilai penafsiran ilmiah seperti yang dilakukan oleh Thantawi sangat berlebihan dan cenderung memaksakan keterkaitan antara ayat dengan ilmu kimia (Al-Dakhil dalam Tafsir Ilmi (Kajian Kritik Husein Al-Dzahabi atas Kitab Al-Jawahir Fi Tafsir Alquran, Tajdid (21), 2, 2022, 239).

Pada celah ketimpangan penggunaan ketiga komponen itulah hermeneutika mengambil perannya. Oleh karena itu, harus ada hubungan dialektis antara teks, konteks, dan kontekstual agar pemaknaan Alquran yang dihasilkan benar-benar dapat direalisasikan di masa sekarang dengan tetap memperhatikan konteks masa lalu  ketika Alquran diturunkan.

Komponen konteks diperlukan agar pemaknaan yang dihasilkan tetap berada pada jalur ajaran keimanan yang sama sejak era Alquran diturunkan hingga saat ini. Dalam rangka membuktikan kebenaran adagium Alquran Shalih Li Kulli Zaman wa Makan, komponen kontekstualusasi dalam hermeneutika kiranya dapat menjawab kegelisahan Kuntowijoyo terhadap keraguan sebagian umat Islam tentang kesanggupan teks Alquran yang berasal dari abad ke-7 menjadi ilmu modern (Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, 27).

Baca Juga: Perbandingan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir menurut Nashruddin Baidan

Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa ada beberapa hal yang masih relevan hingga sekarang walau tidak melewati upaya kontekstualisasi, seperti salat, zakat, dan beberapa hal lainnya yang penerapannya bersifat vertikal-ritual dalam bentuk peribadatan formal. (Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial, 21).

Penafsiran Alquran merupakan aktivitas dinamis yang banyak melahirkan produk pemahaman yang dikemas dalam karya-karya tafsir. Idealnya, produk tafsir yang dihasilkan tidak hanya terjebak dan berhenti pada bunyi teks ataupun konteks masa lalunya, namun juga berimplikasi pada kehidupan saat ini. Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka hermeneutika dapat dijadikan sebagai solusi alternatif. Wallâhu A’lam.

Syariat Umat Terdahulu dalam Alquran

0
Syariat Umat Terdahulu dalam Alquran
Syariat Umat Terdahulu dalam Alquran

Tulisan ini menguraikan ayat-ayat tentang syariat umat terdahulu. Syariat umat terdahulu ini  merupakan salah satu pembahasan dari ilmu ushul fiqh yang dikenal dengan istilah syar’u man qablana. Adapun tujuan penulis menguraikannya adalah agar tidak terjadi kesalahpahaman ketika menemukan atau membaca ayat Alquran yang berisi syariat umat terdahulu.

Pengertian Syar’u Man Qablana

Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh (1999:391), syar’u man qablana ialah hukum-hukum  yang telah disyariatkan untuk  umat sebelum Islam, yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat Nabi Muhammad Saw.

Pembicaraan mengenai syar’u man qablana ini bertitik tolak pada ayat Alquran yang terdapat dalam surah Almaidah [5]: 48 berikut ini.

 “… untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…”

Baca juga: Mengenal Syar’u Man Qablana dalam Al Qur’an

Syariat merupakan jalan yang terbentang untuk satu umat tertentu dan nabi tertentu. Misalnya syariat Nabi Nuh a.s, syariat Nabi Ibrahim a.s, syariat Nabi Musa a.s, syariat Nabi Isa a.s dan syariat Nabi Muhammad Saw.

Yang dimaksud dengan setiap umat di antara kamu, kami beri aturan dan jalan yang terang menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2004:115) yaitu setiap masing-masing umat terdahulu telah Allah tetapkan syariat dan manhaj yang khusus untuk mereka dan masa mereka. Hanya saja khusus Nabi Muhammad Saw., syariatnya berlaku sepanjang masa, karena tidak ada nabi dan rasul setelahnya.

Ibnu Katsir dalam buku Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (2000 : 496) menyebutkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang syariat itu berbeda-beda antara satu umat dengan umat lainnya terutama dalam masalah perintah dan larangan (masalah hukum); adakalanya sesuatu hal dalam suatu syariat diharamkan, tetapi dalam syariat yang lain kemudian dihalalkan atau kebalikannya. Lalu, ada pula dalam suatu syariat diringankan, sedangkan dalam syariat yang lain diperberat. Namun, tentunya hal ini tidak terlepas dari kebijaksanaan Allah Swt. dalam menentukan hal tersebut.

