Beranda blog Halaman 74

Perbedaan Riwayat dalam Sabab Nuzul Ayat Sedekah (Bagian 2)

0
Perbedaan qiraat dalam sabab nuzul ayat sedekah
Perbedaan qiraat dalam sabab nuzul ayat sedekah

Manna‘ Khalil dalam Mabahits-nya menjelaskan bahwa pijakan utama para ulama dalam menentukan sabab al-nuzul adalah riwayat sahih yang disandarkan kepada Nabi saw. Di sini, riwayat yang dimaksud merupakan marfu‘ yang lantas mengecualikan mauquf (Sahabat) dan maqthu‘ (Tabi‘in). Itulah mengapa riwayat sahabat dalam konteks ini memiliki kekuatan marfu‘ (fi hukm al-marfu‘).

Penjelasan Khalil ini diperkuat dengan ulasan al-Suyuthiy dalam al-Itqan yang menukil dari al-Wahidiy, salah satu ulama pemerhati sabab al-nuzul, “Tidak diperkenankan melakukan klaim asbab al-nuzul kecuali berdasar pada riwayat dan sima‘ dari mereka yang menyaksikan langsung peristiwa tanzil atau turunnya ayat.”

Berdasar pada kaidah ini, riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam kitab al-‘Ushfuriyyah, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan yang lalu (baca: Perbedaan Riwayat dalam Sabab Nuzul Ayat Bersedekah (Bagian 1)) agaknya cukup problematik. Pasalnya jika dilihat dari aspek sanad, riwayat tersebut masuk dalam kategori mu‘allaq. Hal ini dikarenakan adanya keterputusan sanad yang langsung menyebut ruwiy ‘an ‘Abdillah bin ‘Umar.

Baca juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Selain itu, dalam pencarian sederhana melalui Jami‘ al-Kutub al-Tis‘ah dan al-Mausu‘ah al-Haditsiyyah, penulis belum mendapati riwayat tersebut disebutkan dalam beberapa kitab hadis induk seperti kutub al-tis‘ah. Namun demikian, penulis mendapati alternatif lain yang mungkin dapat dijadikan frame penjelasan atas riwayat yang diberikan Syekh Muhammad al-‘Ushfuriy dalam kitabnya tersebut.

Adalah Robert Redfield dalam bukunya Peasant Society dan Culture yang melakukan klasifikasi agama menjadi tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Sebagaimana dijelaskan Saifuddin Zuhri Qudsy, Tradisi besar merupakan bentuk ortodoksi dari ekspresi agama di pusat kebudayaan. Sedangkan tradisi kecil merupakan kebalikannya, heterodoksi dari agama periferal atau pinggiran.

Dalam kajian Alquran atau hadis di Indonesia, keberadaan dua tradisi ini sering kali digunakan peranti analisis kajian sosiologi dan antropologi agama atau biasa disebut living (Quran dan hadis). Namun aplikasinya dalam riwayat ‘Ushfuriyyah agaknya juga cukup relevan. Dalam arti bahwa penyebutan riwayat ‘Abdullah bin ‘Umar tersebut dalam ‘Ushfuriyaah boleh jadi merupakan bagian dari tradisi periferal sehingga berbeda dengan mainstream kajian Alquran ortodok.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Secara umum, perbedaan tersebut, meminjam istilah ilmu hadis, dapat dikelompokkan ke dalam dua aspek, riwayah dan dirayah. Aspek riwayah terletak pada isi riwayat yang berbeda dari mainstream baik dari urutan turunnya ayat maupun peristiwa yang menjadi sebab turunnya. Sedangkan aspek dirayah terletak pada ‘kekuatan’ (sahih) riwayatnya.

Perbedaan sudut pandang yang digunakan ini agaknya dipengaruhi dengan tradisi yang diikuti Syekh Muhammad dalam kitabnya. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa ‘Ushfuriyyah merupakan kitab yang berisi petuah-petuah (al-mawa‘idz). Kitab dengan teks semacam ini umumnya terafiliasi dengan tradisi tasawuf.

Ahmad Tajuddin, dalam tulisannya berjudul Interaksi Kaum Sufi dengan Ahli Hadis: Melacak Akar Persinggungan Tasawuf dan Hadis, menjelaskan bahwa kaum sufi, yang dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai tradisi tasawuf, memiliki setidaknya dua perbedaan dalam masalah periwayatan hadis. Perbedaan yang dikehendaki merupakan perbedaan yang ‘melawan’ kelompok mainstream ortodok yang dalam konteks periwayatan hadis adalah ahli hadis atau muhaddits itu sendiri.

Dua perbedaan yang dimaksud sebelumnya adalah, pertama, kaum sufi lebih memfokuskan diri pada aspek materi atau matan dari hadis, dan tidak terlalu memperhatikan jaringan sanad. Kedua, kaum sufi memiliki kriteria dan corak tersendiri dalam mengukur kualitas dan validitas sebuah riwayat hadis. Perbedaan ini lah yang kemudian berimplikasi pada pertentangan yang ‘sangat keras’ di antara keduanya.

Baca juga: Fenomena Zakat Profesi dan Nasihat Berinfak Q.S. Albaqarah: 43

Dalam frame tradisi besar dan tradisi kecil milik Redfield sebelumnya, kaum sufi merupakan representasi dari tradisi kecil-periferal atau heterodoksi agama. Sementara ahli hadis merupakan representasi tradisi besar-mainstream atau ortodoksi agama. Maka, berdasar pada ulasan teoritis yang telah diberikan sebelumnya, agaknya diketahui bahwa riwayat yang diberikan oleh Syekh Muhammad al-‘Ushfuriy dalam konteks pembicaraan sabab al-nuzul mengikuti tradisi periferal ala kaum sufi sehingga memiliki perbedaan fokus, corak dan kriteria tersendiri.

Namun yang menjadi masalah adalah bolehkah menggunakan tradisi tasawuf -dengan perbedaan manhaj yang dimiliki- sebagai dasar pijakan sabab al-nuzul? Pertanyaan ini yang belum penulis dapatkan jawabannya. Terlepas dari itu, melihat isi matan yang diberikan agaknya dapat memberikan perspektif lain berkaitan dengan urutan dan sabab al-nuzul ayat sedekah sebagaimana telah disebutkan lalu. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Terjemahan Tafsir Jalalain Berbahasa Madura

0
terjemahan tafsir jalalain bahasa madura
terjemahan tafsir jalalain bahasa madura. Sumber: jurnal Suhuf

Barangkali Tafsir Jalalain menjadi salah satu tafsir terhadap ayat-ayat Alquran yang memperoleh apresiasi positif dan besar di kalangan umat Islam nusantara. Dalam buku Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia (2003) yang ditulis Nashruddin Baidan, Tafsir Jalalain mulai dikenal oleh kalangan muslim nusantara sekira pada abad ke-16.

Di abad itu mungkin hanya segelintir muslim terpelajar yang mampu mengakses -membaca dan memahami- kitab tafsir tersebut, tetapi fakta yang ditemukan di lapangan, seperti riset yang ditunaikan Martin van Bruinessen menunjukkan antusiasme pada kitab ini sudah relatif marak di era dewasa ini.

Dalam bukunya yang populer, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (1999), Martin menemukan ada sekian pesantren yang masih gandrung mengkaji Tafsir Jalalain, bahkan beberapa pesantren tersebut menggunakan Tafsir Jalalain sebagai salah satu bahan ajar primer.

