Beranda blog Halaman 73

Mengenal Mushaf Surah Yasin Kementerian Agama

0
Surah Yasin Terbitan Kementerian Agama
Surah Yasin Terbitan Kementerian Agama

Budaya pembacaan Surah Yasin [36] yang termotivasi dari fadhilah atau keutamaannya agaknya telah membawa perubahan dalam tren penerbitan mushaf Alquran. Mushaf berisi hanya Surah Yasin, atau kadang disertai surah dan bacaan lain yang terkait, lantas membanjiri pasar. Momen ini yang kiranya mengundang Kementerian Agama (selanjutnya disingkat Kemenag) untuk turut berpartisipasi dengan ‘misi khusus’ di dalamnya. Pada tahun 2019 silam, untuk pertama kalinya, Kemenag menerbitkan produk mushaf berjudul Surah Yasin: Beberapa Surah dan Tahlil.

Sebagaimana disampaikan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama pada waktu itu, penerbitan mushaf Surah Yasin perdana ini guna memenuhi kebutuhan umat Islam yang terus meningkat. Lebih lanjut, beliau menyebutkan bahwa penerbitan Surah Yasin ke dalam mushaf tersendiri secara khusus didasarkan pada intensitas praktik amaliahnya yang cukup tinggi, terutama dalam berbagai acara keagamaan.

Baca Juga: Tradisi Wirid Yasin di Gogodalem, Semarang

Deskripsi Surah Yasin

Mushaf Surah Yasin ini diterbitkan Kemenag melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan dicetak oleh Unit Percetakan Al-Qur’an (UPQ) pada tahun 2019. Bentuk yang diadopsi adalah bentuk ukuran saku, mengikuti bentuk mushaf yang sama yang telah lebih dahulu populer. Bentuk ini pula yang agaknya sesuai dengan peruntukannya.

Dari segi isi, mushaf ini memuat 11 judul bacaan. Kesebelas judul tersebut secara berurutan adalah: 1) Surah Yasin, disertai keutamaan dan doa setelah membacanya; 2) Surah Al-Kahfi; 3) Surah As-Sajdah; dan 4) Surah Al-Fath, yang ketiganya hanya disertai keutamaannya; 5) Surah Ar-Rahman; 6) Surah Al-Waqi‘ah; 7) Surah Al-Mulk; dan 8) Surah Nuh, yang kelima-limanya tanpa disertai keutamaannya; 9) bacaan tahlil dan doa setelahnya; 10) wirid pendek setelah salat fardu; serta 11) doa selamat.

Mushaf ini ditulis menggunakan font bergaya Isep Misbah sebagaimana mushaf Kemenag lain pasca tahun 2019. Yang membedakan hanya ukuran font dan tentunya pada bagian layout, menyesuaikan ukuran produk yang ada.

Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan aksara Arab atau Pegon, kecuali pada bagian sambutan Menteri Agama. Penggunaan bahasa pengantar semacam ini juga banyak dijumpai pada mushaf Surah Yasin lain. Meskipun bagi beberapa konsumen, hal ini akan menimbulkan sedikit kesulitan ketimbang jika menggunakan aksara Latin.

Sayangnya dalam pencarian singkat secara daring, penulis belum menjumpai versi online dari mushaf Surah Yasin ini. Mungkin dengan isi yang relatif sama, Kemenag menganggap cukup akses bacaan tersebut melalui aplikasi Qur’an Kemenag.

Baca Juga: Keutamaan Surat Yasin Dalam Tradisi Masyarakat Muslim Indonesia

Nomenklatur Majmu‘ Syarif

Yang cukup menarik dari mushaf Kemenag ini adalah kendati pada bagian sampul tertulis judul Surah Yasin, tetapi pada bagian dalam, pembaca akan menjumpai tulisan Majmu‘ Syarif: yahtawi ‘ala suwar qur’aniyyah wa ad‘iyyah wa (i)stighfarat wa tawajjuhat ila Allah ‘azz wa jall, yang kira-kira dimaksudkan bahwa mushaf ini berisi kompilasi surah, zikir , dan doa.

Menarik karena pembubuhan frasa majmu‘ syarif agaknya memiliki arti tersendiri. Seperti yang telah diketahui, produk kompilasi surah, zikir, dan doa yang lebih dahulu populer lazim disebut dengan majmu‘ syarif. Sehingga, pembubuhan frasa ini oleh Kemenag dapat berarti setidaknya dua hal.

Pertama, mushaf Surah Yasin Kemenag ini ‘murni’ mengadopsi produk majmu’ syarif yang telah lebih dahulu ramai di pasaran. Kedua, pembubuhan frasa ini di samping pemberian judul resmi di bagian sampul dapat berarti bahwa istilah majmu‘ syarif telah menjadi nomenklatur tersendiri dalam industri permushafan.

Jika mengikuti kemungkinan yang pertama, maka tidak ada salahnya jika mushaf Surah Yasin ini disebut sebagai majmu‘ syarif ‘mini’. Hal ini karena dari segi isi, mushaf Surah Yasin ini hanya menyebutkan sebagian dari isi majmu‘ syarif. Merujuk pada beberapa produk Majmu‘ Syarif, baik dengan pengantar aksara Latin maupun aksara Pegon, disebutkan juga Surah Al-Muzzammil, Surah An-Naba’, doa-doa tahunan, dan bahkan bacaan ratib.

Baca Juga: Mengenal Profil Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran Kementerian Agama

Akan tetapi jika mengikuti kemungkinan kedua, maka mushaf Surah Yasin ini masuk dalam kategori nomenklatur majmu‘ syarif. Kategori nomenklatur yang mungkin didefinisikan sebagai kumpulan surah Alquran, bacaan zikir, dan doa dengan ukuran, paten isi, dan fungsi utama yang ditonjolkan sebagaimana dapat dipahami dari produk majmu‘ syarif di pasaran.