 Klasifikasi Syar’u Man Qablana Menurut Para Ulama

 Para ulama membagi syar’u man qablana menjadi tiga kelompok yaitu;

Pertama, syar’u man qablana yang dijelaskan dalam Alquran maupun hadis kemudian berlaku untuk umat Nabi Muhammad Saw.

Alquran dalam beberapa ayat menunjukkan bahwa beberapa perintah atau syariat yang diberlakukan untuk umat Nabi Muhammad Saw. terlebih dahulu telah diberlakukan untuk umat sebelumnya meskipun secara teknis dan waktunya ada perbedaan. Di bawah ini diuraikan beberapa hukum syariat atau perintah yang diberlakukan kepada umat Nabi Muhammad Saw. yang umat terdahulu juga melakukannya.

Salat

Salat merupakan salah satu syariat yang diwajibkan kepada umat terdahulu yang kemudian diwajibkan pula kepada umat Nabi Muhammad Saw. Di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang perintah salat ini kepada umat terdahulu yaitu sebagai berikut.

“Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Lut ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. dan Kami telah memberikan kepada-Nya (Ibrahim) lshak dan Ya’qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah”. (Alanbiya’ [21]: 71-73)

Baca juga: Keterkaitan Al-Quran, Kitab-Kitab Terdahulu dan Keragaman Syariat

Puasa

Puasa juga merupakan syariat yang pernah diwajibkan kepada umat terdahulu yang kemudian juga diwajibkan kepada umat Nabi Muhammad Saw. Dalam Alquran surah Albaqarah [2]: 183, diberikan keterangan mengenai wajibnya puasa bagi umat Nabi Muhammad Saw. sekaligus diinformasikan bahwa hal itu juga pernah berlaku terhadap umat terdahulu.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Zakat

Zakat ini juga merupakan syarat umat terdahulu yang wajib ditunaikan, yang kemudian diberlakukan pula bagi umat Nabi Muhammad Saw. Perintah zakat ini selalu bergandengan dengan perintah salat, sehingga ayat yang memberikan keterangan bahwa zakat merupakan syariat umat terdahulu telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya.

Pemaparan di atas adalah beberapa contoh dari syariat umat terdahulu yang masih berlaku hingga kepada umat Nabi Muhammad Saw. Ada banyak lagi syariat umat terdahulu yang masih berlaku hingga hari salah satunya adalah pelaksanaan ibadah haji, kurban, khitan dan sebagainya.

Kedua, syar’u man qablana yang terdapat dalam Alquran tetapi tidak belaku untuk umat Nabi Muhammad Saw

Makanan

Ada ayat dalam Alquran yang berbicara tentang makanan yang haramkan kepada umat terdahulu untuk memakannya, tetapi tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad Saw.

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang

berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar. (Alan’am [6] : 146)

Bertaubat dengan Bunuh Diri

Bertaubat dengan cara bunuh diri merupakan salah satu syariat umat terdahulu yang sudah tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad Saw.

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, Sesungguhnya kamu telah Menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), Maka bertaubatlah kepada Tuhan yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu. hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Tuhan yang menjadikan kamu; Maka Allah akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (Albaqarah [2]: 54)

Baca juga: Menelisik Jin dalam Al-Quran, Makhluk yang Juga Dibebani Syariat

Ketiga, syar’u man qablana yang disebutkan dalam Alquran tetapi tidak dinyatakan secara jelas berlaku untuk umat Nabi Muhammad Saw. atau sudah dinasakh.

Mengenai jenis yang ketiga ini contohnya terdapat dalam Alquran surah Yusuf [12]: 72

“Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”.

Ayat tersebut terkait hukum ju’alah  yaitu janji untuk memberi imbalan. Terkait dengan hukum tersebut ulama berbeda pendapat terkait berlakunya kepada umat Nabi Muhammad Saw.

Wallahu a’lam bish shawab.

Manuskrip Alquran dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang Kudus

0
Potret Manuskrip Alquran dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang Kudus
Manuskrip Alquran dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang Kudus

Di Indonesia tersimpan banyak sekali manuskrip Alquran. Baru sebagian manuskrip yang ada di Indonesia telah melalui proses katalogisasi (pencatatan), sedangkan sebagian besar lainnya belum melewati proses tersebut. Artinya jumlah manuskrip yang belum melewati katalogisasi atau belum tercatat masih banyak, ketimbang manuskrip yang sudah tercatat.

UU No. 43 Tahun 2007 menyebutkan bahwa manuskrip merupakan semua dokumen tertulis yang tidak dicetak, dalam kata lain penulisannya masih terbilang sangat sederhana; mulai dari media yang digunakan, warna tinta, hingga iluminasinya. Dan suatu manuskrip memiliki usia paling rendah 50 (lima puluh) tahun.

