Beranda blog Halaman 69

Tafsir Surah al-Takatsur dan Fenomena Membanggakan Diri

0
Surah Al-Takatsur
Surah Al-Takatsur dan Fenomena Membanggakan Diri

Di era media sosial seperti sekarang, kita dapat dengan mudah membagikan momen dan aktivitas melalui jempol. Feed atau beranda di media sosial seperti instagram dan facebook menjadi ukuran kepopuleran. Tidak jarang pula media sosial menjadi wadah untuk saling membanggakan diri. Sudah jalan-jalan ke berbagai belahan dunia, punya bisnis bercabang-cabang, mobil mewah berderet, rumah di kawasan real estate, dan lain semacamnya. Sebagian orang malah terkena depresi karena terlalu sibuk berlomba-lomba mendapatkan sanjungan yang diukur dari jumlah likes dan pengikut.

Dengan tidak bermaksud untuk memandang negatif media sosial, karena banyak pula bagian positifnya, selaku umat muslim kita perlu belajar dari pedoman hidup kita yakni al-Quran al-Karim. Kita dapat melakukan refleksi dengan membaca Surah al-Takatsur, Surah ke-102 dari susunan mushaf al-Quran. Secara harfiah M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah mengartikan al-Takatsur dengan arti “saling memperbanyak atau bermegah-megahan”.

Baca Juga: Hikmah Penyusunan Al-Qur’an dalam Bentuk Kumpulan Surah

Konteks diturunkannya surah ini adalah fenomena pada abad ke-7 Masehi. Di masa ketika wahyu diturunkan, masyarakat Arab saling membanggakan diri dengan harta, keturunan, dan pengikut. Pada masa awal Islam pengikut Nabi Muhammad saw berasal dari para budak, orang-orang miskin, dan kaum lemah yang dipandang rendah. Para pembesar Quraish mengolok-olok Nabi dengan membanggakan diri mereka sendiri. Fenomena inilah yang dikritik Al-Quran melalui Surah al-Takatsur.  Allah swt berfirman:

أَلْهكُمُ التَّكاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقابِرَ (2) كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ (3) ثُمَّ كَلاَّ سَوْفَ تَعْلَمُونَ (4)

كَلاَّ لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (5) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (6) ثُمَّ لَتَرَوُنَّها عَيْنَ الْيَقِينِ (7) ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8)

1) Saling memperbanyak (kenikmatan duniawi dan berbangga-bangga tentang harta dan anak) telah melengahkan kamu. 2) Sampai kamu telah menziarahi (masuk) dalam kubur-kubur (kematian). 3) Berhati-hatilah, (jangan melakukan persaingan semacam itu)! Kelak, kamu akan mengetahui (akibatnya). 4) (Sekali lagi) berhati-hatilah, kelak kamu mengetahui. 5) Berhati-hatilah, (jangan berbuat begitu, sungguh) jika seandainya kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (niscaya kamu tidak akan pernah melakukan hal itu). 6) Sungguh, kamu pasti akan melihat (neraka) Jahim. 7) kemudian, sungguh kamu pasti akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (yakni dengan mata telanjang yang tidak sedikit pun disentuh keraguan). 8) kemudian, sungguh kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang an-Na’im (yakni tentang aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih atau kenikmatan akhirat yang kamu abaikan).

Untuk menggambarkan bagaimana seorang manusia serakah terhadap harta, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adzim menjelaskan riwayat hadis Qudsi  dari Ubay bin Ka’ab bahwa “seandainya seorang manusia memiliki dua lembah yang penuh emas, niscaya pasti ia masih menginginkan lembah ketiga, tidak ada yang memenuhi rongganya kecuali tanah”. Inilah gambaran betapa serakahnya manusia terhadap harta. Seorang bijak bestari mengatakan dunia ini cukup untuk menampung apa pun, tetapi tidak cukup untuk menampung orang yang tamak dan serakah.

Padahal harta yang yang kita manfaatkan hanya tiga hal, menurut al-Qurtubi, yaitu makanan yang kita makan (minuman yang diminum), pakaian yang kita kenakan, dan harta yang kita sedekahkan. Hal ini sejalan dengan riwayat hadis dari Sahih Muslim dari Mutharrif, Ia berkata: “setelah selesai membaca Surah al-Takatsur, Rasulullah saw bersabda: Anak cuku adam berkata, Hartaku, Hartaku! Dan tidak ada harta apa pun yang menjadi milikmu wahai anak cucu adam kecuali apa yang engkau makan hingga habis, apa yang engkau pakai hingga lapuk, dan apa yang engkau sedekahkan sampai habis. Selain itu semuanya engkau tinggalkan untuk orang lain. (H.R Muslim).

Selain mendeskripsikan tentang keserakahan manusia, menurut al-Tabari (w. 310 H) dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Quran, Surah ini juga mengingatkan kepada umat Islam akan datangnya siksa kubur apabila mereka lalai.  Menurut al-Tabari pengulangan kalimat ‘kalla saufa ta’lamun’ dapat dipahami sebagai al-taghlidz (penekanan) yang mengisyaratkan pentingnya manusia untuk mengingat kematian. Selain itu, al-Tabari menambahkan bahwa Surah ini juga mengingatkan bahwa segala nikmat yang dirasakan di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.

Baca Juga: Tafsir Surah Luqman Ayat 29, Matahari Sebagai Sumber Kehidupan

Namun demikian kita tidak perlu salah paham terhadap harta benda duniawi. Karena ia tidak hanya bisa jadi malapetaka, tetapi juga menjadi anugerah yang dapat mengantarkan kita kepada kebaikan. Perlu diingat bahwa salah satu sikap yang patut dikedepankan ketika menghadapi harta benda adalah rasa syukur.

Artinya segala apa yang kita peroleh kita kembalikan lagi kepada Allah swt dalam bentuk ibadah yang lebih giat, berderma membantu sesama, dan apa pun yang bisa dilakukan untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Bahkan Allah swt berjanji dalam Q.S Ibrahim ayat 7, lain syakartum laazidannakum (bila kalian bersyukur maka akan kutambahkan nikmatku untuk kalian). Wallahu A’lam

Tiga Aspek dalam Kandungan Ayat Alquran

0
Tiga Aspek dalam Kandungan Ayat Alquran
Tiga Aspek dalam Kandungan Ayat Alquran

Para ulama sepakat bahwa setiap agama, termasuk Islam dalam hal ini, mempunyai tiga aspek, yaitu aspek intelektual, ritual dan sosial. Islam mengajarkan bahwa ketiga aspek tersebut berjalin kelindan satu dengan yang lain. Oleh karenanya, Alquran memerintahkan kepada umat Islam untuk selalu merenungi, mentadarus dan mentadabburi bentangan tak terbatas akan kandungan ayat-ayat Alquran. Di antara ayat yang mengisyaratkan hal ini adalah surah Ibrahim [14]: 24-25,

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ اَصْلُهَا ثَابِتٌ وَّفَرْعُهَا فِى السَّمَاۤءِۙ تُؤْتِيْٓ اُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ ۢبِاِذْنِ رَبِّهَاۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

Tidakkah engkau memerhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah thayyibah? (Perumpamaannya) seperti pohon yang baik, akarnya kuat, cabangnya (menjulang) ke langit, dan menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan untuk manusia agar mereka mengambil pelajaran. (Ibrahim [14]: 24-25)

Baca Juga: Tafsir Surah Albaqarah Ayat 260: Belajar Berpikir Kritis dari Nabi Ibrahim

Intelektualitas

Aspek pertama yaitu intelektualitas, dalam hal ini dikaitkan dengan keimanan atau keyakinan, bahwa di balik redaksi ayat Alquran menyimpan segudang isyarat bagi mereka yang mau berpikir. Dalam konteks ini, ayat di atas (Ibrahim [14]: 24-25) mencerminkan hal tersebut. M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa para mufasir berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan pohon yang baik dan kalimat yang baik dalam ayat tersebut.