Namun demikian, terlepas dari masalah frasa majmu‘ syarif, upaya Kemenag yang turut serta dalam kancah penerbitan Surah Yasin ini sangat patut diapresiasi. Sebagaimana juga penulis sebutkan pada ulasan tentang mushaf Juz ‘Amma (baca: Mengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama), Kemenag telah memberi perhatian secara khusus pada segmen mushaf Surah Yasin melalui penerbitan mushaf terstandarisasi Pemerintah.

Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Kerancuan Nama Khuzaimah al-Ansary dalam Sejarah Kodifikasi Alquran

0
Menelusuri Kerancuan Nama Khuzaimah al-Ansary dalam Sejarah Kodifikasi Alquran
Menelusuri Kerancuan Nama Khuzaimah al-Ansary dalam Sejarah Kodifikasi Alquran

Kisah Khuzaimah al-Ansary Dzu-syahadatain, atau Khuzaimah Sang Pemilik Dua Kesaksian lumayan terkenal ketika membicarakan sejarah kodifikasi Alquran. Ia adalah penemu ayat terakhir dalam pengumpulan Alquran di masa Utsman bin Affan r.a. Ketika itu, Zaid bin Tsabit yang sedang dalam proses review master mushaf lagi galau-galaunya. Zaid menyadari ada satu ayat yang ia hafal, tetapi ia tidak memiliki salinannya, yaitu Q.S. Al-Ahzab/33: 23. Kisah ini dikisahkan dalam hadis no. 4988 di Shahih Bukhari serta disebutkan dalam berbagai kitab tafsir.

Terkait dengan penemuan penggalan ayat tersebut, Khuzaimah Dzu-syahadatain juga menjadi bukti nyata mukjizat kebenaran Rasulullah saw. dalam “ramalan” beliau tentang masa depan. Detail peristiwa tersebut telah dikisahkan saudara Muhammad Hisyam Wahid di situs ini pula.

Menurut hemat penulis, kemasyhuran Khuzaimah Dzu-syahadatain disebabkan karena dalam pengalamannya tersebut terpercik i’jaz dari Baginda Nabi Muhammad saw., yang narasinya notabene mengandung unsur supranatural, ajaib, aneh bin nyata. Hal-hal yang spektakuler dalam pandangan masyarakat.

Baca juga: Kisah Khuzaimah bin Tsabit dalam Penulisan Surah Alahzab Ayat 23

Dalam kejadian lain, peristiwa pencarian dokumen mushaf seperti pada Q.S. Al-Ahzab/33: 23 ini juga terjadi pada dua ayat terakhir surah Bara’ah. Ayat laqad ja’akum dianggap tidak mutawatir dan banyak diserang oleh orientalis dalam rangka pelemahan Alquran. Bersama kalangan Syi’ah, mereka berusaha memunculkan keraguan terhadap kemutawatiran Q.S. At-Taubah/9: 128-129 berdalilkan ketidaksesuaian periwayatannya dengan “pakem mutawatir” yang harusnya diterapkan betul-betul sebagai metodologi dalam kodifikasi Alquran (Kemutawatiran Alquran: Metode Periwayatan dalam Sejarah Al-Qur’an, 227).

Untuk dinyatakan sebagai qath’iyyuts tsubut (pasti sebagai wahyu Tuhan), keseluruhan bagian dari ayat Alquran, baik dalam bentuk bacaan (qira’at) maupun tulisannya (rasm) mesti diriwayatkan oleh orang banyak yang secara akal dan kebiasaan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Mereka juga harus berasal dari jamaah yang sama, dalam hal ini kalangan sahabat Nabi saw. Ini berlaku untuk seluruh tingkatan periwayatannya, dari atas hingga bawah (Tarikh Tasyri’ al-Islami, 81).

Q.S. At-Taubah/9: 128-129 disinyalir tidak memenuhi kriteria mutawatir karena berdasarkan sejarah kodifikasinya ayat ini hanya ditemukan pada satu orang, yaitu (sesuai matan hadis Bukhari no. 4988) Abu Khuzaimah Al-Ansary. Zaid bin Tsabit selaku ketua tim kodifikasi tidak pernah menemukan dokumen tentang ayat ini di tangan orang lain.

Baca juga: Sejarah Kodifikasi Alquran dalam Al-Tibyan fi Ulum al-Quran

Faktanya, banyak anggapan dan justifikasi bahwa Q.S. At-Taubah/9: 128-129 juga ditemukan oleh Khuzaimah Al-Ansary Dzu-syahadatain yang sebenarnya bernama lengkap Khuzaimah bin Tsabit bin al-Fakih Al-Ansary (al-A’lam, juz 2, 305). Contohnya tulisan ini. Akibatnya, muncul asumsi cacat metodologis pada hasil kerja Zaid bin Tsabit. Ia dituduh inkonsisten dalam menerapkan “pakem mutawatir” ketika menemukan ayat ini. Langkah Zaid langsung menerima ayat ini dianggap tergesa-gesa, walau didapatkan dari Dzu-syahadatain.

Padahal para perawi hadis sendiri berpolemik mengenai nama Khuzaimah yang berperan pada pengumpulan Q.S. At-Taubah/9: 128-129. Ada yang menuliskan bahwa ayat tersebut ditemukan pada Khuzaimah, sebagian perawi lain menulis nama Abu Khuzaimah (Fathul Bari, juz 9, hal. 20).