Fakta lain terhadap kepopuleran kitab Tafsir Jalalain ini, juga bisa ditemukan pada sejumlah karya ulama lokal yang berikhtiar mengalih-bahasakannya. Salah satunya seperti terjemahan Tafsir Jalalain berbahasa Madura, yang berjudul Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah oleh Abdul Majid Tamim. Kitab tersebut mengalih-bahasakan Tafsir Jalalain ke dalam bahasa Madura dengan huruf pegon.

Kendati penerjemahan ini tidak utuh, namun nama Abdul Majid Tamim dicatat Martin sebagai salah satu figur penting. Hal ini lantaran ia dinilai menjadi salah satu penghubung mata rantai intelektual dari kitab klasik karya ulama Timur Tengah dengan masyarakat lokal Madura.

Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura

Figur Abdul Majid Tamim

Ulama Madura kelahiran Pamekasan, 22 Juni 1919 ini memiliki nama lengkap Raden Abdul Majid Tamim bin Raden Haji Moh. Tamim. Ayahnya, Moh. Tamim merupakan ulama berpengaruh di Pamekasan pada masanya. Lebih lanjut, jika ditarik ke atas melalui jalur ayahnya, Abdul Majid Tamim masih keturunan Sunan Giri dari jalur Pangeran Kulon I.

Adapun sanad keilmuannya, Abdul Majid Tamim tercatat pernah menjadi santri di Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan langsung KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul ‘Ulama. Di pesantren tersebut, dia menekuni sekian keilmuan Islam sebelum akhirnya kembali ke Pamekasan.

Beberapa tahun kemudian, pernikahannya dengan Ny. Salman Nuraniyyah, Ketua Muslimat di Kecamatan Kaliwates, Jember membuatnya harus pindah domisili. Meski demikian, terkadang beberapa kali ia kembali mampir ke Pamekasan atau daerah sekitarnya sebagai pendakwah dalam acara keagamaan.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Firdaus An-Naim, Tafsir Nusantara Asal Madura

Seputar Kitab Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah

Terkait kitabnya, Tarjamah Tafsir al-Jalalain bi al-Lugah al-Maduriyyah, Abdul Majid Tamim hanya selesai sampai di Surah al-Baqarah ayat 1-252 dengan total 181 halaman; Jilid I memuat halaman 1-86 dan, Jilid II berisi halaman 87-181. Kitab ini tidak memuat angka ihwal waktu kitab ini pertama kali ditulis, hanya saja terdapat tahun 1410 H (1989-1990) sebagai angka kitab ini naik cetak.

Jika tahun cetak ini dijadikan patokan sebagai tahun tulis juga, maka akan ditemukan bahwa aktivitas literasi yang terbilang senja. Pasalnya di tahun tersebut, usia Abdul Majid Tamim sudah menyentuh angka sekira 70-an tahun. Usia yang kerap dinilai telah renta dan emoh berbelit-belit menakar-pikir konsepsi keilmuan.

Berdasarkan temuan dari Ahmad Zaidanil Kamil dalam artikelnya, Tafsīr al-Jalalayn and Madurese Language: Locality of the Book of the Translation of Tafsīr Jalalayn in Madurese Language by Abdul Majid Tamim (2020), detail kitab ini berupa; teks Tafsir Jalalain ditulis di bagian atas, terjemah harfiah ditulis model gandul tepat di bawah teks Tafsir Jalalain dengan posisi miring, dan keterangan lokalitas Madura berada di bawah dengan pembatas garis datar.

Di bagian paling bawah ini bisa ditemukan kreatifitas Abdul Majid Tamim sebagai ulama lokal asal Madura. Dia memberi keterangan dengan mempertimbangkan pembacanya dari kalangan masyarakat Masura.

Misalnya saja menggunakan diksi carok (budaya Madura untuk meneguhkan harga diri) sebagai ilustrasi pertumpahan darah di Surah al-Baqarah ayat 30. Diksi ini memang memudahkan pembacanya yang dari Madura untuk memahami muatan di ayat tersebut. Selain itu ada juga diksi lain yang dia gunakan. Semisal beras untuk membayar fidyah bagi orang yang tidak mampu berpuasa. Hal ini sebagai kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat Madura; dia juga menulis istilah ‘pondok pesantren’ dalam tafsirnya sebagai representasi lembaga Islam. Ini juga khas Madura.

Terjemahan Tafsir Jalalain berbahasa Madura oleh Abdul Majid Tamim ini bisa menjadi alternatif bukti penting tentang produk intelektual yang orisinil dari muslim nusantara pada masa lalu. Selain memang, seperti catatan Nashruddin Baidan dan Martin van Bruinessen di muka bahwa, Tafsir Jalalain memang sangat populer.

Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

0
Doa Nabi Muhammad dalam Alquran
Doa Nabi Muhammad dalam Alquran

Dalam Alquran, banyak ayat doa yang konteksnya masih dalam rangkaian dari kisah para Nabi, sehingga doa pada ayat tersebut dinisbatkan pada Nabi yang sedang dikisahkan. Sebut saja doa Nabi Ibrahim, doa Nabi Yusuf, doa Nabi Adam, doa nabi Nuh, doa Nabi Muhammad dan seterusnya. Di bagian doa Nabi Muhammad, M. Quraish Shihab dalam Doa dalam Al-Quran dan Sunnah menjelaskan lebih panjang daripada doa Nabi-Nabi yang lain.

Mufasir Indonesia ini memahami bahwa doa Nabi Muhammad yang didapati dalam Alquran setidaknya mempunyai tiga ciri khas. Pertama, ada kalanya didahului oleh kata قُلْ (qul/ucapkanlah), ada kalanya pula tidak menggunakan kata tersebut. Kedua, doa tersebut pada umumnya tidak panjang. Ketiga, sering kali ada penjelasan tentang situasi dan kondisi pengucapan doa tersebut.

Baca Juga: Makna Doa dalam Kajian Semantik Alquran

  1. Doa-doa yang didahului oleh kata قُلْ (qul/ucapkanlah)

Surah Al-Isra [18]: 80

وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(-ku).”

Menurut pemahaman M. Quraish Shihab, doa ini merupakan perintah lanjutan dari Allah kepada Nabi Muhammad saw. setelah sebelumnya, beliau diperintah untuk melakukan salat malam (tahajjud) dengan janji maqaman mahmuda (kedudukan yang terpuji).

Sementara itu, tim penerjemah Alquran Kemenag RI mengambil keumuman ibrah dari ayat doa ini, tidak hanya berlaku kepada Nabi Muhammad saw., sehingga tim tersebut melahirkan tiga poin maksud dari ayat ini. Pertama, doa ini untuk memohon kebersihan dan keikhlasan niat dalam beribadah. Poin pertama ini selaras dengan penjelasan Quraish Shihab yang menyinggung tentang kaitan doa ini dengan ibadah salat tahajjud. Kedua, ayat ini merupakan doa untuk memohon kebaikan sebelum masuk kubur dan ketika dibangkitkan dari kubur. Ketiga, Selain doa, ayat ini mengisyaratkan tentang perintah kepada Nabi Muhammad saw. untuk hijrah ke Madinah. (https://quran.kemenag.go.id/surah/17/80)

Surah Thaha [20]: 114

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَى إِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Janganlah engkau (Nabi Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai pewahyuannya kepadamu dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.