Ibnu Katsir, misalnya, berdasarkan riwayat dari al-Bukhari mengartikan pohon yang baik tersebut adalah pohon kurma. ‘Abdullah bin Umar berkata bahwa suatu ketika kami berada di sekeliling Rasulullah Saw. kemudian beliau bersabda, “Beritahulah aku sebuah pohon yang serupa dengan seorang muslim, memberikan buahnya pada setiap musim”. ‘Abdullah bin Umar berkata, “Terlintas dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tetapi aku lihat Abu Bakar dan Umar tidak berbicara, maka aku pun segan berbicara”.

Ketika Rasulullah Saw. tidak mendengar jawaban dari para hadirin, beliau bersabda, “Pohon itu adalah pohon kurma”. Pasca pertemuan itu, aku (kata Abdullah bin Umar) berkata kepada ayahku (Umar bin Khattab), “Hai ayahku, Demi Allah telah terlintas dalam benakku bahwa yang dimaksud adalah pohon kurma”, beliau menjawab, “Mengapa engkau tidak menyampaikannya?”, Aku menjawab, “Aku melihat tidak seorang pun yang berbicara, maka aku pun segan berbicara”. Umar berkata, “Seandainya engkau menyampaikan, maka sungguh itu lebih kusukai dari ini dan itu”.

Ulama yang lain, lanjut Shihab, menyatakan bahwa tidak penting pohon apakah itu, yang jelas ayat ini menyebut perumpamaan tentang tauhid dalam Islam. Agama ini menyatukan berbagai macam aspek dalam kehidupan manusia. Kesatuan tersebut tak boleh dipisahkan. Sebab kalau dipisahkan, akan mengurangi kesempurnaan iman seseorang. Di antara kesatuan tersebut ialah dunia dan akhirat, kesatuan kemanusiaan, kepribadian manusia dan lain-lain.

Dari sinilah dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk sosial dan memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupannya sebagaimana terdokumentasikan dalam sabda-Nya, kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi.

Baca Juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

Ritual/Ibadah Rutin

Aspek kedua adalah aspek ritual. Yang paling gamblang adalah perintah salat. Betapa banyak perintah ‘dirikanlah salat’ (wa aqimus shalah), dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu wajib didirikan umat Islam sebagai bentuk ketaatan menjalankan perintahnya.

Meskipun salat (baca: salat wajib lima waktu) adalah ibadah rutin sehari-hari umat Islam, namun perintah salat tidak dapat dipandang sebelah mata. Bahkan, keistimewaan salat menjadi tolok ukur bagi penentu kualitas ibadah seseorang. Jika salatnya baik, maka seluruh amal ibadahnya dinilai baik, begitupun sebaliknya.

Imam al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil fi Asrar al-Ta’wil mengungkapkan bahwa perintah salat pada surah Albaqarah [2]: 43, adalah salat lima waktu. Dan zakat bisa bermakna taharah, yakni mampu menyucikan harta dan diri seseorang dari penyakit hati. Di sinilah ritualitas salat yang tidak sekadar ibadah ritual, namun ternyata juga menyimpan aspek esoteris (bathiniyah) yang harus ditadabburi oleh umat Islam.

Baca Juga: Memetik Hikmat Salat Sebagai Kontrol Sosial

Sosial

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat menjalani kehidupan tanpa bantuan pihak lain (zoon politicon). Dalam sabda Nabi Saw. disebutkan, kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi (setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya). Penggunaan kata ra’in dalam hadits tersebut, sangat tepat mendefinisikan sosok pemimpin.

Ra’in adalah penggambaran sosok bocah angon (baca: penggembala). Dalam angon (gembala), sebagaimana penjelasan Emha Ainun Nadjib, ada kalanya ia berada di depan umatnya seperti ketika menuntun kuda, ada kalanya ia di belakang rakyatnya seperti ketika menggiring domba atau bebek. Kadangkala ia harus di samping seperti ketika mengajak bermain kucing. Setiap posisi harus bisa dilakoni dan harus mengetahui kapan harus memberi komando di depan, kapan harus mengawasi dari belakang, dan kapan pula harus mendampingi seperti teman seiring.

Karena itu, pemimpin juga harus memiliki kesantunan dalam segala hal, termasuk dalam persoalan lisan. Menjadi pemimpin harus lolos kualifikasi qaulan layyina. Qaulan layyina adalah perkataan yang lemah lembut (Taha [20]: 44). Agaknya kita patut menilik kisah Nabi Musa a.s dengan Fir’aun. Sekalipun Fir’aun adalah raja yang sangat zalim, Allah Swt. tetap menyeru kepada Nabi Musa a.s untuk berkata lemah lembut, ia idak perlu keras terhadap Fir’aun, dan dituntun untuk menggunakan kata-kata yang lemah lembut.

سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ اَلْجَنَّةَ؟ قَالَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

Rasulullah Saw. pernah ditanya perihal sesuatu yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga. Ia menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. (H.R. Abu Hurairah).

Hadis tersebut mencerminkan adanya tanggung jawab sosial. Qaulan layyina (berkata yang lemah lembut) sebagaimana dalam ayat Alquran menunjukkan bahwa Alquran juga mengandung aspek sosial demi keberlangsungan hidup manusia.

Wallahu a’lam.

Tertib Berlalu Lintas dalam Perspektif Alquran

0
Tertib Berlalu Lintas dalam Perspektif Alquran
Tertib Berlalu Lintas dalam Perspektif Alquran (sumber: pixabay).

Kecelakaan merupakan salah satu berita yang hampir tiap hari muncul baik itu di media elektronik, media cetak, maupun internet. Terkadang penyebab kecelakaan itu sendiri tidak hanya dikarenakan faktor ketidaksengajaan, melainkan sudah dibarengi dengan sikap ketidakhati-hatian, ugal-ugalan, tidak taat aturan, dan hilangnya rasa saling menghormati serta toleransi dalam berlalu lintas.

Tulisan ini akan mengungkap dan memaparkan isyarat dari Alquran agar tertib dalam berlalu lintas. Apalagi saat ini menjelang lebaran banyak para pengendara yang akan melakukan mudik. Sehingga, dengan adanya tulisan ini dapat mengingatkan kita semua. Oleh sebab itu diharapkan tulisan ini mampu memberikan kesadaran bagi para pengendara, sehingga angka kecelakaan semakin berkurang.

Dalam Alquran, ditemukan sepenggal kisah yang menceritakan tentang Nabi Sulaiman a.s. yang sedang berkendara bersama para tentaranya. Mereka melewati suatu lembah, tempat pemukiman semut-semut dan jalur perlintasan mereka. Lalu ketika melihat Nabi Sulaiman dan para tentaranya tersebut mau lewat, pemimpin pemimpin semut memberikan aba-aba kepada para semut supaya mereka menghindar dan masuk ke dalam persembunyian. Kisah tersebut terdapat di ayat berikut.

Baca juga: Refleksi Q.S. Annaml Ayat 17-18: Etika Berlalu Lintas Qur’ani

Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia, dan burung, lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan); hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.(Q.S. An-Naml: 17-18).

Ayat tersebut secara jelas menyinggung masalah ketertiban yang ditunjukkan oleh semua personil Nabi Sulaiman a.s. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2004: 204) menjelaskan bahwa kata (يوزعون) pada ayat tersebut memberikan kesan bahwa keniscayaan adanya petugas yang memerintah, mengatur, dan memberikan sanksi apabila terjadi ketidaktertiban dalam suatu kelompok.

Selanjutnya ayat tersebut juga menjelaskan bahwa terdapat sikap saling menghormati, toleransi, serta tau diri dalam berlalu lintas. Hal ini dipahami dari sikap semut-semut tersebut yang menghindar dari adanya bahaya besar sehingga mereka masuk ke sarang-sarang mereka. Hal ini dipahami dari makna kata (لايشعورون) yang mengesankan bahwa semut-semut itu tidak menyalahkan Nabi Sulaiman dan tentaranya seandainya mereka terinjak-injak.