Baca juga:Manuskrip Mushaf Alquran dari Kertas Kuno di Museum Gusjigang Kudus

Di antara manuskrip (naskah kuno) yang yang tersebar di Nusantara, salah satunya adalah koleksi manuskrip milik Museum Gusjigang Kec. Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Museum Gusjigang yang berada di Jl. Sunan Muria No. 33 ini merupakan museum pertama sekaligus museum jenang satu satunya di Indonesia.

Beberapa koleksi manuskrip di Museum Gusjigang, di antaranya ada manuskrip Alquran 30 juz dari daun lontar, manuskrip Alquran 30 juz dari kulit sapi, dan manuskrip Alquran 30 juz dari kertas kuno. Beratnya variatif, mulai dari 3,4 kg sampai 14,2 kg.

Sekilas tentang Filologi sebagai Ilmu untuk Mengkaji Manuskrip

Filologi merupakan suatu disiplin ilmu yang melibatkan studi bahasa, sastra, dan budaya. Secara bahasa, filologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu philos “cinta pada kata-kata” dan logos “ilmu”. Jadi, filologi dapat diartikan sebagai “cinta kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”.

Filologi juga dimaknai sebagai salah satu ilmu yang objek penelitiannya adalah naskah (karangan yang ditulis dengan tangan) dan sasarannya adalah teks (kandungan atau isi dari naskah). Kemudian dalam ilmu filologi setidaknya dibutuhkan beberapa ilmu bantu lain dalam memahami sebuah naskah, seperti ilmu sastra, filsafat, ilmu tafsir dan sebagainya (Attas, 2017).

Begitu pula dalam kajian filologi pada manuskrip Alquran, dibutuhkan ilmu bantu agar dapat dipahami sejarah penulisannya maupun makna yang terkandung di dalamnya. Ilmu-ilmu tersebut di antaranya seperti ulumul Qur’an, asbabunnuzul, qiraat, rasm, balaghah dan lain sebagainya.

Ciri Khas Manuskrip Alquran 30 Juz dari Kulit Sapi di Museum Gusjigang

Berdasarkan riset yang telah dilakukan, diketahui bahwa properti manuskrip Alquran 30 juz dari kulit sapi di Museum Gusjigang ini diperoleh dari seorang kolektor asal Kalimantan Timur. Ukurannya besar dan tebal, serta memiliki berat mencapai 14,2 kg. Naskah ini ditulis di atas kulit sapi yang dapat dilihat dari teksturnya yang seperti serat. Kulit sapi dipilih selain karena waktu itu belum ada kertas, juga karena bahannya yang elastis, kuat, dan tahan lama.

Tidak ditemukan kerusakan pada badan naskah, hanya saja warnanya yang kecokelatan karena usianya yang terbilang tua. Naskah yang ditampilkan di dalam museum memperlihatkan Q.S. Al-Kahfi: 1-4. Halaman tersebut terdiri dari enam baris. Terdapat tanda pisah antarayat berupa lingkaran kecil berisi titik dan tanpa ada nomor halaman.

Baca juga: Mengenal Empat Museum Alquran di Indonesia

Naskah ini ditulis menggunakan tinta warna kuning keemasan dan warna merah untuk menandai keterangan surah. Ini berbeda dengan teks Alquran pada umumnya yang ditulis menggunakan tinta berwarna hitam. Jenis rasm yang dipakai ialah rasm Utsmani. Bisa dilihat perbedaannya dalam penggunaan kaidah hadzf, kaidah ziadah, penulisan hamzah, badal, dan fasl wa wasl.

Gaya tulisan yang digunakan adalah khat naskhi, yaitu salah satu gaya yang paling banyak dipakai dalam penulisan Alquran, buku teks, maupun karya-karya yang lain, serta dimaksudkan untuk memudahkan pembacaan Alquran (Syukron, 2014).

Naskah ini memiliki ornamen di sekeliling teks di tiga bagian. Bagian pertama di surah Al-Fatihah dan Al-Baqarah. Bagian tengah di surah Al-Isra, Al-Kahfi atau di awal juz 16, dan bagian akhir di surah An-Nas. Ia memiliki iluminasi yang halus dan rapi yang terletak di dua halaman bagian tengah pada surah Al-Kahfi ayat 1-4. Iluminasinya berbentuk floral (tumbuhan) yang saling membentuk kombinasi di kedua sisinya.