Doa Nabi Muhammad saw. dalam ayat ini sudah sangat jelas, yaitu memohon tambahan ilmu kepada Allah. Tambahan ilmu ini bisa didapat oleh Nabi Muhammad saw. melalui wahyu atau cara lain yang Allah kehendaki. Demikian pemahaman Quraish Shihab tentang doa ini.

Setingkat Nabi saja, manusia paling mulia yang mendapat otoritas sebagai wakil Allah dalam menyampaikan ajaran-ajaranNya, dengan rendah hati berdoa kepada Allah untuk tambahan ilmu. Dengan demikian, berdoa ini adalah etika setiap manusia sebagai hamba Allah, tidak peduli apapun level dan kedudukannya.

Baca Juga: Tata Krama Berdoa

Surah Al-Mukminun [23]: 93-94

قُلْ رَبِّ إِمَّا تُرِيَنِّي مَا يُوعَدُونَ (93) رَبِّ فَلَا تَجْعَلْنِي فِي الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (94)

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Ya Tuhanku, jika Engkau benar-benar hendak memperlihatkan kepadaku apa (azab) yang diancamkan kepada mereka, (93) Ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku termasuk kaum yang zalim.”

Mengutip penjelasan Quraish Shihab, terdapat dua hal bisa dipahami dari ayat doa ini. Pertama, kepribadian Nabi Muhammad saw. disinggung dalam ayat ini, yaitu pemimpin yang penuh kasih sayang kepada masyarakat yang dipimpinnya, baik yang seagama maupun yang tidak seagama, baik yang patuh maupun yang tidak. Kedua, betapa Allah menyayangi dan mengasihi Nabi Muhammad saw. sehingga seakan-akan Allah menunda siksaNya karena mempertimbangkan doa beliau. (M. Qurasih Shihab, Doa dalam Al-Quran dan Sunnah, 51).

Melihat konteksnya, ayat doa ini secara tidak langsung mungkin bisa dijadikan sebagai pedoman bagi setiap pemimpin yang ingin meneladani kepemimpinan Nabi Muhammad, yaitu selalu mendoakan kebaikan kepada masyarakat yang dipimpinnya, apa pun keadaan mereka.

Surah Al-Mukminun [23]: 97-98

وَقُلْ رَبِّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ هَمَزَاتِ الشَّيَاطِينِ (97) وَأَعُوذُ بِكَ رَبِّ أَنْ يَحْضُرُونِ (98)

Katakanlah, “Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan setan. (97) dan aku berlindung (pula) kepada-Mu, ya Tuhanku, dari kedatangan mereka kepadaku.”

Melalui ayat ini, Allah juga mengajari Nabi Muhammad saw. untuk senantiasa memohon kepada Allah agar terlindungi dari bisikan dan gangguan setan. Seperti yang disampaikan pada penjelasan ayat doa sebelumnya, ayat doa ini mengisyaratkan anjuran yang sangat kuat tentang berdoa, karena Nabi Muhammad saja diperintahkan untuk berdoa. Selain itu, ayat doa ini secara tidak langsung juga menunjukkan betapa bahaya dan hebatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh bisikan dan gangguan setan. Oleh karena itu, kita senantiasa diperintah untuk berlindung kepada Allah atas godaan setan.

Surah Al-Mukminun [23]: 118

وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Ya Tuhanku, berilah ampunan dan rahmat. Engkaulah sebaik-baik pemberi rahmat.”

Pada ayat sebelumnya, ayat 117, Alquran menyinggung tentang orang-orang yang menyembah Tuhan selain Allah. Lalu pada ayat berikutnya, ayat 118, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk memohon ampunan dan kasih sayang, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk umatnya, terutama untuk umat Nabi Muhammad yang disinggung di ayat 117 tersebut.

Surah Az-Zumar [39]: 46

قُلِ اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِي مَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Katakanlah, “Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui segala yang gaib dan nyata, Engkaulah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu apa yang selalu mereka perselisihkan.”

Menurut Quraish Shihab, kata Allahumma dalam doa terkesan lebih menunjukkan pada sifat kuasa dan perkasa Allah daripada sifat memelihara dan melindungiNya. Untuk dua sifat yang terakhir ini, biasanya lebih sering disimbolkan pada kata rabba dalam doa.

Surah Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)

Nabi Muhammad saw. memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan manusia dan jin. ketika surah ini turun, Nabi Muhammad saw. membaca keduanya.  Demikian salah satu riwayat hadis seputar kedua surah tersebut. (Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir)

Dalam keterangan yang lain, surah al-Falaq dan an-Nas memang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. agar beliau memohon perlindungan kepada Allah dari godaan dan kejahatan manusia (untuk surah al-Falaq) dan kejahatan jin (untuk surah an-Nas). (M. Quraish Shihab, Doa dalam Al-Quran dan Sunnah)

Baca Juga: Inilah 3 Keutamaan Surah Al-Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)

  1. Doa tanpa kata قُلْ

قُلْ dalam ayat doa menandakan bahwa doa tersebut diperintah dan diajarkan oleh Allah langsung kepada Nabi Muhammad saw. Namun demikian, ada beberapa doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran yang tidak menggunakan kata قُلْ. Ciri-cirinya sebegai berikut:

Pertama, tanpa قُلْ, tapi menggunakan kata perintah, seperti pada surah An-Nahl [16]: 98. Kedua, tidak mengandung قُلْ, juga tidak ada kata perintah, namun ada nuansa permohonan, bisa diketahui dengan kata  ربَّناatau semacamnya. Misal pada surah Al-Baqarah [2]: 201, dua ayat terakhir surah ini, ayat 285-286, dan seterusnya. Wallah a’lam

Empat Unsur Manajemen dalam Alquran

0

Manajemen adalah proses berkelanjutan anggota organisasi menggunakan sumber dayanya dan berusaha mengoordinasikan kegiatan untuk memenuhi berbagai tugas organisasi secara efisien (Zainal Arifin, Tafsir Ayat-ayat Manajemen: Hikmah Idariyah dalam Al-Qur’an, 102). Sedangkan menurut George R. Terry, manajemen terdiri dari beberapa unsur yang disingkat dengan POAC (Planning, Organizing, Actuanting, Controlling). Adapun dalam Alquran, manajemen memiliki unsur-unsur yang tidak jauh berbeda dengan unsur-unsur manajemen di atas. Berikut penjelasannya.

Pertama, Planning

Planning atau perencanaan merupakan kegiatan awal dalam sebuah pekerjaan agar mendapatkan hasil yang optimal. Alquran menjelaskan bahwa dalam melakukan perencanaan harus bercermin pada situasi dan kondisi masa lampau untuk mengatur langkah ke depan, sebagaimana dalam surah Alhasyr [59]: 18.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang yang beriman, bertawakalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 14, 129-130) menjelaskan bahwa ayat ini mengajak kaum muslimin berhati-hati untuk tidak mengalami nasib siksa duniawi dan ukhrawi seperti orang-orang Yahudi dan munafik. Untuk itu, setelah perintah bertakwa dalam rangka amalan positif, juga perintah untuk meninggalkan amalan negatif.

Perintah tersebut, menurut Shihab yang mengutip dari Thabathaba’i, adalah sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan. Seperti tukang kayu, supaya menyempurnakan pekerjaannya apabila telah baik atau memperbaikinya bila terdapat kekurangan. Sehingga ketika diperiksa, barang tersebut tampil sempurna atau tidak ada kekurangan lagi.