Baca juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Alquran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

Dari uraian di atas dipahami bahwa sebenarnya Alquran secara tidak langsung menginginkan adanya ketertiban, toleransi, dan kedisiplinan dalam berlalu lintas.

Semangat Alquran tersebutlah yang menjadikan rambu-rambu dan peraturan lalu lintas yang dibuat oleh pemerintah hendaknya harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan, karena hal tersebut merupakan bagian dari perintah Alquran agar tertib dalam hal berlalu lintas.

Menaati peraturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut terkhusus dalam hal berlalu lintas menjadi wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Alquran sebagai berikut.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 59).

Baca juga: Lebah, Semut dan Laba-Laba dalam Alquran

Ayat tersebut secara jelas menyuruh orang-orang beriman untuk menaati pemerintah (ulil amri), setelah menaati Allah dan Rasul. Ayat ini menurut tafsiran para ulama menunjukkan kewajiban menaati pemerintah apabila kebijakan atau aturan yang dibuat tersebut tidak bertentangan dengan perintah, aturan, dan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Dalam hal ini aturan berlalu lintas bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, menurut pemahaman dari Q.S. An-Naml ayat 17-18 tadi bahwa tertib berlalu lintas itu merupakan semangat dari Alquran. Itu artinya, menaati peraturan berlalu lintas menjadi wajib hukumnya karena sejalan dengan Alquran dan untuk kemaslahatan manusia.

Jalan Panjang Penguatan Moderasi Beragama dalam Tafsir Al-Quran

0
Moderasi Beragama dalam Tafsir
Moderasi Beragama dalam Tafsir

Penguatan moderasi beragama memang sudah diketok sebagai salah satu agenda prioritas pemerintahan sejak ditetapkannya sebagai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024, namun tidak demikian dengan pemaknaan istilah ‘moderasi beragama’. Pemahaman tentang istilah tersebut masih belum ada kata sepakat hingga sekarang. Sebagian pihak memahaminya sebagai antitesis dari radikalisme dan padanan dari liberalisme. Ada pula yang masih belum ‘move on’ memaknai istilah tersebut sama dengan dua istilah sebelumnya, yaitu moderasi Islam dan moderasi agama.

Untuk dua istilah (moderasi agama dan moderasi Islam) ini, banyak yang mempertanyakan validitas, posisi dan fungsi kata ‘moderasi’ dalam istilah tersebut, karena hal itu dianggap tahsil al-hasil (menghasilkan sesuatu yang sudah berhasil). Dalam kata ‘agama’ dan ‘Islam’, keduanya sudah mengandung nilai-nilai moderasi, jika ditambahkan ‘moderasi’ di depannya, maka hal tersebut hanya bersifat redundansi (pengulangan yang tidak penting).

Tampaknya, kajian yang lebih mendalam terhadap kedua istilah (moderasi agama dan moderasi Islam) tersebut dilakukan, hingga kemudian beralih ke istilah ‘moderasi beragama’. Dalam konteks tersebut, Tafsir Tematik Moderasi Beragama karya Tim Penyusun dari LPMQ (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an) terbit. Istilah yang digunakan adalah ‘moderasi beragama’, tidak lagi moderasi agama atau juga moderasi Islam. Sebagaimana diketahui bahwa sebelum ini, pada tahun 2012, LPMQ telah menyusun tafsir tematik yang juga membahas moderasi dengan judul Tafsir Tematik Moderasi Islam.

Di buku Tafsir Tematik Moderasi Beragama ini, akan didapati kembali pemaparan tentang makna moderasi beragama. Hal ini tentu menjadi kesempatan yang tepat untuk LPMQ dan pihak-pihak lain yang berkaitan untuk mengklarifikasi dan menjelaskan lebih detail mengenai makna moderasi beragama kepada khalayak umum.

Selain itu, ada banyak hal lain yang juga dibahas dalam buku ini, seperti prinsip-prinsip mpderasi beragama, indikatornya, hingga implementasinya dalam kehidupan. Semua bahasan ini berdasar pada hasil analisis dan elaborasi Tim Penyusun atas pesan dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadis.

Bagian dari Khazanah Tafsir di Indonesia   

Kehadiran Tafsir Tematik Moderasi Beragama menambah keragaman khazanah tafsir di Indonesia. Mengenai latar kemunculannya, dalam buku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh Kemenag RI (Kementerian Agama Republik Indonesia), Tafsir Tematik Moderasi Beragama sudah disinggung sebagai salah satu referensi penguatan moderasi beragama. Ini berarti bahwa buku tafsir ini mulai disusun sudah sejak lama sampai akhirnya benar-benar terbit di akhir tahun 2022.

Mengikuti prinsip bahwa tafsir adalah produk dari suatu masa, maka awal kehadiran dan proses penyusunan Tafsir Tematik Moderasi Beragama ini bisa menjadi bahan diskusi awal untuk memulai kajian-kajian panjang berikutnya. Demikian pula tindak lanjut penyelasaian buku tafsir ini, patut pula untuk ‘dipertanyakan’.

Bedah Buku Tafsir Tematik Moderasi Beragama yang diselenggarakan atas kerja sama tafsiralquran.id dan LPMQ berusaha menfasilitasi khalayak publik, khususnya para penikmat dan pengkaji tafsir untuk mendengar langsung paparan dari penulis tafsir dan para pakar yang akan membedah buku tafsir ini.

Benarkah Nabi Isa Disalib dan Wafat di Tiang Salib? (2)

0
Benarkah Nabi Isa dibunuh dan wafat ditiang salib?
Benarkah Nabi Isa dibunuh dan wafat ditiang salib?

Pada sekuel tulisan sebelumnya, telah dibeberkan dua dari empat pandangan tafsir pra modern yang dengan tegas menolak penyaliban Nabi Isa. Selanjutnya, pada tulisan seri kedua ini,  dibahas dua tafsir dari era pra modern lainnya, yakni Ar-Razi dan As-Syaukani. Disusul dengan penafsiran era modern. Dan berakhir dengan pengambilan kesimpulan.

Pandangan-Pandangan Tafsir Pra Modern

Sebagaimana jamak diketahui dalam kalangan mufasir, Ar-Razi terkenal dengan penafsirannya yang rasionalis. Ia mencoba membuka penafsiran mengenai penyaliban Isa dalam surah Annisa ayat 157 dengan mengajukan dua pertanyaan (Mafatih al-Ghaib 11/260). Pertanyaan pertama berkaitan dengan konteks kebahasaan, “apa sebenarnya subjek dari kata syubbiha (diserupakan)?”, sama persis dengan yang diajukan oleh Zamakhsyari di tulisan sebelumnya.

Baca juga: Benarkah Nabi Isa Disalib dan Wafat di Tiang Salib? (1)

Sedangkan pertanyaan kedua -dan ini yang menurut saya menarik- adalah suatu rangkaian keraguan panjang yang menyangsikan kasus penyaliban Nabi Isa. Berikut pernyataannya:

“(jika mungkin dikatakan) bahwa Allah telah melakukan penyerupaan seseorang dengan yang lain, maka hal ini bisa membuka pintu safsathah (kesesatan cara berpikir). Ini karena jika kita bertemu dengan Zaid, bisa jadi dia bukanlah Zaid. Melainkan seseorang yang diberi penampakan mirip Zaid. Jika kejadiannya seperti itu, maka pernikahan, pentalakan, serta hak kepemilikan semuanya akan binasa.

Keadaan demikian juga akan merendahkan (standar epistimologi) tawatur (isnad yang diriwayatkan oleh banyak orang hingga mustahil adanya kebohongan). Karena sebuah riwayat tawatur hanya bisa dipastikan validitasnya setelah diketahui bahwa pembawa informasi saling bertemu secara fisik (mahsusat). Jadi, jika kita menerima pemikiran mengenai penyerupaan untuk hal-hal kasat mata, ia akan membatalkan tawatur. Dan pada akhirnya, bisa merendahkan semua hukum-hukum syariat (yang sumbernya juga melalui tawatur).”