Baca juga: Ilmu Rasm dalam Filologi Mushaf Alquran Kuno dan Upaya Kritik Teks

Iluminasi mushaf dalam bentuk kombinasi sepasang halaman kanan-kiri, kekhasan dalam pola desain dengan mengeksploitasi motif floral dibandingkan geometri, serta menempatkan iluminasi bagian tengah di surah Al-Kahfi. Ini merupakan salah satu karakteristik Alquran di pulau Jawa, juga bisa dianggap sebagai salah satu indikasi tentang asal usul manuskrip di kawasan itu. Keindahan iluminasi dan banyaknya iluminasi serta khat bersepuh emas, tidak menutup kemungkinan jika naskah tersebut milik sebuah kerajaan (Fadlly, 2019).

Naskah didominasi warna merah, hijau, biru, dan kuning keemasan. Di dalamnya terdapat penggunaan tanda baca pada umumnya, seperti fathah, kasrah, damah, syaddah, dan sukun. Selain itu, disertai pula harakat fathah berdiri untuk menunjukkan bacaan panjang, dan layar untuk mad wajib muttasil, serta tidak memiliki tanda waqaf.

Puasa sebagai Cerminan Rasa Syukur

0
Puasa sebagai cerminan rasa syukur
Puasa sebagai cerminan rasa syukur

Puasa dilaksanakan oleh seseorang dengan memanfaatkan potensi fisik dan psikis yang diberikan oleh Allah. Potensi fisik dilaksanakan dengan menahan makan, minum, dan aktivitas seksual di siang hari. Potensi psikis dijalani dengan komitmen sepenuh hati untuk menghindari batalnya puasa dan keadaan jiwa yang terjerumus pada perilaku yang mengurangi pahala puasa. Bibir secara fisik misalnya menahan makan dan minum, dan secara psikis menahan dari berbicara kasar, tidak senonoh, dan gibah. Pengarahan semua potensi pada perilaku baik menjadi tanda bersyukur, sebab bersyukur tidak hanya mengucapkan hamdalah. Bersyukur ditampilkan dengan memanfaatkan apa yang diberikan oleh-Nya pada sisi kebaikan dan berupaya semaksimal mungkin untuk menghindari keburukan.

Baca juga: 3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

Hal ini senada dengan pernyataan Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa (1997). Syukur ditampilkan dengan lisan, hati, dan anggota badan. Sementara ucapan al-hamd (segala puji) hanya ada di lisan. Penampilan syukur minimal mengucapkan al-hamdu lillah yang diucapkan oleh lisan. Ketika ini diucapkan, lisan sudah dimanfaatkan pada kebaikan. Demikian pula al-Munawi dalam Mausu’ah Nadhrah al-Na’im (1997) menyebutkan tahapan syukur. Tahapan awal berasal dari ucapan segala puji kepada Allah. Tahapan selanjutnya memanfaatkan semua potensi yang diberikan dalam perilaku yang pantas dengan kebaikan.

Hubungan Puasa dengan Bersyukur

Informasi hubungan antara puasa dengan bersyukur salah satunya dapat ditemui pada ayat yang berhubungan dengan puasa Ramadan. Pada Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, al-Shabuni menampilkan bahwa ayat tentang tema puasa Ramadan diawali oleh QS. Albaqarah ayat 183 dan diakhiri dengan QS. Albaqarah ayat 187. Pernyataan syukur diwakili oleh kata la’allakum tasykuruna pada ayat 185.

Ayat 185 ini dimulai dengan pernyataan penurunan Alquran di bulan Ramadan dilanjutkan dengan penetapan awal bulan untuk puasa dengan persaksian orang melihat bulan.  Pernyataan lanjutannya adalah pernyataan orang sakit dan melakukan perjalanan untuk berbuka, dan penegasan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba bukan kesulitan, dengan adanya rukhsah. Pernyataan akhir ayat ini dikaitkan dengan penyempurnaan hitungan hari puasa Ramadan (wa li tukmilu al-‘iddah), bertakbir untuk membesarkan nama Allah karena telah mendapatkan petunjuk dari-Nya (wa litukabbiru Allah ‘ala ma hadakum), dan dorongan untuk bersyukur (wa la’allakum tasykuruna).

Tafsir Kemenag RI (2022), seiring dengan pernyataan untuk bersyukur, menyebutkan pada penutup ayat ini Allah menekankan agar bilangan puasa disempurnakan dan menyuruh bertakbir.  Pada penghujung ayat, Allah mendorong manusia untuk bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk yang diberikan.

Baca juga: Tafsir Ayat-ayat Syukur: Hiduplah dengan Bahagia!

Apabila diperhatikan, beberapa pernyataan ini memuat informasi yang menarik.