Sehingga muncul pertanyaan: Siapa Khuzaimah al-Ansary yang dimaksud? Apakah hanya ada satu Khuzaimah ataukah mereka aslinya dua orang? Tulisan ini hadir untuk menguak Khuzaimah-Khuzaimah lain yang bersangkut paut dengan kodifikasi, sekaligus membantah pendapat yang mencoreng klaim kemutawatiran Alquran.

Khuzaimah Al-Ansary kedua

Khuzaimah kedua bernama lengkap Abu Khuzaimah bin Aus bin Zaid bin Ashram al-Ansary (Usudul Ghabah, 1311). Seperti halnya Khuzaimah Dzu-syahadatain, Abu Khuzaimah juga seorang Ansar, sehingga ber-laqab al-Ansary. Namun pembedanya, Abu Khuzaimah berdarah Khazraj. Sedangkan Dzu-syahadatain merupakan keturunan Aus.

Abu Khuzaimah adalah salah satu ahlul Badar atau sahabat yang sempat mengikuti perang Badar serta berpartisipasi dalam berbagai peperangan berikutnya. Ia wafat pada masa Utsman, setelah sebelumnya didahului oleh saudaranya bernama Mas’ud yang wafat di masa Umar (Thabaqat Kubra, juz 3, 373).

Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran

Kalau hadis tentang penemuan ayat Al-Ahzab yang disimpan Dzu-syahadatain berada pada no. 4988 dalam Shahih Bukhari, hadis mengenai bara’ah berada di nomor selanjutnya, yaitu pada no. 4989. Akan tetapi kronologi lengkapnya sudah diinput terdahulu, yakni pada no. 4986 (Shahih Bukhari, 1274-1276).

Memang dalam kedua riwayat Bukhari tersebut nama Abu Khuzaimah al-Ansary disebutkan secara gamblang, tetapi pemahaman kalangan ulama terhadap teks hadisnya berbeda-beda. Walaupun shohihul matn wal isnad (valid secara matan dan sanad), bisa saja pemahaman pembaca tidak shohihul ma’na (valid memahami maknanya) sebagaimana dalam perkara ini.

Khuzaimah Al-Ansary ketiga

Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar al-Asqalani menulis bahwa ada riwayat lain dari Abu Dawud yang menyebutkan bahwa manuskrip ayat laqad ja’akum disimpan oleh al-Harits bin Khuzaimah al-Ansary. Ada pula pandangan lain bahwa nama tersebut ialah nama asli Abu Khuzaimah al-Ansary yang dimaksud oleh hadis (Fathul Bari, juz 9, 20). Sehingga, al-Harits bin Khuzaimah menjadi Khuzaimah ketiga dalam tulisan ini.

Adapun Khuzaimah yang ini bernama asli al-Harits bin Khuzaimah bin ‘Ady al-Ansary. Ketika Rasulullah saw. mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berhijrah ke Madinah, beliau memasangkan Iyas bin Abi yang datang berhijrah dengan al-Harits sebagai saudara barunya. Al-Harits wafat dalam usia 67 tahun.

Baca juga: Pengumpulan Alquran dan Kisah Diskusi Alot Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit

Anggapan bahwa dialah yang dimaksud sebagai Abu Khuzaimah al-Ansary disebabkan karena kedua nama ini sama-sama terlibat beberapa peperangan bersama Rasulullah saw. Selain itu, keduanya juga berasal dari kabilah Khazraj. Namun, sebenarnya garis keturunan mereka berbeda; al-Harits dari Bani Abdil Asyhal sedangkan Abu Khuzaimah berdarah Bani Najjar (al-Isti’ab, 288).

Asusmi kesamaan ini langsung ditarjih oleh al-Asqalani, ia menetapkan bahwa penyimpan manuskrip yang dimaksud ialah Abu Khuzaimah bin Aus (Fathul Bari, juz 9, hal. 20). Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ayat laqad ja’akum tidaklah divalidkan oleh Zaid berdasarkan kekuatan persaksian Khuzaimah Dzu-syahadatain, sebagaimana anggapan sebagian kalangan. Bukan pula didapatkan dari al-Harits bin Khuzaimah yang memiliki kemiripan identitas dengan sang penyimpan ayat, Abu Khuzaimah bin Aus.

Kemutawatiran ayat terakhir

Lalu berlanjutlah pertanyaan, bagaimana kriteria mutawatir terpenuhi sedangkan Zaid bin Tsabit hanya menemukannya pada Abu Khuzaimah? Jawabannya sangat sederhana jika meninjau sisi ontologis sejarah kodifikasi!

Pembantah kemutawatiran Alquran menyangka bahwa megaproyek Zaid bin Tsabit ketika itu bertujuan untuk mengumpulkan ayat-ayat Alquran secara utuh dari para sahabat. Padahal Zaid bin Tsabit beserta seluruh anggota timnya hanya mengumpulkan catatan, dokumen maupun manuskrip Alquran yang dikoleksi para sahabat. Adapun untuk hafalan, mereka sudah tentu menguasainya (The History of The Quranic Text, 84; Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, 122).

Setelah ditemukan, dokumen-dokumen tersebut juga ditinjau kembali para sahabat. Masih ada para ahli seperti Utsman, Umar, Abu Bakar, dan Ali yang terlibat dalam verifikasi dokumen tersebut. Dengan adanya dokumen-dokumen tersebut, validitas Alquran semakin kuat untuk mencapai mutawatir, bukan malah sebaliknya.

Dengan demikian, teks Alquran yang diterima sekarang dapat dipastikan sama persis dengan teks yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya.