Pernyataan Ar-Razi sebenarnya masih cukup panjang, namun sebagian kecil ini menurut saya sudah mewakilinya. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana dia mencoba menjawab pertanyaan itu. Ar-Razi, menawarkan jawaban-jawaban yang dia sandarkan kepada para teolog dialektis (al-mutakallimun).

Pertama, menurut kebanyakan mutakallimin, saat orang-orang Yahudi hendak membunuh Nabi Isa Allah mengangkatNya ke langit. Melihat hal demikian, para pemimpin mereka pun takut akan terjadinya fitnah (konflik) di kalangan masyarakat. Sehingga mereka insiatif mengambil orang lain untuk dibunuh dan disalib kemudian berbohong kepada orang-orang dengan menyebutnya sebagai Isa. Hal ini berhasil, karena masyarakat awam Yahudi mengenal Isa hanya lewat wajahnya, sebab Isa jarang bersosialisasi dengan mereka.

Cerita ini sama sekali berbeda dengan cerita yang dibawakan oleh Thabari dan Zamakhsyari. Dan kisah ini tampaknya mendukung Ar-Razi untuk menjawab pertanyaan yang dia ajukan sendiri, karena ‘tidak ada masalah’ terkait bagaimana mukjizat penyerupaan atas Isa terjadi. Inilah, yang menurut saya, menjadi ciri khas Ar-Razi dalam penafsiran.

Baca juga: Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender

Kedua, tampaknya pandangan akan mukjizat penyerupaan fisik seseorang masih terlalu dominan di kalangan mutakallimin masa itu dengan banyak variasi kisahnya. Ar-Razi setidaknya menyebutkan empat cerita yang kurang lebih mirip dengan riwayat-riwayat yang disajikan Thabari dalam Jami’ Al-Bayan.

  1. Bahwa seorang Yahudi yang dikirimkan untuk membawa Isa keluar dari rumahnya telah diserupakan denganNya, sehingga dia dibunuh para koleganya.
  2. Bahwa seorang Yahudi yang diutus untuk memata-matai Isa saat naik gunung dan diangkat ke langit telah diserupakan dengan Isa, dan dibunuh kawanannya sendiri.
  3. Bahwa pada saat rumah Isa dikepung, dia meminta seorang muridnya untuk menggantikannya dengan imbalan surga.
  4. Bahwa seorang murid Isa berusaha mengkhianatiNya dengan menjual informasi keberadaan Isa dan kemudian dia dibuat serupa dengan Isa hingga akhirnya terbunuh.

Usai mengakhiri keempat versi ini, Razi tidak memilih salah satu untuk diunggulkan. Mungkin dia kurang berminat dengan kisah-kisah tersebut. Dia justru memungkasi cara pandang kedua dengan menyatakan “dan semua kemungkinan ini saling bertentangan dan bertolak belakang (muta’aridhah mutadafi’ah), dan Allah lebih mengetahui segala kebenaran.

Yang terakhir dari tafsir pra modern adalah Syaukani. Dia merupakan seorang ulama yang muncul beberapa saat sebelum Gerakan modernis. Dalam bukunya, “Fath al-Qadir, 1/615”, Syaukani dengan tegas menolak adanya penyaliban Isa dengan menyatakan bahwa kisah-kisah soal kematian Isa hanyalah penyelewengan-penyelewangan (tahrif) umat Nasrani.

Syaukani juga menambahkan sedikit keterangan soal syubbiha lahum, yang sebelumnya sudah disinggung. Bahwa penyerupaan telah terjadi dalam diri orang lain. Lebih jauh, dia juga mengutip riwayat yang dia sebut dengan istilah (qila), bahwa orang-orang Yahudi tidak mengenal wajah Isa sehingga mereka terperdaya saat membunuh seseorang.

Dengan ini usai sudah pembahasan kita mengenai perspektif penafsiran pra modern soal penyaliban Isa. Semua cenderung menolaknya dengan berbagai bukti periwayatan hadis, meski riwayatnya Cuma berhenti di tabi’in. Namun ada yang menarik dari dua penafsir belakang ini, Razi dan Syaukani. Mereka mencoba memaparkan fakta opini publik kaum Nasrani soal kebenaran kematian Isa.

Menurutnya, meski kaum Nasrani sama-sama meyakini bahwa Isa disalib namun mereka terpecah menjadi tiga bagian. Ya’qubiyyah, Malkaniyyah, dan Nestorian. Dua yang pertama menjadi mainstream pemahaman Nasrani bahwa pembunuhan serta penyaliban benar-benar dialami oleh Isa. Sedangkan Nestorian punya pandangan berbeda, bahwa memang kenyataannya Isa disalib, namun aspek manusiawinya (nasut) saja, tidak aspek ilahiahnya {lahut). Karena, ruh Isa telah diangkat ke alam Tuhan, tempat ruh menikmati segala kebahagiaan.

Pandangan-Pandangan Tafsir Modern

Abdullah Saeed (Al-Quran  Abad 21, 234) selanjutnya beralih ke pandangan-pandangan tafsir modern. Dia menyebut beberapa nama mufasir Alquran sepanjang zaman modern ini. Namun karena tampaknya mereka tetap melanjutkan tradisi penolakan atas penyaliban Isa maka saya hanya mengulas sekilas saja.

Abul A’la Maududi menolak penyaliban Isa yang sejalan dengan kisah-kisah Injil. Dia dengan lugas berkomentar bahwa surah Annisa ayat 157 jelas memberikan poin bahwa Nabi Isa diselamatkan dari penyaliban dan bahwa umat Yahudi dan Kristen salah dalam meyakini Isa mati di tiang salib. Kajian komparatif Alquran dan Bibel menunjukkan bahwa yang hadir dalam pengadilan adalah Isa sendiri. Namun hasil akhirnya, mereka gagal menyalib Isa karena diselamatkan oleh Allah melalui mukjizat penggantian.

Sementara itu, Sayid Qutb menolak penyaliban dengan mengutip cerita Injil Barnabas yang juga menceritakan bahwa bukan Isa yang disalib, melainkan muridnya yang berkhianat. Dia juga menolak untuk menggunakan keempat Injil sebagai patokan, karena menurutnya rentang waktunya terpaut cukup jauh dengan kematian Isa.

Beberapa mufasir kontemporer lain juga menolak penyaliban Isa dengan metode-metode tersendiri. Rasyid Rida, misalnya dalam Al-Manar, juga ikut menolak mengamini adanya penyaliban Isa dengan menjawab beberapa kesangsian dari umat Nasrani jika Isa tidak disalib.

Kesimpulan

Walhasil kita sampai pada kesimpulan bahwa sepanjang penafsiran yang dilakukan umat muslim seluruhnya sepakat menolak penyaliban Isa. Meski sumber-sumber dari kisah yang digunakan untuk menopang penolakan tersebut bisa dibilang cukup terlambat, karena periwayat utama kisah ini merupakan seorang generasi tabiin, yakni Wahb bin Munabbih. Namun hemat saya, riwayat-riwayat tersebut cukup untuk mengafirmasi firman Allah soal kejadian pengangkatan Isa ke langit dan gagal disalib oleh orang-orang Yahudi.

Mengenal Karakteristik Mushaf Kuno Jawa

0
Mengenal Karakteristik Mushaf Kuno Jawa
Gambar 1. Ornamen yang berhadapan pada halaman pembuka Add. MS 12312 (Sumber: British Library).

Beberapa waktu yang lalu, Bu Annabel dalam tweet-nya membagikan hasil kajian mushaf kuno dari Jawa yang sangat menarik. Kajian tersebut dimuat di British Library pada Asian dan African studies blog berjudul Qur’an manuscript from Java. Kendati tertanggal April 2015, relevansi kajian tersebut terhadap apa yang penulis temukan sangatlah erat.

Qur’an manuscript from Java berisi kajian atas dua mushaf kuno dari Jawa koleksi John Crawfurd (1783-1868), seorang dokter berkebangsaan Skotlandia yang bergabung dengan East India Company pada tahun 1803 dan sempat menjadi Residen Yogyakarta dari tahun 1811 sampai 1816. Karyanya yang cukup penting dan populer adalah A grammar and dictionary of the Malay language, selain banyak koleksi manuskrip Melayu, Jawa, dan Bugis yang ia miliki.