Pertama, puasa diatur oleh syariat melalui Alquran sebagai pedoman hidup. Melalui ayat dan pemahamannya, puasa Ramadan menjadi perintah yang wajib diikuti untuk mencapai ketakwaan. Alquran telah memberikan petunjuk dan penjelasan agar manusia dapat menjalani kehidupan dalam pengabdian untuk keselamatan hidup. Begitu pula, Alquran melalui penjelasannya menjadi pembeda antara hak dan batil.

 Kedua, terkait ayat puasa, yang dijelaskan bukan hanya kewajiban. Dalam rangkaian ayatnya, terdapat informasi mengenai hari-hari puasa, rukhsah puasa, penurunan Alquran dan beberapa hukum yang cukup rinci dalam berpuasa. Informasi ini menjadi pedoman bagi orang yang berpuasa sehingga dia dapat meraih kebaikan melalui ketakwaan. Tak hanya ketakwaan, raihan lain yang didorong adalah bersyukur dan mendapatkan petunjuk.

Ketiga, perilaku bersyukur dihubungkan pula dengan adanya beban kewajiban yang asalnya harus tetap dilaksanakan namun pada kondisi tertentu dapat diperingan. Keringanan ini menjadi bukti bahwa Allah sangat mengerti apa yang terjadi pada kondisi hamba. Apabila hamba tidak dapat melaksanakan pada waktunya, dia dapat menggantinya pada kesempatan lain di luar bulan Ramadan.

Allah tidak menyulitkan dalam pembebanan, bahkan memberikan kemudahan apalagi bagi kondisi khusus hamba, sebab Allah tidak memberikan beban kecuali sesuai dengan kemampuan manusia. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan (QS. Albaqarah 185), selaras dengan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai batas kemampuannya,” Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya” (QS Albaqarah 286).

Baca juga: Merayakan Idulfitri; Momentum Maaf-memaafkan

Manusia dibebani ibadah kepada-Nya. Beban itu diatur sesuai kondisi mukalaf. Namun, Allah yang Maha Menciptakan memahami benar hamba-Nya. Sehingga, dalam menjalankan ibadah, kondisi kesanggupan menjadi batas kemampuannya.

Rukhsah menjadi kasih sayang Allah bagi tingkat kesanggupan manusia. Rukhsah bagi kesanggupan manusia akan melahirkan keyakinan bahwa Allah menyayangi hamba-Nya.

Keempat, pernyataan “dan supaya kalian bersyukur” berada pada ujung ayat QS. Albaqarah 185.  Redaksi ini berada dalam lingkup kalimat konjungsi (‘athaf) dengan kalimat sebelumnya, yaitu li tukmilu al-‘iddah dan wa li tukabbiru Allah ‘ala ma hadakum. Namun, apabila dimaknai lebih mendalam, boleh jadi kalimat ini menjadi tujuan dari rangkaian kalimat sebelumnya.

Puasa yang mencerminkan bersyukur diakhiri dengan Idulfitri sebagai penyempurna hari puasa. Penyempurnaan hari puasa kalau disadari menjadi bentuk bersyukur pada pengetahuan tentang bilangan hari yang ditetapkan. Metode untuk penetapannya, baik dengan rukyat maupun dengan hisab dapat dicerminkan pada bersyukur atas pengetahuan yang diberikan oleh-Nya, sebab kemampuan berfikir dan memahami khususnya dalam lingkup ilmu menjadi anugerah terbesar untuk manusia.

Perintah untuk bertakbir atau mengagungkan Allah karena diberikan petunjuk (li tukabbiru Allah ‘ala ma hadakum) juga ciri dari kesadaran bersyukur. Petunjuk itu sesuatu yang berharga. Dengan petunjuk, manusia dapat menjalani kehidupan sesuai dengan arah kebaikan. Kesadaran untuk bertakbir kepada-Nya menjadi kepantasan bagi manusia. Kesadaran, pemahaman, dan pengucapan takbir boleh jadi mencerminkan perilaku bersyukur.

Wallahu a’lam.

Manuskrip Alquran dari Kertas Kuno di Museum Gusjigang Kudus

0
Manuskrip Mushaf Alquran dari Kertas Kuno di Museum Gusjigang Kudus
Manuskrip Mushaf Alquran dari Kertas Kuno di Museum Gusjigang Kudus.

Kudus merupakan salah satu kota religi yang mendapat julukan “Kota Santri”. Ada beberapa wisata religi di kota Kudus yang cukup terkenal dan ramai didatangi wisatawan dan peziarah, seperti Makam Sunan Kudus, Menara Kudus, dan Makam Sunan Muria. Selain itu, ada pula museum bernuansa religi, yaitu Museum Gusjigang.