Kisah Rasulullah Saw. Bermuka Masam dalam Surah ‘Abasa

0
Quran in the mosque

Kisah Rasulullah bermuka masam, sepatutnya harus dipahami secara menyeluruh. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dibalik sikap Rasulullah Saw.yang mendapat teguran dari Allah Swt. Sebab, jika dikaji lebih lanjut, kisah ini justru semakin memunculkan kemuliaan akhlak yang terpatri dalam kepribadian Rasulullah Saw. Beliau tak segan menyampaikan kisah ini kepada umatnya meski dalam keadaan beliau ditegur oleh Allah Swt.

Di sisi lain, hikmah surah ‘Abasa menunjukan sisi manusia biasa yang ada pada diri Rasulullah Saw. yang bisa keliru, namun kekeliruannya tentu tidak akan dibiarkan dan senantiasa ditegur oleh Allah Swt. Meski pada hakikatnya, Rasululllah adalah seorang yang maksum. Namun, adakalanya ijtihad beliau bisa keliru, sehingga turunlah wahyu yang meluruskan ijtihad beliau tersebut.

Baca Juga: Tafsir Surah Abasa Ayat 1-10: Kesamaan dalam Islam Menurut Wahbah Al-Zuhaili

Kronologi Rasulullah Saw. Bermuka Masam

Kisah ini tidak sepatutnya didengar secara sepintas, bahwa Rasulullah pernah bermuka masam, sama seperti manusia pada umumnya, yang menunjukan bahwa beliau adalah manusia biasa, dan setelah itu selesai. Pemahaman semacam ini perlu diberi tambahan pengetahuan, sebab baru melihat kisah dari luar dan cangkangnya, belum sampai menelusuri aspek historisnya dengan baik.

Yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. bermuka masam adalah sebagaimana dikatakan dalam surah ‘Abasa [80]: 2;

أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى

Karena seorang buta telah datang (kepadanya)

Para mufasir sepakat bahwa kisah ini berkenaan dengan seorang yang buta bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Di dalam Tafsir ath-Thabari diceritakan bahwa ketika itu Rasulullah Saw. sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Mengambil langkah dengan cari mendakwahi para pemuka kaum adalah sebagai bagian dari strategi dakwah, karena mereka adalah kuncinya. Bila mereka sampai masuk Islam, maka para pengikutnya pun akan melakukan hal yang sama.

Saat Rasulullah Saw. sedang fokus berdakwah itulah, Abdullah bin Ummi Maktum memotong pembicaraan seraya berkata “arsyidni”. Ia meminta agar Rasulullah Saw. memberinya petunjuk. Konsentrasi Rasulullah Saw. yang dipotong itulah yang membuat beliau bermuka masam dan berpaling. (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, 24/102).

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Jika harus digambarkan, Rasulullah Saw. sedang berada di situasi momentum emas untuk mendakwahi pembesar Quraisy. Jika Langkah tersebut berhasil, maka akan berdampak pada banyaknya yang akan masuk Islam. Namun, momentum itu harus terganggu dengan kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum, sehingga Rasulullah Saw. pun merasa kesal.

Mengajari Abdullah bin Ummi Maktum dapat dilakukan di lain waktu, sebab yang menjadi prioritas Rasulullah Saw. saat itu adalah para pembesar Quraisy. Rupanya, ijtihad beliau keliru. Kemudian, turunlah surah ‘Abasa yang menyampaikan teguran sekaligus pencerahan, bahwasanya seorang buta itulah yang justru lebih berhak mendapatkan ilmu dari pada para pembesar Quraisy yang sombong. Ekspektasi Rasul terhadap pembesar Quraisy pada akhirnya mendapat teguran dari Allah, bahwa tidaklah berdosa jika mendakwahi mereka, namun mereka tetap kafir, karena hidayah adalah urusan Allah Swt. Allah pun memberi tahu Rasulullah Saw. bahwa tidak perlu melakukan pendekatan pada kaum kafir yang sombong dan angkuh.

Justru Abdullah bin Ummi Maktum perlu dijadikan perhatian Rasul, dengan sebab wa amma man jaaka yas’a, yakni kedatangannya dengan usaha dan semangat menuntut ilmu serta wa huwa yakhsa, yakni penuh rasa takut kepada Allah. Sifat-sifat mulia ini dimiliki Abdullah bin Ummi Maktum, hingga Rasul pun diberi teguran oleh Allah karena tidak memperhatikannya.

Di sisi lain, Abdullah bin Ummi Maktum dalam keadaan buta, sehingga menjadi sebuah permakluman ketika ia tidak mengetahui bahwa Rasulullah sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Ia bahkan tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah memotong pembicaraan.

Baca Juga: Prinsip Humanisme dan Wacana Disabilitas dalam al-Quran

Rasulullah Saw. Memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum

Semenjak kejadian itu, di dalam Tafsir al-Baghawi diceritakan bahwa setiap kali Rasul berjumpa dengan Abdullah bin Ummi Maktum, maka Rasul senantiasa memyambutnya seraya mengatakan:

مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي

Selamat datang wahai orang yang Rabbku menegurku karenanya

Tak lupa Rasul pun senantiasa menanyakan keperluannya. (Tafsir al-Baghawi, 8/332).

Dalam konteks ketika ditegur, itu artinya memang Rasulullah keliru, sehingga Allah meluruskannya. Allah berfirman:

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ

Sekali-kali jangan (begitu)! Sungguh, (ajaran-ajaran Allah) itu suatu peringatan”

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini untuk menyamakan antara pembesar maupun yang miskin dalam hal penyampaian ilmu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/322). Dengan kata lain, hikmah dari kisah ini adalah agar tidak pandang bulu dalam hal objek dakwah.