Kajian terhadap dua mushaf kuno ini sendiri bukan mengenai deskripsi atas keduanya. Hal ini dikarenakan deskripsi keduanya telah diberikan British Library dalam hasil digitalisasi manuskrip berkode Add MS 12312 dan Add MS 12343 tersebut. Kajian lebih dimaksudkan sebagai pencarian bukti konklusif atas karakteristik mushaf kuno Jawa.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Dari kajian tersebut, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa mushaf kuno Jawa memiliki beberapa karakter, antara lain; 1) bingkai di sekeliling teks yang terdiri dari susunan sederhana atas dua, tiga, atau empat garis; 2) penyorotan kata-kata pertama dari tiap-tiap juz dalam berbagai cara; 3) desain unik dan khas pada akhir ta’ dan ta’ marbuthah pada kolom kepala surah; serta 4) desain unik dan khas pada ‘ayn penanda ruku‘.

Selain karakter yang menjadi kekhasan mushaf Jawa tersebut, ada beberapa hal lain yang barangkali dapat dijadikan acuan bahwa mushaf tersebut berasal dari Jawa, seperti penggunaan dluwang atau daluwang sebagai alas mushaf disertai dengan penanggalan abad 18 Masehi. Selain itu, juga terdapat ornamen pada batas vertikal manuskrip yang saling berhadapan, serta preferensi garis lurus menyandingkan elemen vertikal, horizontal, dan diagonal.

Gambar 2. Elemen vertikal, horizontal, dan diagonal pada halaman pembuka Add. MS 12343 (Sumber: British Library).

Beberapa karakteristik yang telah disebutkan sebelumnya agaknya sesuai dengan apa penulis dapati ketika menelaah Mushaf Blawong Gogodalem (lihat deskripsi selengkapnya pada Mushaf Blawong Gogodalem: Interpretasi Sejarah Melalui Pendekatan Kodikologi). Meskipun tingkat identifikasinya berbeda antara satu dengan yang lain, tetapi karakteristik tersebut ditemukan di dalamnya.

Baca juga:Mengenal Mushaf Alquran Blawong Gogodalem yang Dianggap Mistis (Part 1)

Pada aspek bingkai, keempat Mushaf Blawong sama-sama menggunakan susunan garis yang sederhana. Dapat dilihat pada gambar di bawah ini bahwa perbandingan penggunaan garis keempatnya menunjukkan adanya kesamaan pada pola dan jumlah garis yang digunakan. Yakni empat garis yang disusun secara bertumpuk dalam dua pasang.

Gambar 3. Perbandingan garis tepi halaman naskah pada Mushaf Blawong (Sumber: koleksi pribadi penulis).

Pada aspek penyorotan kata awal di setiap juz, keempat Mushaf Blawong juga memiliki karakteristik yang sama. Hanya pada mushaf berkode BRI 84 yang menggunakan teknik penyorotan yang berbeda; sebelum kata pada awal juz diberikan ornamen semacam bunga (floral) pada penanda ayatnya. Sedangkan sisanya menggunakan teknik pewarnaan yang berbeda, yakni dengan tinta merah.

Gambar 4. Perbandingan teknik penyorotan awal juz pada Mushaf Blawong (Sumber: koleksi pribadi penulis).

Sedangkan untuk penulis ta’ dan ta’ marbuthah, hanya dua mushaf dari Mushaf Blawong yang menerapkan desain khas dengan menarik garis huruf ta’ hingga membentuk hiasan tertentu, yakni mushaf berkode BRI 82 dan BRI 85. Dua mushaf sisanya cenderung menggunakan pola penulisan normal tanpa hiasan.

Gambar 5. Perbandingan teknik penulisan kepala surah pada Mushaf Blawong (Sumber: koleksi pribadi penulis).

Baca juga: Mushaf Kuno dan Ekonomi Kreatif

Adapun penanda ruku‘ yang menggunakan simbol huruf ‘ayn, keempat Mushaf Blawong menggunakan gaya yang berbeda-beda. Namun demikian, secara keseluruhan memiliki desain unik dan khas yang menjadi karakteristik mushaf kuno Jawa.

Gambar 6. Perbandingan gaya ruku‘ pada Mushaf Blawong (Sumber: koleksi pribadi penulis).

Secara umum dapat dikatakan bahwa hasil kajian yang dibagikan oleh Bu Annabel mengenai karakteristik mushaf kuno Jawa dapat dijadikan acuan penanda bagi mushaf kuno Jawa yang membedakannya dengan mushaf daerah lain. Hal ini diperkuat dengan apa yang penulis temukan dalam empat Mushaf Blawong Gogodalem yang juga menjadi bagian dari mushaf kuno Jawa. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

0
3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim
3 Hikmah Puasa Bagi Seorang Muslim

Puasa dalam bahasa Arab disebut shiyam atau shaum, yang artinya adalah menahan. Di dalam peraturan syarak dijelaskan bahwasanya shiyam menahan makan, minum dan bersetubuh suami isteri dari waktu fajar sampai waktu maghrib, karena menjunjung tinggi perintah Allah. Maka setelah nenek-moyang memeluk agama Islam, digunakan kata “puasa” untuk menjadi arti daripada shiyam tersebut. Karena memang sejak agama terdahulu, peraturan puasa itu telah ada. Sebagaimana firman Allah Swt.,“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan kepada kamu puasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu.” (pangkal Albaqarah [2]: 183)

Dengan adanya ibadah puasa di bulan Ramadan, seorang muslim dapat mengambil 3 hikmah penting untuk dijadikan sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Menjadi pribadi yang pandai bersyukur

Dalam KBBI, bersyukur artinya berterima kasih. Sedangkan syukur merupakan pujian yang diberikan kepada yang memberikan kebaikan. Dalam kehidupan, selalu timbul asumsi indah kepada sesuatu yang belum dimiliki, sehingga mengakibatkan kurang bahagia dan bahkan bersedih atas apa yang sudah dimiliki. Bahkan menjadikan kehidupan orang lain sebagai tolok ukur.

Bersyukur terkadang memang sulit, selalu ada alasan untuk mengeluh terhadap keadaan, bahkan sampai berani untuk menyalahkan kehendak Tuhan. Bagi orang yang memiliki ekonomi cukup, puasa tentunya tidak memiliki hambatan selain hawa nafsunya. Namun, bagaimana dengan orang yang sedang berada di masa yang sulit? Tentu tidak mudah bagi orang-orang miskin.

Ikut berbagi rasa kepada orang yang membutuhkan merupakan salah satu bentuk bersyukur atas nikmat dan keselamatan yang masih diberikan oleh Allah Swt. Bersyukur hingga saat ini masih dapat menolong manusia yang tengah berjuang melawan kesulitan. Berbagi makanan untuk berbuka puasa, ataupun melaksanakan sahur bersama salah satunya yang dapat dilaksanakan di bulan Ramadan. Sebagaimana firman Allah Swt:

ٱعْمَلُوٓا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ

“…Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur” ( Saba’ [34]: 13)

Berdasarkan penafsiran Ibnu Katsir  (Jilid 6, 557), ayat ini menjelaskan, bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk bekerja sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan kepada mereka, baik dalam agama maupun dunia.  Kata “ شُكْرًا “ merupakan bentuk mashdar dari bukan fi’il atau menjadi maf’ul lahu. Atas dasar kedua asumsi tersebut terkandung petunjuk bahwa, syukur dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat pula dengan perkataan dan niat. Sebagaimana seorang penyair berkata:

أفَادَتْكُمُ النّعْمَاء منِّي ثَلاثةً:. يدِي، ولَسَاني، وَالضَّمير المُحَجَّبَا …

“Nikmat-nikmat itu memberikan manfaat bagi kalian dari-Ku (sebagai rasa terima kasihku), dengan tiga hal; melalui tanganku, lisanku, dan hati yang tidak kelihatan”.