Museum Gusjigang

Museum Gusjigang yang terletak di kota Kudus merupakan salah satu museum unik yang ada di Indonesia. Bangunan bersejarah ini menyimpan banyak koleksi. Museum bersejarah ini dibangun pada bulan Mei 2017 yang menyuguhkan miniatur Kabupaten Kudus dan juga miniatur Masjid Menara Kudus yang merupakan ikon dari kota Kudus. Museum ini terletak di Jl. Sunan Muria No. 33, Kelurahan Glantengan, Kecamatan Kota Kudus, Kabupaten Kudus, Provinsi Jawa Tengah.

Filosofi Gusjigang terdiri dari tiga kata kunci yaitu GusJiGang. Gus berarti bagus akhlake (berakhlak mulia), ji berarti pinter ngaji (pandai mengaji/menuntut ilmu agama), dan gang yang berarti pinter dagang (pandai berdagang/memiliki jiwa entrepreneur). Filosofi tersebut merupakan ajaran dari Sunan Kudus (Sumintarsih et al., 2016).

Baca juga: Mengenal Empat Museum Alquran di Indonesia

Museum Gusjigang banyak menyimpan koleksi menarik, seperti manuskrip kuno, lukisan kapal, ruang trilogi ukhuwah, dan miniatur Ka’bah. Selain itu, museum ini juga menyuguhkan gambar beberapa tokoh terkemuka yang ada di Kudus, seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Kiai Telingsing, dan masih banyak lagi.

Museum Gusjigang juga menyimpan cukup banyak koleksi manuskrip Alquran dengan nama Galeri Alquran yang menyuguhkan berbagai macam Alquran dengan berbagai macam bahan dan ukuran. Di antaranya Alquran dari bahan kertas kuno, Alquran kuno daun lontar, Alquran bahan kulit sapi, Alquran mini Istanbul Turki, dan Alquran sampul pintu Ka’bah.

Karakteristik Mushaf

Nah, sekarang pembaca akan dikenalkan lebih dalam lagi mengenai manuskrip mushaf Alquran dari kertas kuno yang menjadi salah satu koleksi di museum Gusjigang dalam sudut pandang ilmu filologi. Sebagai pengantar, filologi ialah suatu pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti yang luas mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan (Baried et al., 1985).

Dalam referensi lain, filologi ialah cabang ilmu bahasa yang menelaah naskah-naskah kuno dan menentukan bentuk asli serta artinya untuk mengetahui kebudayaan bangsa yang memiliki naskah tersebut (Attas, 2017). Sasaran dari studi filologi ialah karya tulis masa lampau yang ada pada kertas, kulit kayu, papyrus, kulit binatang, dan sebagainya.

Baca juga: Syekh Husin Fallugah dan Museum Manuskrip Kajian Keislaman Terbesar di Kalimantan Barat

Mushaf koleksi museum Gusjigang tersebut berisi Alquran lengkap 30 Juz yang terbuat dari kertas kuno. Tidak disebutkan secara detail kertas apa yang digunakan, karena dalam keterangan di museum hanya tertulis kertas kuno. Naskah ini diserahkan dan disimpan di Museum Gusjigang oleh seorang kolektor Alquran di Banyuwangi, Jawa Timur.

Mansukrip ini ditulis menggunakan khat naskhi yang merupakan khat standar dalam penulisan Alquran. Khat ini bahkan dijuluki sebagai Khadim alQuran (pelayan Alquran) (Hakim, 2021). Mushaf ini ditulis menggunakan Rasm Usmani. Hal ini dapat dilihat dari penulisannya yang menerapkan kaidah Rasm Usmani seperti kaidah Hadzf.

Kondisi manuskrip ini masih cukup baik, hanya saja terdapat kerusakan kecil berupa sobekan di bagian atas halaman. Manuskrip ini memiliki sampul dengan ketebalan kurang lebih 0,5 cm, berwarna coklat, dan memiliki berat total 7,2 kg. Bagian yang diperlihatkan oleh museum ialah bagian tengah mushaf yakni surah Al-Kahf ayat 1-5. Dalam mushaf ini tidak ada penomoran ayat, halaman, keterangan nama surah, keterangan juz, serta tidak adanya tahun penulisan mushaf.