Tersampaikannya ayat ini menunjukan betapa Rasulullah Saw. adalah seorang yang amanah. Surah ‘Abasa yang hanya turun di hadapan Rasul seorang, dan seseorang membuatnya ditegur adalah seorang yang buta sehingga tidak mengetahui jika Rasul bermuka masam, sangat mungkin bagi Rasulullah untuk menyembunyikan ini. Namun, yang dilakukan Rasul adalah tetap amanah menyampaikan wahyu, meski berisi teguran untuknya.

Sejarah mencatat betapa Rasulullah amat sangat memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Di antaranya sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Abdullah bin Ummi Maktum dipercaya Rasul menjadi kepala Madinah selama Rasulullah Saw. meninggalkan kota tersebut karena ada dua kali peperangan, padahal ia dalam keadaan buta. Sebab inilah yang menjadi salah satu bentuk penghargaan dan pemuliaan Rasul Saw. kepadanya. (Tafsir al-Baghawi, 8/332)

Itulah yang menyebabkan pentingnya memahami kisah ini secara utuh, agar tidak hanya fokus pada diksi manusia biasa yang disematkan kepada Rasul, serta memahami motif bermuka masam yang bukan karena keburukan akhlak beliau, melainkan karena ijtihadnya yang keliru. Tidak cukup sampai di situ, Rasul pun tetap amanah menyampaikan wahyu meski menyangkut teguran untuk dirinya, bahkan Rasulullah justru senantiasa memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum dan senantiasa memperhatikannya, meski seorang buta tersebut pernah menjadi alasan Allah menegurnya.

Hal yang juga perlu dicatat adalah agar tidak pandang bulu dalam berdakwah. Sebab kisah ini bisa memberikan pelajaran, bahwa yang kaya terkadang tidak menerima dakwah karena kesombongannya, dan yang miskin justru yang semangat menerima dakwah. Sehingga, dapat menjadi perantara pahala yang mengalir karena ilmu disampaikan bermanfaat dan diamalkan.

Wallahu a’lam.

Mengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama

0
Mengenal Mushaf Juz 'Amma Kemenag
Mengenal Mushaf Juz 'Amma Kemenag

Belakangan ini, laman instagram Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Kementerian Agama ramai dengan post Mushaf Alquran Isyarat. Mushaf ini, sebagaimana dijelaskan pada laman resmi Kementerian Agama, merupakan salah satu produk mushaf Alquran ‘baru’ yang dihadirkan bagi mereka kalangan berkebutuhan khusus. Akses lengkap mushaf tersebut kini bahkan telah tersedia di Qur’an Kemenag, versi aplikasi maupun online.

Nah, sebelum kehadiran Mushaf Alquran Isyarat tersebut, tahukah para pembaca sekalian jika Kementerian Agama juga sebenarnya punya produk ‘mushaf lain’ selain mushaf-mushaf mainstream -Mushaf Alquran Standar Rasm Usmani, Bahriyah, dan Braille-?

Baca juga: Peran Penulis dan Penyurat Terengganu di Mushaf Nusantara

Di dalam sambutannya, Menteri Agama yang kala itu dijabat oleh Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan bahwa selain Mushaf Alquran Standar Indonesia (MSI), tahun 2019 Kementerian Agama juga menerbitkan Juz ‘Amma Terjemah dan Transliterasi Latin dan Surah Yasin. Dua mushaf inilah yang hendak penulis bicarakan.

Namun sebelumnya, sebagai disclaimer, penyebutan dua produk ini sebagai ‘mushaf’ merujuk pada Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Agama Nomor 54 Tahun 2017. Menurut keputusan tersebut, mushaf Alquran diartikan sebagai lembaran atau media yang berisikan ayat-ayat Alquran lengkap 30 juz dan/atau bagian dari surah atau ayat-ayatnya.

Mushaf Juz ‘Amma

Mushaf ini bernama lengkap Juz ‘Amma Terjemah dan Transliterasi Latin. Mushaf ini diadakan Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan dicetak oleh Unit Percetakan Al-Qur’an (UPQ).

Sebagaimana namanya, mushaf ini berisi surah-surah pada juz 30 yang lazim disebut sebagai Juz‘ ‘Amma. Dalam 69 halaman, mushaf ini juga dilengkapi dengan terjemahan dan transliterasi Arab-Latin. Selain itu, pada bagian yang dianggap penting juga dibubuhkan catatan pendek semacam tafsir menggunakan pola catatan kaki (footnote).

Mushaf ini disusun mengikuti pola tartib mushafiy (urutan surah dalam Alquran) yang terbalik. Artinya surah yang disebutkan pertama adalah surah An-Nas [114] dan diakhiri dengan surah An-Naba’ [78]. Pola semacam ini mengingatkan pada pola yang biasa digunakan dalam mushaf yang digunakan anak-anak pada tahap awal pembelajaran.

Baca juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan Ihsan

Sementara metode sajiannya mengikuti sajian ayat per ayat, jika mengacu metode yang digunakan oleh aplikasi Qur’an Kemenag. Yakni metode sajian yang menempatkan ayat Alquran pada bagian kanan, terjemah pada bagian kiri, serta transliterasi Latin pada bagian bawah ayat. Metode sajian ini berbeda dengan metode halaman, sebagaimana digunakan Al-Qur’an dan Terjemahannya, yang menempatkan ayat secara utuh pada bagian tengah dan terjemahannya mengelilingi bagian tepi.

Selain isi pokok yang telah disebutkan, ditambahkan juga di dalam mushaf ini pedoman transliterasi, tanda tashih dari LPMQ, surah Al-Fatihah [1] yang ditempatkan sebelum surah An-Nas, dan asma’ al-husna pada bagian akhir mushaf.