Abu ‘Abdirrahman as-Salami berkata, “Salat adalah syukur, shaum adalah syukur dan setiap kebaikan yang dikerjakan karena Allah adalah syukur. Seutama-utama syukur adalah pujian. (HR. Ibnu Jarir).

Baca Juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Menjadi pribadi yang sabar

Sabar merupakan tindakan untuk menahan diri dari hal-hal yang ingin dilakukan, menahan diri agar tidak terpancing emosi, tidak mengeluh saat dalam kondisi yang sulit ataupun sedang mengalami musibah.

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa hakikat kehidupan ini, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam. Ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya sedikit, sehingga betapapun besarnya, ia sedikit jika dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang akan diterima. Cobaan itu sedikit, karena betatapun besarnya cobaan, ia dapat terjadi dalam bentuk yang lebih besar daripada yang telah terjadi. Bukankah ketika mengalami setiap bencana, ucapan yang sering terdengar adalah “Untung saja…” Ia sedikit, karena cobaan dan ujian yang besar adalah kegagalan menghadapi cobaan, khususnya dalam kehidupan beragama.

Pada fakta yang terjadi saat ini, apakah masih mampu untuk menjadi orang yang bersabar? Dengan kondisi keadaan yang tentunya banyak tuntutan dalam hidup, dan tidak sedikit pula yang melakukan segala cara untuk mendapatkan ambisi-ambisi yang diinginkan, sehingga menghalalkan segala cara yang haram untuk mendapatkannya. Cara untuk melatih diri untuk bersabar dari keinginan-keinginan tersebut itu tidak lain dengan berpuasa, dengannya akan semakin terdidik untuk bertakwa kepada Allah dan taat kepada-Nya. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw. bersabda:

الصَّوْمُ نِصْفُ الصَّبْرِ

 “Puasa adalah separuh kesabaran.” (HR. Tirmidzi: Kitab ad-Da’awat no. 3519)

Dengan demikian, seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan baik dan benar, secara bersamaan juga mengasah kesabaran dirinya. (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 1, 418)

Baca Juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Menjadi pribadi yang senantiasa jujur

Seorang muslim, harus bersikap jujur dalam melakukan sesuatu apapun. Sifat jujur, tentunya akan banyak memberikan manfaat untuk mengantarkan kita ke surga, karena orang jujur sangat dicintai oleh Allah, dan begitupun sebaliknya jika manusia tidak memilikinya maka akan mengantarkannya ke dalam neraka.

Salah satu bentuk refleksi ketakwaan seorang muslim kepada Allah adalah bersikap jujur. Sebab ibadah puasa ini hubungannya langsung antara manusia dengan Allah.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَكُونُوا۟ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ

 “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”. (Altaubah [9]: 119)

Menurut Buya Hamka, ayat ini menjelaskan, meskipun terkadang ujian itu berat untuk ditempuh, namun takwa hendaklah terus ditegakkan. Seperti halnya dengan kejujuran, yang terkadang meminta pengorbanan dan penderitaan, tetapi harus tetap bertahan pada kejujuran. Sebagaimana kisah Ka’ab bin Malik dan orang-orang yang menempuh jalan yang benar, mereka memiliki pendirian, biarlah menderita secara zahir, namun bahagia secara batin. (Buya Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 4, 3161)

Pada fakta yang terjadi saat ini, jujur merupakan sifat yang langka untuk ditemukan. Semakin takut mengungkapkan kebenaran dan justru memilih jalan sebaliknya untuk mencapai tujuannya. Maka sudah seharusnya, sejatinya puasa bukan hanya sekadar untuk menahan lapar dan haus sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, namun intinya adalah untuk pengendalian diri.

Ketika melaksanakan ibadah puasa, seseorang bisa saja berbohong pada orang lain. Seakan-akan ia masih dalam keadaan berpuasa. Namun, ketika tiba waktunya berbuka, antusias ikut berbuka. Mungkin ia bisa saja menutupi kebohongannya dari manusia, namun tidak dengan hati dan dari Allah Swt.

Lalu, perihal sabar dan syukur, keduanya tidak dapat dipisahkan. Karena dalam syukur terdapat rasa untuk bersabar dan dalam kesabaran terdapat rasa syukur, sehingga tidak bisa sabar tanpa syukur, begitupun sebaliknya. Sedangkan Jujur, akan membawa pada lapangnya hidup, karena Allah tidak akan luput dari segala pembalasan amal yang telah kita perbuat.

Wallahu a’lam.

Ramadan, Zakat Fitrah, dan Mustahiknya

0
Ramadan, zakat fitrah, dan mustahiknya
Ramadan, zakat fitrah, dan mustahiknya

Selain berpuasa, kewajiban lain bagi umat Islam yang pelaksanaannya melekat dengan bulan Ramadan adalah zakat fitrah. Waktu penunaiannya yang dekat dengan idul fitri, ole ulama fikih disebut sebagai salah satu alasan penamaan zakat tersebut.

Waki’ bin Jarrah (guru Imam Syafii), yang dikutip oleh Syekh al-Bujairimi dalam al-Bujairimi ‘Ala al-Khatib mengambarkan keutamaan zakat fitrah bagi bulan Ramadan seperti sujud sahwi untuk salat. Zakat fitrah bisa menambal kekurangsempurnaan puasa sebagaiman sujud sahwi dapat menambal kekurangsempurnaan salat. Demikian ini menunjukkan bahwa puasa Ramadan seseorang tidak akan sempurna jika dia tidak menunaikan zakat fitrah.

Namun analogi yang disinggung sebelumnya ini tidak berlaku di ranah hukum pelaksanan. Zakat fitrah itu wajib, sedangkan sujud sahwi itu sunnah. Kewajiban zakat fitrah berdasar pada hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadan kepada umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun budak, kecil maupun besar yang berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. (H.R. al-Bukhari)

Kewajiban zakat fitrah ini berlaku jika seseorang sudah memenuhi tiga syarat. Beberapa syarat tersebut berdasar pada hadis Rasulullah yang sudah dinukil sebelumnya. Syarat pertama yaitu Islam; Kedua, masih mendapati ujung hari di hari terakhir Ramadan; Ketiga, mempunyai kelebihan harta, yakni di luar harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya minimal pemenuhan kebutuhan dalam waktu dua puluh empat jam.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?

Delapan Mustahik Zakat

Selain mengatur tentang orang-orang yang wajib menunaikan zakat, Islam melalui Alquran juga mengatur orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat). Para penerima zakat ini sudah diatur dalam Alquran, surah At-Taubah [9] ayat 60

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60)

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Q.S. at-Taubah [9]: 60.

Berdasarkan ayat tersebut, diketahui bahwa mustahik zakat itu ada delapan orang. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan satu persatu tentang pengertian delapan pihak tersebut.

Mustahik zakat yang pertama dan kedua, yaitu fakir dan miskin. Keduanya identik sama, meski tidak persis. Keduanya sama-sama tidak memiliki kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Sedang perbedaan keduanya beragam, satu dari yang memahami perbedaannya yaitu al-Qurtubi. Mufasir asal Cordoba ini memahami bahwa fakir adalah seseorang yang butuh dari kaum muslimin dan miskin adalah orang yang butuh dari ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani).

Beberapa ulama fikih juga memahami perbedaan kategorisasi fakir dan miskin. fakir adalah seseorang yang tidak punya harta, tidak punya pekerjaan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Sedangkan miskin yaitu seseorang yang punya harta dan juga punya pekerjaan, tetapi masih belum bisa memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Namun seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, apa pun kategorisasi yang diberikan kepada keduanya, baik fakir maupun miskin sama-sama butuh bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang layak.