Arifin menjelaskan bahwa kegiatan perencanaan membutuhkan keseriusan dan pandangan jauh ke depan, karena menyangkut kegiatan yang dilakukan di masa akan datang. Sehingga, pepatah bilang jika anda gagal membuat rencana, maka anda sedang merencanakan kegagalan. (Tafsir Ayat-Ayat Manajemen: Hikmah Idariyah dalam Al-Qur’an, 116).

Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Manajemen Keuangan dalam Perspektif Al Quran

Kedua, Organizing

Organizing atau pengorganisasian merupakan proses pengaturan orang-orang dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Maka dari itu, manusia tidak dianjurkan untuk bercerai berai, akan tetapi dianjurkan untuk bersatu. Sebagaimana dalam Ali ‘Imran [3]: 103.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Menurut Shihab, ayat di atas menjelaskan suatu upaya tenaga terkait satu sama lain dengan tuntunan Allah. Andaikata ada yang lupa, bisa diingatkan, atau andaikata tergelincir, bisa dibantu bangkit (Tafsir Al-Misbah, Jilid 2, 169-170).

Ayat di atas juga menyuruh manusia untuk bersatu padu dalam memegang komitmen dan aturan organisasi yang sudah disepakati, dan melarang keras untuk berpecah belah. Perpecahan dalam agama dan organisasi apa pun adalah pantangan besar yang harus dihindari (Alan’am [6]: 159).

Ni Kadek Suryani dan John E.H.J menjelaskan bahwa keberhasilan suatu organisasi dapat diukur dari pencapain atas tujuan yang telah ditentukan. Sehingga, efektifitas organisasi dapat dilihat dari ketercapaian tujuan dibanding dengan target yang sudah ditetapkan sebelumnya, serta menunjukkan sejauh mana organisasi itu melaksanakan kegiatannnya. (Kinerja Organisasi, 27-28)

Baca Juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Ketiga, Actuating

Actuating adalah tahap pelaksanaan (execution) dari perencanaan dan pengorganisasian sesuai tujuan yang disepakati dalam musyawarah bersama. Seperti  dalam Albaqarah [2]: 208.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan karena setan itu musuhmu yang nyata.

Kata as-silm di ayat ini, diterjemahkan dengan kedamaian atau Islam. Makna dasarnya adalah damai atau tidak mengganggu. Kedamaian ini diibaratkan dengan keberadaan suatu wadah yang dipahami dari kata fi (di dalam). Artinya, orang beriman diminta memasukkan totalitas dirinya ke dalam wadah tersebut, sehingga kegiatannya berada dalam koridor kedamaian wadah tersebut.

Ayat ini menuntut kepada setiap orang beriman untuk mengikuti ajaran Islam secara menyeluruh. Jangan hanya percaya dan mengamalkan sebagian ajarannya dan menolak atau mengabaikan sebagian ajarannya. (Tafsir Al-Misbah, Jilid 1, 449)

Arifin juga menjelaskan bahwa penggerakan (actuating) disebut juga motivasi (motivating) dalam fungsi manajemen. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan memotivasi para anggota agar dapat menciptakan situasi organisasi yang setiap individunya dapat melaksanakan kegiatan secara bersamaan, baik untuk pribadi maupun organisasinya. (Tafsir Ayat-Ayat Manajemen: Hikmah Idariyah dalam Al-Qur’an, 150-152).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan dalam Al Quran

Keempat, Controlling

Controlling atau pengawasan adalah suatu kontrol terhadap jalannya planning hingga pelaksanaan di lapangan. Seperti dalam Almujadilah [58]: 7.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۖ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَىٰ ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَىٰ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ۖ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Hamka menafsirkan bahwa tidak ada larangan ketika bermusyawarah menyampaikan hal yang terbatas, karena barangkali ada yang perlu dirahasiakan sebelum perencanaannya sempurna. Tetapi juga harus berhati-hati dalam menyampaikan hal yang terbatas tersebut, sebab meskipun manusia tidak mendengar, namun Allah tetap mengetahuinya. Dengan demikian, ayat ini juga memberikan peringatan kepada orang beriman agar selalu berhati-hati dalam menjaga keikhlasannya, lahir dan batin (Tafsir Al-Azhar, Jilid 9, 7218-7219).

Mengutip penjelasan Bernadine R. Wirjana bahwa pengawasan atau pengendalian merupakan proses yang mengarahkan kegiatan ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Seperti halnya seorang manajer yang efektif akan menguatkan kinerja luar biasa karyawannya dan memberi respon positif agar tercapainya rencana organisasi. (Mencapai Manajemen Berkualitas: Organisasi, Kinerja, Program, 64-67)

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan cara bekerjasama dibutuhkan suatu manajemen. Adapun dalam Alquran telah dijelaskan empat unsur manajemen yang termaktub di dalamnya, antara lain pada Alhasyr [59]: 18 (planning), Ali ‘Imran [3]: 103 (organizing), Albaqarah [2]: 208 (actuating), Almujadilah [58]: 7 (controlling).

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Almaidah Ayat 35: Tips Menggapai Keberuntungan

0
Tafsir Q.S. Almaidah Ayat 35: Tips Menggapai Keberuntungan
Tips Menggapai Keberuntungan

Semua orang pasti menginginkan keberuntungan dan menampik kesialan. Namun, ada sebagian orang tidak mengetahui bagaimana cara menggapai keberuntungan tersebut. Mereka mengangap bahwa nasib baik hanyalah kebetulan belaka, tanpa ada sebab-akibat. Sehingga, cukup baginya berdiam diri menunggu keberuntungan datang dengan sendirinya.

Penulis ingat sewaktu di pesantren, Romo Kiai pernah mengeluarkan pernyataan, “Wong pinter iku kalah karo wong bejo”. Artinya orang pintar (memiliki kecerdasan intelektual) masih kalah dengan orang yang beruntung. Pernyataan tersebut hemat penulis ada benarnya, sebab dalam kehidupan ini, masyarakat masih memercayai keberuntungan. Maka tidak sedikit generasi terdahulu mengatakan, “Sebenarnya saya tidak pintar-pintar amat, tapi nasib baik ada di tangan saya sehingga saya bisa lolos CPNS,” misalnya.

Masih menjadi misteri, keberuntungan itu di tangan siapa, dan kapan keberuntungan tersebut datang? Selanjutnya bagaimana cara menggapai keberuntungan tersebut?

Baca juga: Tiga Kriteria Keberuntungan Seseorang dalam Surah Al-Ashr Ayat 1-3

Alquran sebagai pedoman hidup manusia memberi jawaban atas pertanyaan di atas. Di dalamnya banyak istilah yang digunakan untuk menyebut orang beruntung seperti: muflih, rabih, najin, said, dan faiz. Bisa panjang lebar jika satu persatu kosa kata beruntung ini diulas. Oleh karena itu, pembahasan di sini hanya akan memfokuskan pada satu ayat Alquran saja, yaitu Q.S. Almaidah ayat 35 untuk menjawab pertanyaan di atas. Berikut bunyi ayatnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepadanya, dan berjihadlah (berjuang) di jalannya, agar kamu beruntung (Q.S. Almaidah [5]: 35).

Tafsir Q.S. Almaidah Ayat 35

Ibnu Katsir dalam tafsirnya (juz 3 hal. 103) mengemukakan bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya yang beriman untuk bertakwa kepadanya. Takwa secara bahasa bisa diartikan “menjaga, memelihara, atau menghindari”. Sedangkan secara istilah para ulama mendefinisikan sebagai berikut.