Secara umum, gaya huruf (font style) dan model penulisan yang digunakan dalam penulisan ayat adalah sama dengan mushaf-mushaf Kementerian Agama saat ini, yakni Isep Misbah. Yang belum penulis dapatkan adalah terjemah dan catatan kaki yang diberikan, apakah sama dengan terjemah terakhir yang disusun Kementerian Agama pada waktu itu-tahun 2019-atau tidak.

Namun demikian, yang menjadi pertanyaan bagi penulis adalah pemberian transliterasi Latin pada mushaf tersebut. Sesuai dengan tujuan disusunnya mushaf tersebut, “sarana edukasi bagi anak-anak muslim untuk belajar mengaji dan menghafal surah-surah pendek,” dan asas transliterasi aksara yang merujuk pada bahasa asal, maka bukankah hal tersebut cukup menjadi problem?

Baca juga: Popularitas Mushaf Alquran Produksi Bombay di Indonesia

Diksi ‘anak-anak’ pada klausul tujuan sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam sambutan Menteri Agama, pada tataran praktiknya dapat saja digunakan oleh mereka yang bukan ‘anak-anak’ tapi memiliki latar belakang pendidikan Alquran seperti halnya ‘anak-anak’. Sehingga, diksi tersebut dalam masalah ini lebih tepat diartikan sebagai peserta didik dasar.

Kecakapan membaca transliterasi, dalam pandangan penulis, sangat dipengaruhi oleh kecakapan seseorang yang penguasaaan bahasa asalnya, yang dalam konteks ini adalah bahasa Arab. Jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka terjadinya kesalahan pembacaan sangat mungkin terjadi. Dan dengan mengaitkan keragaman latar belakang pembaca mushaf Juz ‘Amma ini dalam tataran praktis, sangat mungkin kesalahan tersebut terjadi.

Namun terlepas dari kemungkinan problem yang timbul dari penyusunan mushaf Juz ‘Amma ini, apa yang dilakukan oleh Kementerian Agama sangat patut diapresiasi, terutama dalam penerbitan mushaf jenis Juz ‘Amma  yang terstandarisasi oleh Pemerintah. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Beberapa Amalan Sunah di bulan Syakban

0
Amalan Sunah bulan Sya'ban

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya, Ma Dza fi Sya’ban menerangkan bahwa bulan Syakban merupakan bulan yang penuh kebaikan dan keberkahan. Pada bulan ini juga Allah membuka pintu rahmat seluas-luasnya dan ampunan selebar-lebarnya. Namun demikian, ternyata berbagai keutamaan yang terkandung dalam bulan ini tidak banyak dari umat Islam yang menyadarinya, bahkan cenderung lalai sebagaimana pernah disampaikan Nabi saw, “Bulan Sya’ban merupakan bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan”. (H.R. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Berdasar hal tersebut, artikel ini mengulas beberapa amalan sunah pada menjelang akhir bulan Syakban dengan mengutip karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Ma Dza fi Sya’ban yang juga banyak mengambil dalil dari Alquran dan hadis.

Baca Juga: Memasuki Bulan Rajab, Ini 5 Amalan yang Dianjurkan

Memperbanyak Salawat

Amalan pertama adalah memperbanyak bersalawat kepada kanjeng Nabi Muhammad saw. Kesunahan ini sebagaimana dijelaskan Sayyid Muhammad dalam Kitabnya, Ma Dza fi Sya’ban bahwa di bulan Sya’ban Allah menurunkan sebuah ayat yang menjadi dasar bahwa Allah beserta malaikatNya bersalawat kepada Rasulullah saw. Ayat itu berbunyi,

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi.620) Wahai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 56)

Salawat dari Allah Swt. berarti memberi rahmat, dari malaikat berarti memohonkan ampunan, dan dari orang-orang mukmin berarti berdoa agar diberi rahmat, seperti dengan perkataan Allāhumma ṣalli ‘alā Muhammad. Dengan mengucapkan perkataan seperti Assalāmu ‘alaika ayyuhan-nabi yang artinya ‘semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi’.

Di samping itu, Ibn Abi Shaif Al-Yamani, sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad, pernah berkata, “Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulannya kanjeng Nabi Muhammad saw sebagaimana ayat di atas tadi.

Tidak berhenti di situ, Sayyid Muhammad kembali mengutip keterangan lain dari Sulthanul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdissalam yang mengatakan bahwa bersalawat kepada Nabi Muhammad saw. sebagai bentuk cinta kepadanya dan juga sebagai balasan atas kebaikan Nabi kepada kita. (Sayyid Muhammad Alawi Al-Hasani, Madza fi Sya’ban, halaman 26-27)

Baca Juga: Tafsir Surah Attaubah Ayat 36: Kesunahan Puasa Rajab

Puasa Sunah

Amalan kedua yaitu memperbanyak puasa sunah. Anjuran ini bersumber dari sabda Nabi saw. yang dinukil oleh Sayyid Muhammad.

   ذاكَ شهر تغفل الناس فِيه عنه ، بين رجب ورمضان ، وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، وأحب أن يرفع عملي وأنا صائم — حديث صحيح رواه أبو داود النسائي

Artinya: Bulan Sya’ban merupakan bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Bulan Sya’ban adalah bulan diangkatnya amal-amal. Karenanya, aku menginginkan pada saat diangkatnya amalku, aku dalam keadaan sedang berpuasa. (HR Abu Dawud dan Nasa’i)

Senada dengan Sayyid Muhammad, Gus Baha (ulama Kenamaan Indonesia) memaparkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah sesering berpuasa sunnah kecuali di bulan ini (Sya’ban). Dalam riwayat yang lain disebutkan, hadits riwayat Abu Bakar, misalnya, Nabi Muhammad SAW bersabda,

ينزل الله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء، إلا لرجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء

Artinya, “(Rahmat) Allah SWT turun ke bumi pada malam nisfu Sya’ban. Dia akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian (kemunafikan),” (HR Al-Baihaqi).