Mustahik zakat yang ketiga yaitu ‘amil (pengelola zakat). ‘Amil meliputi dari orang yang mengkoordinir pengumpulan zakat, mencari para mustahiknya, menentukan, menginventarisir mereka, dan mendistribusikan zakat. M. Quraish Shihab memberi catatan bahwa ‘amil ini seharusnya diangkat oleh pemerintah. Dengan begitu, seseorang yang ditugasi tersebut resmi menjadi ‘amil. Ini akan berbeda dengan seseorang yang langsung, tanpa ‘surat tugas’, menerima zakat dan membagikannya kepada yang berhak. Orang yang seperti ini bukan ‘amil, tapi ‘hanya’ wakil pemberi zakat.

Keempat yaitu mualaf. Ada banyak kategori dalam golongan yang keempat ini. M. Quraish Shihab merangkumnya menjadi dua. Pertama yaitu non muslim dan yang kedua yaitu muslim. Untuk kategori pertama, ada dua kondisi, yaitu non muslim yang memiliki kecenderungan memeluk Islam, dan non muslim yang dikawatirkan gangguannya terhadap umat Islam.

Untuk kategori kedua, ada tiga kondisi. Pertama, orang yang baru masuk Islam yang belum mantap imannya; Kedua, orang yang baru masuk Islam dan sudah mantap keimanannya, yang dia juga mempunyai kedudukan yang berpengaruh di masyarakat; Ketiga, orang Islam yang diberi zakat dengan harapan berjihad melawan para pembangkang zakat.

Baca Juga: Haruskah Zakat Fitrah Dibagikan Secara Merata ke Delapan Golongan?

Mustahik zakat yang kelima yaitu riqab (hamba sahaya atau budak). Untuk zaman sekarang yang sudah tidak mengenal perbudakan, M. Quraish Shihab memberi penjelasan yang mengutip Mahmud Syaltut. Menurut mantan Syaikh Al-Azhar itu, masayarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang sedang dijajah sama posisinya dengan riqab, bahkan bisa jadi kondisinya lebih parah.

Selain itu, pengertian ‘hamba sahaya’ atau ‘budak’ di masa sekarang menurut M. Qurasih Shihab bisa dipahami seperti kasus tenaga kerja yang diikat kontrak dengan satu pengusaha, yang dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan harus membatalkan kontraknya secara sepihak, sedang pemilik perusahaan enggan membatalkan kecuali dengan ganti rugi. Seseorang yang mengalami kondisi seperti ini, bisa dan berhak menerima zakat, karena dia seperti orang yang tidak merdeka, kehidupannya masih tergantung pada atasannya.

Mustahik zakat yang keenam yaitu gharim (orang yang terlilit hutang yang tidak mampu membayarnya). Tentu saja, hutang yang dimaksud tidak untuk hal-hal kemaksiatan.

Mustahik zakat berikutnya yaitu fi sabilillah. Para mufasir klasik memaknai istilah ini dengan para pejuang yang terlibat dalam peperangan. Namun di hadapan mufasir kontemporer, pemahaman tentang istilah tersebut mengalami perluasan, yaitu orang-orang yang aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan dakwah Islam dan meninggikan ‘kalimat’-Nya.

Mustahik zakat yang terakhir yaitu ibn sabil. Ulama klasik memahami ibn sabil dengan seseorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, sekali pun dia kaya di negeri asalnya.

Demikian delapan mustahik zakat yang diatur oleh Islam dalam Alquran. Ini bertujuan tidak lain agar zakat itu sampai pada tangan pihak yang tepat, yang benar-benar membutuhkan. Dengan begitu, tujuan sosial dari zakat, yakin membantu orang yang membutuhkan dapat tercapai. Wallah a’lam.

Tafsir Kemanusiaan Syekh Abdul Latif Syakur

0
Tafsir Kemanusiaan Abdul Latif Syakur
Tafsir Kemanusiaan Abdul Latif Syakur. Foto: lektur.kemenag.go.id

Tema ‘manusia’ di dalam Al-Quran menjadi tema sentral yang kerap dibahas-jelaskan. Tidak hanya berkaitan dengan perolehan pahala lantaran ketaatannya beribadah, tetapi juga proses penciptaannya, narasi historis umat manusia di masa silam, indikasi manusia terpilih, termasuk relasi sosial manusia dengan sesama dan sekitarnya. Maka mafhum bila tidak sedikit ulama di negeri ini, yang memilah-milih tafsir ayat-ayat di kitab suci Alquran dengan berangkat dari term ‘manusia’.

Salah satu di antara ulama yang dimaksud, dikenal dengan nama Syekh Abdul Latif Syakur. Ulama Minangkabau yang berasal dari Balai Gurah IV Angkek, Candung, Kabupaten Agam ini memproduksi setidaknya tiga naskah tafsir Alquran. Satu naskah tafsir salinan cetakan dengan judul al-Da’wah wa al-Irsyad ila Sabil al-Rasyad, dan dua judul naskah tafsir salinan tangan: satu naskah tafsir diawali dengan redaksi ya ayyuha al-nas, dan satu naskah tafsir yang lain diawali dengan redaksi ya ayyuha al-ladzina amanu.

Syekh Abdul Latif Syakur terbilang ulama yang produktif. Kendati namanya tidak semashur ulama-ulama lain Minangkabau semisal Syekh Abdul Karim Amrullah, Syekh Sulaiman Arrasuli, Hamka, dan Mahmud Yunus, tetapi karya-karyanya memiliki posisi tersendiri yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa karyanya antara lain Lathâif al-Ahâdîts al-Nabawiyah, Mabâdi’ al-’Arabiyah wa Lughatuha, Tambo Islam, Akhlâqunâ al-Adabiyah, Al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm, Qism al-Tauhîd, al-Akhlaq wa al-Adâb, Mulakhash al-Târîkh al-Islâmi, al-Fiqh al-Akbar, Al-Da’wah wa al-Irsyâd, Mabâdi’ al-Qâri, dan Ta’lîm al-Qirâah al-’Arabiyah. Kemungkinan masih ada beberapa karya lain miliknya yang belum ditemukan, terbaca, dan dikaji secara mendalam.

Baca Juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab

Pramono dalam bukunya, Khazanah Naskah Minangkabau (2018), memberi catatan ihwal posisi dan keunikan tafsir Alquran Syekh Abdul Latif Syakur ini. Misalnya dalam naskah tafsir al-Da’wah wa al-Irsyad ila Sabil al-Rasyad yang rampung ditulis pada 1949 M. Di bagian awalnya, Syekh Abdul Latif Syakur memberi dua argumentasi ihwal fokus kajian tafsirnya yang memilih topik manusia.

Pertama, menurutnya, manusia merupakan makhluk-Nya yang paling mulia. Kemuliaan ini diperoleh lantaran manusia dianugerahi akal yang jadi pembeda dengan makhluk-makhluk lainnya. Akal tersebut pada dasarnya menjadi piranti untuk mengelola bumi dan seisinya supaya tetap harmonis.

Hanya saja yang kedua, manusia itu beragam dari berbagai sisi. Sekalipun berasal dari rahim dan agama yang sama, tetapi sisi beraneka ragamnya manusia tetap tidak bisa ditolak. Menurut Syekh Abdul Latif Syakur, beragamnya manusia tidak hanya dialami di bagian jasad dan kondisi lingkungannya, tetapi juga merangsek pada bagian ruhaninya manusia.

Kutipan di bagian awal naskah al-Da’wah wa al-Irsyad ila Sabil al-Rasyad (1949 M): “… Maka dengan memikirkan itu teringat oleh hamba akan mengumpulkan beberapa ayat Allah yang menunjukkan berbagai-bagai keadaan manusia, kira-kira ayat yang berawalan ‘wa min al-nas’ berikut.”

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Meskipun naskah tafsir Alquran yang diproduksi Syekh Abdul Latif Syakur ini usianya lebih dari setengah abad, tetapi masih bisa ditemukan relevansinya untuk konteks sekarang. Salah satu contoh yaitu penafsirannya tentang surah Al-Ankabut (29): 12 yang berbunyi: “Ketahuilah bahwa corak manusia itu sebahagian berpendirian mengambil muka pada musuh, karena mengharapkan laba dan keuntungan atau mengasihi pangkat dan derajat. Kalau rasa akan mendapatkan kesenangan, suka dia kepada musuh, ditinggalkannya agama, diputuskannya masyarakatnya dengan kaumnya.”