Iluminasi Mushaf

Iluminasi yang dimaksud disini ialah hiasan naskah yang bersifat abstrak dan berfungsi sebagai “penerang” bagi teks yang ditampilkan (LPMQ Kemenag, 2019). Mushaf ini memiliki iluminasi ornamen islami dengan ciri khas mushaf Nusantara, yakni motif floral (tumbuhan) yang menunjukkan kekayaan kultural bangsa (LPMQ Kemenag, 2019). Iluminasi dalam mushaf ini terdapat di dua halaman simetris kiri-kanan pada bagian awal, tengah, dan akhir mushaf. Iluminasi tengah terdapat pada awal surah al-Kahf.

Baca juga: Ilmu Rasm dalam Filologi Mushaf Alquran Kuno dan Upaya Kritik Teks

Iluminasi dalam mushaf ini menggunakan tinta warna hijau, merah, hitam, dan keemasan yang menambah kesan mewah dan elegan. Adapun ayatnya ditulis menggunakan tinta hitam dengan berbingkai persegi dengan tinta keemasan dan dihiasi motif bunga.

Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

0
Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran
Tafaqquh Fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Teknologi memudahkan manusia untuk berkomunikasi dan bersilaturahmi melalui berbagai platform media sosial tanpa ada sekat ruang dan waktu. Manusia bisa dengan mudah berkomunikasi, berinteraksi, bertukar informasi serta mengekspresikan diri secara virtual.

Namun, digitalisasi tersebut juga membawa dampak negatif, salah satunya dalam akhlak dan laku sosial. Prilaku masyarakat Indonesia dapat dibaca melalui laporan Digital Civility Index (DCI) 2020 yang dilakukan oleh Microsof, bahwa Indonesia dinobatkan sebagai warganet (warga internet) paling tidak ramah se-Asia Tenggara ( Yosepha Pusparisa, “Tingkat Kesopanan Netizen Indonesia Paling Buruk Se-Asia Pasifik“, 2021).

Karena kemajuan digital merupakan suatu kebutuhan, maka perlu adanya panduan dalam bermedia sosial. Dan Alquran sebagai way of life (rujukan utama) umat Islam telah memberikan resolusi dalam bersosial dan berdigital. Yakni  mengadopsi prinsip tafaqquh fi al-din ke dunia digital yang selanjutnya dapat disebut dengan istilah tafaqquh fi digital.

Baca Juga: Etika Bermedia Sosial dalam Pandangan Alquran

Ber-Tafaqquh Digital

Term tafaqquh merupakan derivasi dari kata fa-qa-ha, diartikan mengerti atau memahami. Dalam Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur (1990), fiqh berarti pengetahuan atau pemahaman tentang sesuatu, yang secara spesifik merujuk pada ilmu agama. Sementara Raghib al-Asfahani (2008) –salah satu pakar bahasa, menafsiri al-fiqh sebagai usaha untuk mengetahui sesuatu yang tersimpan dengan menggunakan pengetahuan yang nyata (wujud/tampak).

Al-fiqh juga memiliki ragam padanan makna, di antaranya al-fikr (berpikir), al-nazhr (memperhatikan; mengambil pelajaran; menunggu), al-bashr (melihat dengan cermat), al-sam’ (mendengar), al-dabr (berpikir komprehensif), dan al-‘aql (kesiapan pikiran) (Muhamad Aroka Fadli. “Konsepsi Tafaqquh dalam Perspektif Al-Qur’an”, 2017). Kesemua padanan makna tersebut, merupakan kompetensi (skill) yang perlu dan harus diimplementasikan dalam bermedia sosial.

Maka istilah tafaqquh (mempelajari ilmu) tidak hanya sebatas ilmu agama saja. Lebih luas, seyogianya juga kompetensi digital. Maka selain mempelajari cara bertingkah laku dalam beragama, penting juga menyelami tafaqquh fi digital sebagai panduan bagi masyarakat dalam memanfaatkan teknologi digitial, salah satunya cara bermedia sosial.

Pasalnya, masih banyak warganet yang tidak dapat menjaga etika dalam bermedia sosial, sehingga tidak jarang perilaku dari penggunanya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri yang nantinya dapat membahayakan orang lain.

Mengenai etika terpenting dalam bermuamalah di kehidupan nyata dan dunia maya adalah dengan menjaga lisan. Berikut tertulis dalam firman Allah Alahzab [33]: 70 yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”

Sangat jelas ayat tersebut ditujukan untuk orang-orang beriman agar selalu bertakwa kepada Allah, yang salah satu implementasinya adalah dengan berkata yang jujur atau baik di mana pun berada. Termasuk dalam konteks hidup bermedia sosial.