Membaca Dua Kalimat Syahadat

Amalan sunah yang ketiga adalah memperbanyak membaca dua kalimat syahadat. “Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah dan keutamaan dengan memperbanyak membaca dua kalimat syahadat, La Ilaha Illallah Muhammad Rasululullah, khususnya bulan Sya’ban dan malam pertengahannya.” Demikian penjelasan Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.

Membaca Alquran

Amalan sunah keempat adalah memperbanyak membaca Alquran. Sya’ban merupakan bulan Alquran, sebagaimana hadis yang dinukil oleh Sayyid Muhammad .

اقْرَؤُوا القُرْآنَ فإنَّه يَأْتي يَومَ القِيامَةِ شَفِيعًا لأَصْحابِهِ

“Bacalah Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat memberi syafaat kepada para sahabatnya (pembacanya, pengamalnya dan pengkaji ayat-ayatNya)” (H.R. Imam Muslim dalam Shahih Muslim).

Hadis ini diperkuat oleh hadis Nabi yang menyatakan bahwa kelak (di hari kiamat) Al-Qur’an akan datang memohon secara langsung kepada Tuhannya agar menganugerahkan kepada pembacanya sebuah mahkota kemuliaan. Kemuliaan ini tidak dapatkan oleh seseorang kecuali bagi yang gemar dan memperbanyak membaca Al-Qur’an. (H.R. Imam Turmudzi dalam Sunan Turmudzi).

Baca Juga: Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

Memperbanyak Istighfar

Kesediaan umat Islam mendawamkan istighfar menandakan bahwa dirinya bukanlah manusia yang suci yang bersih tanpa dosa dan khilaf. Akan tetapi, manusia yang baik adalah mereka yang segera memperbaiki kesalahannya (taubatan nasuha) dan tidak berlarut-larut dalam kemaksiatan. Karena itu, di bulan Sya’ban ini, para ulama menganjurkan umat Islam untuk memperbanyak istighfar terlebih di malam nisfu sya’ban (malam ke-15 di bulan sya’ban).

Sayyid Muhammad bin Alawi menuliskan,

الاستغفار من أعظم وأولى ما ينبغي على المسلم الحريص أن يشتغل به في الأزمنة الفاضلة التي منها: شعبان وليلة النصف، وهو من أسباب تيسير الرزق، ودلت على فضله نصوص الكتاب، وأحاديث سيد الأحباب صلى الله عليه وسلم، وفيه تكفير للذنوب وتفريج للكروب، وإذهاب للهموم ودفع للغموم

Artinya, “Istighfar merupakan amalan utama yang harus dibiasakan orang Islam, terutama pada waktu yang memiliki keutamaan, seperti Sya’ban dan malam pertengahannya. Istighfar dapat memudahkan rezeki, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Pada bulan Sya’ban pula dosa diampuni, kesulitan dimudahkan, dan kesedihan dihilangkan”. (Sayyid Muhammad bin Alawi dalam Madza fi Sya’ban, hal. 57).

Demikianlah kelima amalan sunah pada bulan Sya’ban. Semoga kita mampu meraih keutamaan bulan Sya’ban dan mendapat syaafat baginda Nabi saw serta ridha Allah swt. Aamiin. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 135; Prinsip Keadilan dalam Akuntansi

0
Prinsip Keadilan dalam Akuntansi
Man judge is currently advising clients on their requests for legal proceedings and legal advice.

Akuntansi adalah sistem informasi yang memberikan laporan kepada pengguna informasi akuntansi atau yang memiliki kepentingan terhadap hasil kinerja dan kondisi keuangan perusahaan. Dalam bahasa bisnis, akuntansi juga disebut sebagai informasi bisnis yang dikomunikasikan kepada stakeholders melalui laporan akuntansi. Alurnya berawal dari transaksi bisnis yang akan dianalisis, dicatat dan akhirnya dilaporkan lewat laporan akuntansi yang merupakan media komunikasi akuntansi. (Hery, Cara Mudah Memahami Akuntansi: Inti Sari Konsep Dasar Akuntansi, 7)

Syakir Jamaluddin dan Mukhlis Rahmanto menyebutkan bahwa akuntansi memiliki 3 prinsip di dalam Alquran, yaitu pertama, prinsip pertanggungjawaban, kedua, prinsip keadilan, dan ketiga, prinsip kebenaran (Tafsir Hadis Ahkam: Ekonomi dan Bisnis, 156). Dalam tulisan ini pembahasannya difokuskan pada prinsip keadilan. Salah satu ayat yang membahas mengenai prinsip tersebut adalah  surah Alnisa’ [4]: 135.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ ۚ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَىٰ أَنْ تَعْدِلُوا ۚ وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan“.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Nisa’ Ayat 133-135

Sabab Nuzul Ayat

Asbath meriwayatkan dari as-Suddiy bahwa ayat ini turun pada Nabi Saw. berkenaan dengan adanya orang kaya dan orang miskin yang adu mulut, lalu mengadukan kepada Nabi Saw. Sementara, kecenderungan Nabi Saw. pada si fakir, karena dalam pandangan Nabi Saw. tidak mungkin orang fakir menganiaya orang kaya. Namun, Allah enggan dengan sikap semacam ini, melainkan Nabi Saw. harus memberikan keputusan berdasarkan pada keadilan mengenai urusan si kaya dan si miskin. (Al-Wahidi An-Nisaburi, Asbabun Nuzul: Sebab-Sebab Turunnya Ayat-Ayat Alquran, Terj. Moh. Syamsi, 286)

Sebab Kekacauan Karena Tidak Ada Lagi Keadilan

Hamka menafsirkan kata qawwamina dalam ayat ini dengan makna berdiri tegak, sadar dan membela. Artinya, tidak mau tunduk kepada siapapun yang hendak meruntuhkan keadilan yang ditegakkan. Keadilan ini dipakai juga pada kata al-qisti yang berarti jalan tengah dan tidak berat sebelah. Dalam menjadi saksi karena Allah, artinya berani mengatakan kebenaran. Sebab, keadilan dan kebenaran adalah dua arti dari maksud yang satu. Sesuatu itu adil, sebab ia benar dan sebaliknya. Oleh karena itu, hendaklah berani menyatakan kesaksian atas keadilan itu karena Allah. Dengan pertanggungjawaban kepada Allah, sehingga tidak lagi takut ancaman sesama manusia yang berusaha memungkiri keadilan itu.