Tafsir tersebut mengamati perangai manusia yang kurang arif, yaitu manusia yang memilih bersikap membela kepentingannya sendiri dan atau kelompoknya, meskipun dampaknya destruktif untuk orang atau pihak lain yang lebih banyak. Sebagai contoh yaitu tindakan korupsi. Jelas bahwa korupsi ini terjadi karena seseorang hanya memikirkan kepentingannya sendiri, menegasikan kepentingan dan kemaslahatan orang lain yang lebih besar.

Syekh Abdul Latif Syakur tercatat wafat pada tahun 1963 di usianya yang ke-81 tahun. Ulama Minangkabau ini menambah nama daftar mufasir Indonesia yang produktif pada masanya. Semoga kita bisa meneladani dan melanjutkan semangatnya. Wallah a’lam.

Makna Iktikaf dalam Alquran

0
Makna Iktikaf dalam Alquran
Makna Iktikaf dalam Alquran

Iktikaf (Bahasa Indonesia) berasal dari bahasa Arab, yakni i’tikaf. Kata ini masuk dalam bahasa Indonesia menjadi serapan (KBBI, 2022). Iktikaf diartikan diam beberapa waktu di dalam masjid sebagai suatu ibadah dengan syarat-syarat tertentu (sambil menjauhkan pikiran dari keduniaan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan).  Iktikaf bukan sekadar berdiam diri. Kegiatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Para ulama telah banyak mendefinisikan iktikaf sebagaimana diringkas pada KBBI tersebut.

Iktikaf menjadi semarak ketika sepuluh hari menjelang akhir Ramadan. Dari ‘A’isyah r.a, ia menuturkan bahwa Nabi Saw. sering melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan (HR Tirmidzi). Nabi Saw. sering meninggalkan isteri-isterinya pada waktu tersebut untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini menjadi contoh bagi umatnya untuk memantapkan hati beriktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan.

Alquran sebagai petunjuk hidup manusia pasti memberikan informasi tentang iktikaf ini. Bagaimana Alquran menuturkannya? Berikut ini penjelasannya.
Baca Juga: Paket “Three in One” dalam Iktikaf di Sepuluh Hari Terakhir Ramadan

Kata iktikaf dalam Alquran

Iktikaf dalam Alquran diawakili oleh beberapa kata. Pertama, kata الْعَاكِفِينَ (Albaqarah [2]: 125)  dalam bentuk jamak yang bermakna orang-orang yang beriktikaf. Kedua, kata عَاكِفُونَ (Albaqarah [2]: 187) dalam bentuk jamak yang maknanya sama dengan poin pertama. Ketiga, kata الْعَاكِفُ (Alhajj [22]:25) berbentuk mufrad (tunggal) bermakna seseorang yang iktikaf.

Dua ayat berbentuk jamak dan satu ayat berbentuk mufrad tergantung pada narasi kalimat yang berada pada ayat tersebut. Pada Albaqarah [2]: 125, kata الْعَاكِفِينَ berbentuk jamak karena ia menjadi rangkaian konjungsi (‘athaf) dengan kata sebelumnya yaitu لِلطَّائِفِينَ (untuk orang-orang yang tawaf).  Pada Albaqarah [2]: 185, kata عَاكِفُونَ berbentuk jamak yang selaras dengan posisinya sebagai khabar dari mubtada’ kata antum. Sementara pada Alhajj [22]: 25, kata الْعَاكِفُ berbentuk mufrad.

Kata yang jamak menunjukkan ada pihak lain yang terlibat atau penyebutan banyaknya orang yang melakukan pekerjaan tersebut. Sementara kata mufrad, menunjukkan makna hanya seseorang yang melakukannya. Jamak dan tidaknya kata ini setidaknya menggambarkan ruang makna yang ada dalam khithab ayat pada situasi masyarakat ketika ayat ini turun. Misalnya, pada kata yang jamak di Albaqarah [2]:125, kata ini rangkaian dari kata sebelumnya yang masih berbentuk jamak. Artinya, perbuatan iktikaf telah banyak dilakukan oleh orang-orang yang mendatangi Baitullah. Tidak hanya satu orang, melainkan banyak orang yang telah melakukakannya. Ada informasi historis dari ayat ini bahwa telah banyak orang yang melakukan iktikaf sebelum zaman Nabi Muhammad Saw.

Baca Juga: Hikmah Disandingkannya Ayat Tentang Itikaf dan Puasa Di dalam Al-Qur’an

Makna Ayat Iktikaf

Semua kata ‘akafa dan turunannya baik jamak maupun mufrad memiliki arti yang sama. Kata ini berasal dari huruf ain, kaf, dan fa.  Kata ini dimaknai mempersembahkan, mendedikasikan, mulai bekerja, disibukkan dengan (Kamus al-Ma’anny, 2021).  Ini pengertian secara bahasa, apabila polanya ‘akafa ya’kufu.  Ketika menjadi kata subjek al-‘akifin (jamak) maknanya menjadi beriktikaf.

Albaqarah [2]: 125 mengandung kata al-‘akifin.  Ayat ini berhubungan dengan Kakbah yang dijadikan tempat berkumpul dan aman. Ibrahim a.s dan Ismail a.s diwasiatkan untuk membersihkan Kakbah agar nyaman bagi orang yang tawaf, iktikaf, rukuk dan sujud. Dalam ayat ini, iktikaf dilakukan di sekitar Kakbah atau hari ini Masjidilharam. Iktikaf pada ayat ini menunjukkan berdiam diri di sekitar Kakbah untuk ibadah seperti halnya tawaf, rukuk, dan sujud. Kenyamanan untuk melakukannya disediakan oleh Ibrahim a.s dan Ismail a.s sesuai perintah Allah Swt.

Albaqarah [2]: 186 memuat kata ‘akifun dengan bentuk jamak. Kata ini berada pada frasa wa la tubasyiru hunna wa antum ‘akifun fi al-masajid. Frasa ini berarti, janganlah kalian mencampuri isteri-isteri kalian sedangkan kalian sedang beriktikaf di masjid. Ayat ini berada dalam ruang konteks Ramadan. Nabi Saw. sering melakukan iktikaf dan lebih meningkat ketika sepuluh hari menjelang akhir Ramadan. Kata iktikaf pada ayat ini nyata langsung dihubungkan dengan masjid. Maknanya adalah iktikaf dilakukan hanya di masjid.

Dari ayat Albaqarah [2]: 187 ini, banyak ulama yang menjelaskan iktikaf. Jumhur ulama berpendapat iktikaf dilakukan di masjid dengan syarat tertentu. Sesuai ayat ini, laki-laki tidak boleh menggauli isterinya selama ia sedang beriktikaf.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Itikaf Tidak di Masjid?

Alhajj [22]: 25, kata al-‘akif  bermakna bermukim, bukan iktikaf seperti dua ayat sebelumnya. Kata al-‘akif  disandingkan dengan kata al-bad, yaitu baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar. Ayat ini menjelaskan orang yang menghalangi kaum muslimin untuk beribadah di Masjidilharam, baik penduduk Mekah asli (al-‘akif) maupun pendapat dari negeri lain (al-bad). Masjidilharam pada ayat ini dipahami sebagai tempat untuk berhaji, salat, tawaf, iktikaf, zikir, dan sebagainya.

Pengertian iktikaf untuk berdiam diri di masjid diwakili oleh dua ayat, yaitu Albaqarah [2]: 125 dan 187. Pada ayat pertama dikaitkan dengan Masjidilharam. Ayat kedua dihubungkan dengan masjid-masjid secara umum, meskipun konteks ayat 187 ini turun di Madinah. Peristiwa ini terjadi ketika Ramadan. Penyebutan al-masajid (jamak) memberi peluang untuk iktikaf tidak hanya di Masjid Nabawi melainkan di masjid-masjid sekitar. Wallahu a’lam.