اِمْتِثَالُ اَوَامِرِ اللهِ وَاجْتِنَابُ نَوَاهِيْهِ سِرًّا وَعَلَا نِيّةَ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا

Melaksanakan segala perintah Allah dan menjahui segala larangannya baik dalam keadaan sepi maupun ramai; lahir dan juga batin.

Kemudian perintah takwa diikuti dengan mencari wasilah (perantara). Artinya perantara di sini adalah suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Sebagaimana yang diinterpretasikan oleh Imam Qurthubi dalam tafsirnya bahwa perintah kedua setelah takwa ini mendorong manusia mencari perantara sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhanya (Tafsir Al-Qurtubi, juz 6 hal. 159).

Baca juga: Tafsir Surah Al-A’la Ayat 14-15: Idul Fitri sebagai Momentum Manusia yang Beruntung

Seorang muslim terkadang memiliki banyak aktivitas yang melalaikan status kehambaanya. Dengan mencari wasilah tersebut diharapkan mampu menopang perintah pertama untuk selalu bertakwa.

Sedangkan Imam Al-Baidhawi menggabungkan kedua perintah di atas (takwa dan mencari washilah) dengan mengatakan:

Yaitu perantara menggapai pahala dari Allah dan sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berbuat taat dan meninggalkan maksiat. Dari perantara itulah dia bisa mendekatkan diri kepada Allah (Anwaru at-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, juz 2 hal. 125).

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Beruntunglah bagi Mereka yang Menjadi Pakar di Bidangnya

Perintah ketiga merupakan perintah untuk jihad fisabilillah. Dalam Tafsir Jalalain (hal. 143) ditegaskan maksud dari jihad di sini adalah mengangkat dan meninggikan agama Allah.

Pungkasnya, ayat ini ditutup dengan la’allakum tuflihun (agar kamu beruntung). Laalla memiliki faedah tarajji, yaitu meminta atau mengharapkan sesuatu yang disenangi. Sedangkan tuflihun merupakan akar dari kata falah, Imam As-Sa’di menafsirkan kata falah sebagai suatu keberuntungan, kemenangan dari perkara yang seseorang cari dan harapkan, serta pertolongan dari perkara yang ia takuti. Hakikatnya falah adalah keberuntungan yang abadi dan kenikmatan yang menetap (Taisiru Al-Karim Al-Rahman, hal. 230).

Refleksi

Dalam dunia pesantren dikenal istilah riyadha atau tirakat yang merupakan suatu bentuk usaha spiritual yang dilakukan santri untuk mencapai keberhasilan dalam menuntut ilmu. Para kiai juga mendoktrin santrinya agar tidak cukup bersungguh-sungguh dalam belajar saja. Namun, juga harus dibarengi dengan usaha batin yang diyakini menentukan nasib keberhasilan seorang santri.

Riyadha merupakan implementasi dari kandungan Q.S. Almaidah ayat 35. Artinya suatu bentuk usaha untuk memperbaiki hubungan dengan Allah dengan cara melaksanakan tiga perintah.

Pertama, takwa, yaitu bentuk penghambaan kepada Tuhan dengan melaksanakan segala bentuk perintah dan meninggalkan larangan-Nya.

Kedua, mencari aktivitas yang mendorong untuk dekat dengan Allah. Imam Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim menjelaskan bahwa ilmu merupakan salah satu jalan untuk menuju ketakwaan kepada Allah.

Ketiga, merupakan bukti penghambaan kepada Allah, dengan cara menegakkan syariat Islam dan berjuang melestarikannya secara utuh. Jihad tidak diartikan perang saja, tetapi banyak kegiatan atau profesi yang merupakan bagian dari jihad, seperti menjadi guru, bekerja mencari nafkah untuk keluarga, mencari ilmu, bahkan berbakti kepada orang tua bagian dari jihad.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Perintah Tirakat dalam Menuntut Ilmu

Selain usaha lahiriyyah, untuk mencapi keberhasilan, usaha bathiniyyah merupakan bentuk “merayu” Tuhan agar apa yang dicita-citakan dimudahkan dan diberi keberkahan.

Praktiknya dengan berusaha menjadi hamba Allah yang baik, melakukan ibadah-ibadah sunah seperti puasa, salat tahajud, berzikir dengan ikhlas, dan istikamah. Juga memperbaiki hubungan dengan sesama makhluk Allah dengan suka berderma, suka menolong, dan selalu berprasangka baik kepada siapapun.

Dengan begitu salah satu mencari keberuntungan adalah dengan riyadha atau tirakat. Namun perlu dicatat, para ulama tafsir menafsirkan keberuntungan yang hakiki sebenarnya adalah kelak di akhirat, yaitu ketika Allah telah rida dengan hamba-Nya. Wallahuaalam.

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 68

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 68 mengisahkan tentang hari kiamat yang di awali dengan dua kali tiupan sangkakala. Pada tiupan pertama semua yang bernyawa akan mati dan pada tiupan kedua semua yang telah mati akan dihidupkan kembali.

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 68 ini menjelaskan tentang kekuasaan Allah di hari akhir kelak.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 67


Ayat 68

Pada Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 68 ayat ini, Allah menerangkan bahwa nanti pada hari Kiamat akan terjadi dua kali tiupan sangkakala. Pada tiupan pertama akan mati semua yang hidup baik yang di langit maupun yang di bumi. Karena kedahsyatan suara tiupan itu, semua yang bernyawa menjadi lumpuh tak berdaya dan akhirnya mati seperti orang terkena sambaran petir atau strum listrik bertegangan tinggi. Ada makhluk Allah yang tidak mati pada saat itu karena Allah tidak menghendaki kematiannya, tetapi siapakah mereka itu tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, begitu pula dalam hadis-hadis sahih.

Oleh karena itu, kita serahkan saja pengetahuan tentang ini kepada Allah. Mungkin Dia tidak menyebutkan makhluk-Nya yang tidak mati itu karena suatu sebab atau hikmah yang tidak kita ketahui hakikatnya. Akan tetapi, menurut sebuah riwayat dari Abu Ya’la al-Mushili, makhluk-makhluk yang tidak mati itu ialah Malaikat Jibril, Mikail, dan Izrail. Setelah itu, makhluk-makhluk itu pun meninggal satu per satu.

Sesudah tiupan pertama itu, di mana hampir semua makhluk yang hidup telah mati, maka menyusullah tiupan sangkakala yang kedua. Dengan tiupan yang kedua ini, semua makhluk yang telah mati baik yang mati sebelum terjadinya tiupan pertama maupun yang mati di waktu terjadinya tiupan itu, menjadi hidup kembali. Masing-masing berdiri menunggu apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Ada beberapa hadis mengenai tiupan sangkakala ini di antaranya:

  1. Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sa’id al-Khudri yaitu:

ذَكَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَاحِبَ الصُوْرِ وَقَالَ عَنْ يَمِيْنِهِ جِبْرِيْلُ وَعَنْ يَسَارِهِ مِيْكَائِيْلُ

Rasulullah pernah menyebut tentang yang meniup sangkakala dan berkata, “Di sebelah kanannya ada Jibril dan sebelah kirinya ada Mikail.”