Ibnu ‘Asyur dalam karyanya Tahrir wa Tanwir, mengungkapkan bahwa kata سَدِيدًا dimaknai sebagai perkataan yang benar dan bermanfaat bahkan perkataan yang wajib (الأقوال الواجبة). Yakni menjaga dari perkataan yang tidak berfaedah dan tidak membawa manfaat. Dan perkataan yang bermanfaat misalnya mengawali mengucapkan salam dan perkataan mukmin kepada mukmin lain dengan rasa suka.

Baca Juga: Media Sosial dan Urgensi Tabayun Menurut Al-Quran dan Hadits

Kaidah Bermedia Sosial dari Alquran

Sesuai dengan makna tafaqquh –begitu juga padanannya, ada resolusi yang ditawarkan Alquran dalam ber-tafaqquh di dunia digital. Kaidah pertama tergambar dalam surah Al’alaq, iqra (arti: bacalah).

Pada ayat pertama yang diturunkan-Nya itu, Allah tidak secara eksplisit menjelaskan objek apa yang dibaca. Oleh kerenanya sebagian mufasir mengatakan iqra ‘ala kulli syaî’in (baca: membaca segala sessuatu). Yang dalam konteks ini tentunya membaca sesuatu secara tuntas dan komprehensif. Termasuk membaca terlebih dahulu setiap informasi sebelum membagikannya ke orang lain.

Setelah membaca, tentunya perlu untuk tabayyun (klarifikasi). Secara etimologi, tabayyun berarti mencari kejelasan akan kebenaran dan keadaan sesuatu.  Sedangkan secara istilah dimaknai dengan meneliti,  menyeleksi dan tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan suatu informasi yang belum jelas kevalidannya, yang dengan gamblang dalam Alhujurat [49]: 6;

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

Ayat tersebut juga menjelaskan tentang larangan menyebarkan berita bohong. Asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat ini juga mengajarkan tentang bagaimana harusnya bersikap saat dihadapkan dengan hoax dan fitnah.

Peristiwa tersebut berkenaan dengan tuduhan Abdullah bin Ubay bin Salul  kepada Sayyidah Aisyah. Yang mana membuat Nabi Saw. gundah dan gelisah. Sikap Nabi Saw. inilah yang patut  dijadikan teladan, yakni ber-tabayyun dan berdiam menunggu kejelasan berita tersebut, dengan tidak gegabah dan pula tidak cepat menyimpulkan serta mengambil keputusan.

Maka diamnya Nabi di sini adalah emas yang dapat memutus rantai penyebaran hoax. Bagus lagi apabila mampu mencari data pembanding dan mencari kevalidan data tersebut. Kritis, berhati-hati dan menghindari kerusakan seperti yang diisayaratkan dalam Alquran.

Laku bijaksana inilah yang oleh Allah akan dianugerahi hikmah. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah tersebut, sungguh telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ululalbab (lihat terj. QS. Albaqarah [2]: 269). Dalam Tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab (2000) menjelaskan, yang dimaksud hikmah di sini adalah pengetahuan akan baik-buruk dan kemampuan untuk menerapkan yang baik serta meninggalkan yang buruk.

Sementara Makarim Asy-Syirazi dalam Tafsir al-Amtsal Tafsir Kontemporer (2015) menafsirkan hikmah sebagai kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah dengan pikiran jernih dan hati yang bersih. Sehingga, output-nya mampu memberi kemanfaatan dan menghindari kemudaratan.

Lanjutnya dalam ayat tersebut, akan terbentuk pribadi ululalbab. Shihab menafsirkannya sebagai orang yang memiliki akal murni, tidak tertutup hijab (baca: penghalang) yang dapat melahirkan kerancuan berpikir. Maka, pribadi ululalbab yakni menjadi sosok yang tidak terkaburkan dengan derasnya informasi dan kemajuan teknologi.

Baca Juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial

Sehingga mampu berpikir dengan jernih dan murni, serta tidak terpicu dengan carut-marutnya pertengkaran di media sosial dan dapat menyikapi sesuatu sesuai tempat, porsi, dan proporsinya. Maka manusia yang telah berbuat demikian, “Kami (Allah) akan memudahkan bagimu ke jalan kemudahan (mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat),” (Ala’la [87]:  8).

Ragam solusi juga sikap yang disematkan dalam Alquran dan sunah itulah kiranya yang dapat dijadikan pedoman dalam menghadapi kecanggihan teknologi yang memanjakan dan meninabobokkan. Inilah pentingnya memiliki pemahaman faqqih (mendalam) akan dunia digital, agar derasnya informasi dan pemanjaan teknologi ini tidak menyesatkan tapi penuh dengan kebermanfaatan, bukan meresahkan tapi menyejukkan dan menggembirakan.

Wallahu a’lam bish shawab.