  1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah al-Bazzar dan Ibnu Mardawaih dari Abu Sa’id al-Khudri yaitu:

إِنَّ صَاحِبَيِ الصُّوْرِ بِأَيْدِيْهِمَا قَرْنَانِ يُلاَحِظَانِ النَّظَرَ مَتٰى يُؤْمَرَانِ

Sesungguhnya di tangan kedua peniup sangkakala itu ada dua buah tanduk yang akan ditiupnya. Mereka berdua selalu mengawasi keadaan sekelilingnya, seraya  kapan keduanya akan  diperintah.

Di samping itu, dalam Al-Qur’an tiupan sangkakala itu disebut dengan az-Zajrah, seperti tersebut dalam ayat:

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌ فَاِذَا هُمْ يَنْظُرُوْنَ

Maka sesungguhnya kebangkitan itu hanya dengan satu teriakan saja; maka seketika itu mereka melihatnya. (ash-Shaffat/37: 19)

Dan dalam ayat:

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌۙ  ١٣  فَاِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِۗ  ١٤

Maka pengembalian itu hanyalah dengan sekali tiupan saja. Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru). (an-Nazi’at/79: 13-14)

Pada ayat-ayat yang lain disebutkan juga dengan “dakwah” (panggilan), seperti pada ayat:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ تَقُوْمَ السَّمَاۤءُ وَالْاَرْضُ بِاَمْرِهٖۗ  ثُمَّ اِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةًۖ مِّنَ الْاَرْضِ اِذَآ اَنْتُمْ تَخْرُجُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar (dari kubur). (ar-Rum/30: 25)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 69

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 59-61

0
Tafsir Surah Az- Zumar
Tafsir Surah Az- Zumar

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 59-61 menerangkan tentang keadaan pada hari kiamat, pada saat itu wajah orang-orang kafir menjadi hitam legam penuh ketakutan. Kemudian Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 59-61 juga menerangkan keadaan orang-orang beriman dan bertakwa.


Baca Juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa


Ayat 59

Pada ayat ini, Allah menyatakan kepada orang yang telah sesat dan tidak mau mempergunakan kesempatan untuk bertobat itu bahwa nasib yang menimpa mereka tak dapat dihindarkan lagi karena Allah telah cukup memberi pelajaran dan peringatan. Allah juga telah memberikan kesempatan untuk bertobat dan berbuat baik, tetapi semua itu tidak diindahkan dan tidak dipedulikan.

Mereka hanya mengikuti hawa nafsu dan keinginan belaka sehingga menjadi orang yang durhaka, sombong, dan takabur. Mereka juga termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir. Semua angan-angan dan permohonan mereka ditolak semuanya dan berlakulah terhadap dirinya keadilan Allah, yang berbuat baik dan bertakwa dimasukkan ke dalam surga dan yang berbuat jahat dan durhaka dimasukkan ke dalam neraka.

Ayat 60

Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 59-61 khususnya pada ayat ini, Allah menerangkan kepada Nabi Muhammad bahwa nanti pada hari Kiamat, dia akan melihat wajah orang-orang kafir menjadi hitam legam karena sangat ketakutan melihat dan merasakan bagaimana hebat dan dahsyatnya huru-hara waktu itu. Tidak ada sesuatu apa pun yang dapat menyelamatkan mereka, seakan-akan mereka sudah dikepung bahaya dan malapetaka dari segala penjuru. Ke manapun mereka lari selalu dihadang oleh hal-hal yang sangat menakutkan sehingga tak ada yang dipikirkan manusia pada waktu itu kecuali keselamatan dirinya dari mara bahaya maut itu. Hal ini diterangkan dalam firman Allah:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧ 

Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 34-37)

Dan firman-Nya:

اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا

Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan. (al-Insan/76: 10)

Selain tidak melihat apa pun yang dapat menolong atau menghindarkan mereka dari bahaya, mereka juga mengetahui bahwa mereka akan diseret ke dalam neraka karena kedurhakaan dan kesombongan mereka selama hidup di dunia. Mereka tidak mau beriman bahkan selalu menghina dan memperolok-olokkan orang-orang yang beriman, menganggap mereka kaum yang lemah sehingga mau saja mengikuti ajaran rasul yang diutus Allah. Kalau di dunia muka seseorang menjadi pucat-pasi ketika menghadapi bahaya dan mungkin menjadi biru karena ketakutan, maka pada hari Kiamat muka orang kafir itu menjadi hitam legam karena panik dan sangat takut. Begitulah nasib mereka yang pasti akan diseret dan dilemparkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala.

Hadis Nabi saw:

عَنْ عَبْدِ الله بْنِ عَمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَحْشُرُ الْمُتَكَبِّرُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَالزَّرِّ، يَلْحَقُهُمْ الصِّغَارَ حَتىَّ يُؤْتِى بِهِمْ إِلَى سِجْنِ جَهَنَّمَ. (رواه أحمد و الترمذي)

Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah saw bersabda (tentang nasib orang-orang kafir yang sombong), “Pada hari Kiamat dikumpulkan orang-orang yang sombong seakan-akan mereka biji yang tak berharga. Mereka tetap dalam keadaan hina sampai mereka diseret ke dalam neraka Jahanam.” (Riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi)

Ayat 61

Kemudian Allah menerangkan keadaan orang-orang yang beriman dan bertakwa. Pada hari Kiamat, mereka diselamatkan Allah dari huru-hara bahaya yang mengancam pada hari itu. Dengan pertolongan Allah dan amal saleh di dunia, mereka dapat mengatasi segala kesulitan dan menyelamatkan diri dari segala macam bahaya, sampai mereka masuk surga di mana segala macam kesulitan dan kesedihan berakhir. Muka mereka putih berseri-seri karena merasa gembira dan bahagia sebagai tersebut pada ayat:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ مُّسْفِرَةٌۙ  ٣٨  ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۚ  ٣٩;

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria. (‘Abasa/80: 38-39)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Az-Zumar Ayat 62


Tafsir Surah Al-Fath Ayat 26-29

0

Sebagai penutup Surah Al-Fath, Tafsir Surah Al-Fath Ayat 26-29 menceritakan tentang perjanjian damai antara umat Islam dengan kafir Makkah yang dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Selain itu, di penutup Tafsir Surah Al-Fath Ayat 26-29 menegaskan kembali bahwasanya Nabi Muhammad adalah utusan Allah, Rasulullah yang membawa kebenaran kepada seluruh umat.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 26-29


Ayat 26

Ayat ini mengingatkan kaum Muslimin akan timbulnya rasa angkuh dan sombong di hati orang-orang musyrik Mekah. Rasa itu timbul ketika mereka tidak setuju dituliskan “Bismillahir-Rahmanir-Rahimi” pada permulaan surat Perjanjian Hudaibiyyah.

Diriwayatkan, tatkala Rasulullah saw bermaksud memerangi orang-orang musyrik, mereka mengutus Suhail bin ‘Amr, Khuwaithib bin ‘Abd al-’Uzza, dan Mikras bin Hafash kepada beliau. Mereka menyampaikan permintaan kepada beliau agar mengurungkan maksudnya dan mereka menyetujui jika maksud itu dilakukan pada tahun yang akan datang. Dengan demikian, ada kesempatan bagi mereka untuk mengosongkan kota Mekah pada waktu kaum muslimin mengerjakan umrah dan tidak akan mendapat gangguan dari siapa pun. Maka dibuat suatu perjanjian. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib menulis “Bismillahir-Rahmanir-Rahimi”.

Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahuinya.” Rasulullah mengatakan bahwa perjanjian ini sebagai tanda perdamaian dari beliau kepada penduduk Mekah. Mereka berkata, “Kalau kami mengakui bahwa engkau rasul Allah, kami tidak menghalangi engkau dan tidak akan memerangi engkau, dan tuliskanlah perjanjian ini sebagai tanda perdamaian dari Muhammad bin Abdullah kepada penduduk Mekah.” Maka Rasulullah saw berkata kepada sahabat-sahabatnya, “Tulislah sesuai dengan keinginan mereka.”

Karena sikap mereka, maka sebagian kaum Muslimin enggan menerima perjanjian itu, dan ingin menyerbu kota Mekah. Maka Allah menanamkan ketenangan dan sikap taat dan patuh pada diri para sahabat kepada keputusan Rasulullah saw.

Semua yang terjadi itu, baik di kalangan orang yang beriman maupun di kalangan orang kafir, diketahui Allah, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuannya. Oleh karena itu, Dia akan membalas setiap amal dan perbuatan hamba-Nya dengan seadil-adilnya.

Ayat 27

Allah menerangkan bahwa mimpi Rasulullah yang melihat dirinya dan para sahabatnya memasuki kota Mekah dengan aman dan tenteram serta beliau melihat pula di antara para sahabat ada yang menggunting dan mencukur rambutnya adalah mimpi yang benar dan pasti akan terjadi dalam waktu dekat.


Baca Juga: Hukum Mendahulukan Orang Tua Berangkat Haji


Ayat 28

Dalam ayat ini ditegaskan kebenaran Muhammad saw sebagai rasul yang diutus Allah kepada manusia dengan menyatakan bahwa dia adalah rasul Allah yang diutus untuk membawa petunjuk dan agama Islam sebagai penyempurna terhadap agama-agama dan syariat yang telah dibawa oleh para rasul sebelumnya, menyatakan kesalahan dan kekeliruan akidah-akidah agama dan kepercayaan yang dianut manusia yang tidak berdasarkan agama, dan untuk menetapkan hukum-hukum yang berlaku bagi manusia sesuai dengan perkembangan zaman, perbedaan keadaan dan tempat. Hal ini juga berarti dengan datangnya agama Islam yang dibawa Muhammad saw, maka agama-agama yang lain tidak diakui lagi sebagai agama yang sah di sisi Allah.

Pada akhir ayat ini, dinyatakan bahwa semua yang dijanjikan Allah kepada Rasulullah saw dan kaum Muslimin itu pasti terjadi dan tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi terjadinya.

Ayat 29

Ayat ini menerangkan bahwa Muhammad saw adalah rasul Allah yang diutus kepada seluruh umat. Para sahabat dan pengikut Rasul bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi lemah lembut terhadap sesama mereka. Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓ  ۙاَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ  يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ

Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah. (al-Ma’idah/5: 54)

Rasulullah bersabda:

مَثَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ. (رواه مسلم وأحمد عن النعمان بن بشير)

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih-mengasihi dan sayang-menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu; bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula. (Riwayat Muslim dan Ahmad dari an-Nu’man bin Basyir)

Orang-orang yang beriman selalu mengerjakan salat dengan khusyuk, tunduk, dan ikhlas, mencari pahala, karunia, dan keridaan Allah. Tampak di wajah mereka bekas sujud. Maksudnya ialah air muka yang cemerlang, tidak ada gambaran kedengkian dan niat buruk kepada orang lain, penuh ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, bersikap dan berbudi pekerti yang halus sebagai gambaran keimanan mereka.

Mengenai cahaya muka orang yang beriman, ‘Utsman berkata, “Adapun rahasia yang terpendam dalam hati seseorang; niscaya Allah menyatakannya pada raut mukanya dan lidahnya.” Sifat-sifat yang demikian itu dilukiskan dalam Taurat dan Injil.

Para sahabat dan pengikut Nabi semula sedikit dan lemah, kemudian bertambah dan berkembang dalam waktu singkat seperti biji yang tumbuh, mengeluarkan batangnya, lalu batang bercabang dan beranting, kemudian menjadi besar dan berbuah sehingga menakjubkan orang yang menanamnya, karena kuat dan indahnya, sehingga menambah panas hati orang-orang kafir.

Kemudian kepada pengikut Rasulullah saw itu, baik yang dahulu maupun yang sekarang, Allah menjanjikan pengampunan dosa-dosa mereka, memberi mereka pahala yang banyak, dan menyediakan surga sebagai tempat yang abadi bagi mereka. Janji Allah yang demikian pasti ditepati.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Seni Rekonsiliasi Konflik Ala Nabi Muhammad


Tafsir Surah Al-Fath Ayat 24-25

0

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 24-25 menjelaskan lebih lanjut tentang janji Allah yang memberikan kemenangan dan keamanan atas perang Khaibar dan juga Hudaibiyah. Dalam Tafsir Surah Al-Fath Ayat 24-25 ini disebutkan bahwa Allah menahan dan menghambat serbuan orang-orang musyrik yang menyerbu perkemahan Rasulullah di Hudaibiyah.

Dikisahkan pula dalam Tafsir Surah Al-Fath Ayat 24-25 bahwa Allah melunakkah hati umat Muslim untuk tidak menyerbu orang-orang di Makkah sebab di sana tercampur dengan umat Islam lainnya.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 18-23


Ayat 24

Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, ‘Abd bin Humaid, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata, “Pada Perang Hudaibiyyah, 80 orang musyrik Mekah dengan bersenjata lengkap telah menyerbu perkemahan Rasulullah dan para sahabat dari bukit Tan’im. Berkat doa Rasulullah saw, serangan itu dapat dipatahkan dan semua penyerbu itu dapat ditawan. Kemudian Rasulullah saw membebaskan dan memaafkan mereka maka turunlah ayat ini.”

Allah yang menahan dan menghambat serbuan orang-orang musyrik yang menyerbu perkemahan Rasulullah di Hudaibiyyah dan Allah pula yang menjanjikan kemenangan bagi Rasulullah saw dan kaum Muslimin. Kemudian Dia pula yang menimbulkan dalam hati Rasulullah saw rasa iba dan kasih sayang sehingga beliau membebaskan orang-orang kafir yang ditawan. Tidak seorang pun di antara mereka yang dibunuh, sekalipun kaum Muslimin telah berhasil memperoleh kemenangan.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang dikerjakan oleh makhluk-Nya, tidak ada suatu apa pun yang tersembunyi bagi-Nya. Oleh karena itu, Dia akan memberi balasan segala amal perbuatan mereka dengan balasan yang setimpal dan adil.

Ayat 25

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir menghalang-halangi kaum Muslimin mengerjakan umrah di Masjidilharam. Mereka juga menghalangi kaum Muslimin membawa dan menyembelih binatang kurban ke daerah sekitar Masjidilharam seperti di Mina dan sebagainya.

Sebagaimana telah diterangkan bahwa Rasulullah saw pada tahun keenam Hijrah berangkat ke Mekah bersama rombongan sahabat untuk melakukan ibadah umrah dan menyembelih kurban di daerah haram. Karena terikat dengan Perjanjian Hudaibiyyah, maka Rasulullah saw beserta sahabat tidak dapat melakukan maksudnya pada tahun itu. Rasul berusaha menepati Perjanjian Hudaibiyyah, namun ada serombongan kaum musyrik yang menyerbu perkemahan Rasulullah saw di Hudaibiyyah, tetapi serbuan itu dapat digagalkan oleh Allah. Sekalipun demikian, banyak di antara kaum Muslimin yang ingin membalas serbuan itu walaupun telah terikat dengan Perjanjian Hudaibiyyah. Allah melunakkan hati kaum Muslimin sehingga mereka menerima keputusan Rasulullah. Allah menerangkan bahwa Dia melunakkan hati kaum Muslimin sehingga tidak menyerbu Mekah dengan tujuan:

Pertama, untuk menyelamatkan kaum Muslimin di Mekah yang menyembunyikan keimanannya kepada orang-orang kafir. Mereka takut dibunuh atau dianiaya oleh orang-orang kafir seandainya mereka menyatakan keimanannya. Kaum Muslimin sendiri tidak dapat membedakan mereka dengan orang-orang kafir. Seandainya terjadi penyerbuan kota Mekah, niscaya orang-orang mukmin yang berada di Mekah akan terbunuh seperti terbunuhnya orang-orang kafir. Kalau terjadi demikian, tentu kaum Muslimin akan ditimpa keaiban dan kesukaran karena harus membayar kifarat. Orang-orang musyrik juga akan mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang Muslim telah membunuh orang-orang yang seagama dengan mereka.”

Kedua, ada kesempatan bagi kaum Muslimin menyeru orang-orang musyrik untuk beriman. Dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, kaum Muslimin telah dapat berhubungan langsung dengan orang-orang kafir. Dengan demikian, dapat terjadi pertukaran pikiran yang wajar antara mereka, tanpa mendapat tekanan dari pihak mana pun sehingga dapat diharapkan akan masuk Islam orang-orang tertentu yang diharapkan keislamannya atau diharapkan agar sikap mereka tidak lagi sekeras sikap sebelumnya. Diharapkan hal-hal itu terjadi sebelum kaum Muslimin melakukan umrah pada tahun yang akan datang.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Allah selalu menjaga dan melindungi orang-orang yang benar-benar beriman kepada-Nya, di mana pun orang itu berada. Bahkan Dia tidak akan menimpakan suatu bencana kepada orang-orang kafir, sekiranya ada orang yang beriman yang akan terkena bencana itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Fath Ayat 26-29


Tafsir Surah Al-Fath Ayat 19-23  

0

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 19-23 menyebutkan akan janji Allah kepada kaum Muslimin yang mengikuti perang. Allah menjanjikan saat Perang Khaibar kaum Muslimin akan memperoleh kemenangan dan harta rampasan yang banyak, harta dini dikhususkan bagi kaum Muslimin yang ikut Bai’atur Ridwan.

Selain janji akan kemenangan Tafsir Surah Al-Fath Ayat 19-23 ini juga menyebutkan janji Allah yang akan memberikan keamanan bagi umat Islam. Kemudian saat Perang Hudaibiyah Allah juga akan menolong umat Islam.


Baca Juga: Tafsir Surah Ayat 16-18


Ayat 19

Ayat ini menerangkan bahwa pada Perang Khaibar yang akan terjadi, kaum Muslimin akan memperoleh kemenangan atas kaum kafir dan memperoleh harta rampasan yang banyak. Harta rampasan itu khusus diberikan kepada kaum Muslimin yang ikut Bai’atur-Ridwan.

Pada akhir ayat ini, Allah mengulang ancaman-Nya kepada orang-orang munafik Arab Badui yang tidak mau ikut bersama Rasulullah saw ke Mekah. Allah akan memberlakukan sesuatu atas makhluk-Nya sesuai dengan hikmah dan faedahnya.

Ayat 20

Allah menjanjikan kemenangan dan harta rampasan yang banyak bagi kaum Muslimin dari orang-orang kafir secara berangsur-angsur pada masa yang akan datang. Allah akan segera memberikan kemenangan dan harta rampasan pada Perang Khaibar. Allah juga menjamin dan menghentikan orang-orang Yahudi yang ada di Medinah untuk mengganggu dan merusak harta kaum Muslimin sewaktu mereka pergi ke Mekah dan ke Khaibar. Peristiwa-peristiwa tersebut hendaklah mereka syukuri dan dijadikan sebagai bukti atas kebenaran Nabi Muhammad sebagai rasul yang diutus Allah kepada manusia. Allah membantu dan menolong kaum Muslimin dari ancaman dan serangan musuh-musuh, baik diketahui kedatangannya maupun yang tidak, dalam jumlah besar ataupun kecil. Allah membimbing kaum Muslimin menempuh jalan yang lurus dan diridai-Nya.

Menurut Ibnu Jarir, yang dimaksud dengan perkataan, “Allah menahan tangan manusia yang akan membinasakan Rasulullah dan kaum Muslimin” ialah keinginan dan usaha penduduk Khaibar dan kabilah-kabilah lain yang bersekutu dengan mereka, karena dalam hati mereka masih terdapat rasa dengki dan sakit hati. Kabilah yang bersekutu dengan penduduk Khaibar itu ialah kabilah Asad dan Gathafan.

Ayat 21

Di samping kemenangan dan jaminan keamanan, Allah juga menjanjikan bahwa kaum Muslimin akan menaklukkan negeri-negeri lain yang belum dapat ditaklukkan. Negeri-negeri itu telah dipastikan Allah akan dapat dikuasai oleh kaum Muslimin dan dijaga dari kemungkinan untuk ditaklukkan oleh orang lain. Kebenaran janji Allah itu terbukti di kemudian hari, dengan ditaklukkannya negeri-negeri di sekitar Jazirah Arab seperti Persia, dan sebagian kerajaan Romawi.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia mempunyai kekuasaan yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun, dan tidak ada sesuatu yang sukar bagi-Nya. Seakan-akan dengan ayat ini, Allah menyatakan bahwa memenangkan kaum Muslimin atas kaum kafir itu bukanlah suatu hal yang sukar bagi-Nya. Jika Dia menghendaki yang demikian, pasti terjadi.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Ayat 22

 

Dalam ayat ini, Allah memberikan kabar gembira kepada kaum Muslimin bahwa sekiranya orang-orang Quraisy menyerang kaum Muslimin di Hudaibiyyah, pasti Ia akan menolong mereka, dan menghancurkan pasukan musyrikin. Allah juga menyatakan bahwa kaum Muslimin akan dapat menaklukkan Mekah dalam waktu yang dekat. Hal itu tergambar dalam firman-Nya, “Hai kaum Muslimin, sekiranya orang-orang Mekah memerangimu dan tidak mau menerima Perjanjian Hudaibiyyah, pastilah Kami dapat mengalahkan mereka dan mereka akan mundur dan lari tunggang-langgang, karena tidak mempunyai pembantu dan pelindung yang akan membela mereka mempertahankan diri. Tetapi kamu, hai kaum Muslimin, mempunyai pembantu dan pelindung untuk memperoleh kemenangan.”

Ayat 23

Tafsir Surah Al-Fath Ayat 19-23 khususnya ayat ini menegaskan bahwa memenangkan keimanan atas kekafiran dan menghapus yang batil dengan yang hak telah menjadi sunah (hukum) Allah yang berlaku bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya sejak dahulu sampai sekarang, dan untuk masa yang akan datang. Tidak ada satu pun dari makhluk yang ada di alam semesta ini yang dapat mengubah sunah-Nya itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Ayat 24-25