Lebih lanjut, beliau menafsirkan ketika seseorang berani menegakkan keadilan meskipun mengenai diri sendiri adalah segala puncak dari segala keberanian. Selain itu juga, diminta menegakkan keadilan mengenai ibu-bapak dan keluarga. Memang berat jika menegakkan keadilan itu akan merugikan mereka, tetapi perlu diingat bahwa yang ditegakkan adalah keridaan Allah. Sehingga, yang berat akan jadi ringan.

Menghormati dan membela mereka dalam kebenaran dan keadilan tidak lain bertujuan agar masyarakat tidak kacau balau. Dengan demikian, janganlah membantu dalam kezaliman serta merampas hak orang lain. Sebab adanya kekacauan karena tidak ada lagi keadilan, dan dampak dari bahayanya akan menimpa semua orang, tanpa terkecuali yang berbuat zalim itu sendiri. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1466-1467)

M. Quraish Shihab mengutip Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa penegakan keadilan serta kesaksian dapat menjadi dasar menampik mudarat yang dijatuhkan. Maka, wajar jika keadilan lebih diutamakan daripada menolak mudarat atas orang lain. Atau, karena penegakan keadilan membutuhkan kegiatan berbentuk fisik, sedangkan kesaksian hanya berupa ucapan yang disampaikan. Sehingga, tentu saja kegiatan fisik lebih berarti daripada sekadar ucapan. (Tafsir Al-Misbah, Jilid 2, 617)

Baca Juga: Islam Menyerukan Keadilan Sosial, Begini Penjelasan Para Mufassir

Keadilan Tetap Sama Dihadapan Si Kaya dan Si Miskin

Adapun keadilan dihadapan orang kaya maupun miskin adalah sama. Jadi, jangan sampai menegakkan keadilan karena terpengaruh kekayaanya ataupun kemiskinannya. Sebab, kesaksian adalah untuk Allah, bukan manusia. Keadilan adalah mizan illahi di muka bumi. Untuk membela yang lemah, jangan ada kesewenangan oleh yang kuat dan untuk mempertahankan yang jujur, jangan dicurangi oleh si pendusta. Dengan keadilanlah masyarakat diatur jadi baik. Jangan sampai hawa nafsu memalingkanmu dari kebenaran, sehingga keadilan tidak jadi ditegakkan.

Andaikata dalam pencarian kebenaran dan penegakan keadilan melibatkan hawa nafsu, dipastikan akan menambah kacau keadaan, sehingga pemeriksaan dan penyelidikan menjadi lama dan susah. Kebenaran akan tetap ada meskipun kecurangan menutupinya. Karena hakikat kecurangan itu tidak ada. Sehingga, berpaling dari keadilan karena dorongan hawa nafsu justru hanya mempersulit diri sendiri. (Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2, 1467-1468)

Menyebarkan Rahmat Butuh Keadilan

Dalam perkembangannya, akuntansi dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah bentuk organisasi. Iwan menjelaskan bahwa organisasi tidak lain adalah amanah. Amanah menyebarkan rahmat (kebaikan, kesejahteraan, kemudahan) bagi seluruh alam (manusia dan makhluk lainnya). Tidak saja memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia (stakeholders), tetapi juga terhadap kesejahteraan (kelestarian) alam. Meskipun begitu, manusia dalam merefleksikan misinya bukan tanpa aturan, karena penerima amanah terikat pada aturan yang dikehendaki pemberi amanah (Surah Shad [38]: 26).

Allah menghendaki organisasi yang dikelola manusia harus dilakukan dengan cara-cara yang adil. Dalam hal ini, adil sebagai penerima amanat (manusia) dapat menggunakan potensi internal yang dimilikinya secara baik dan seimbang. Potensi itu adalah akal dan hati nurani. Dengan kedua potensi ini, diharapkan manusia mampu membaca kehendak Allah, baik yang dinyatakan secara verbal maupun non-verbal. (Iwan Triyowono, Akuntansi Syari’ah: Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora Amanah,12)

Lantip Susilowati menjelaskan dalam konteks akuntansi, keadilan itu bersifat fundamental dan berpijak pada nilai-nilai etika atau syariah dan moral. Sederhananya, adil dalam akuntansi adalah pencatatan dengan benar setiap transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Seperti yang dijelaskan dalam Alquran surah Alsyu’ara [26]: 181-184. “Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan, (181) dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. (182) Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; (183) dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu. (184)“. (Lantip Susilowati, Tanggungjawab, Keadilan dan Kebenaran Akuntansi Syariah, 304-305).

Baca Juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas, dapat dipahami bahwa prinsip keadilan dalam akuntansi adalah penting. Prinsip-prinsip tersebut tidak lain adalah bahwa kekacauan akan datang manakala tidak ada lagi keadilan, karena sesuatu itu dikatakan adil apabila benar atau sebaliknya. Prinsip lainnya adalah antara si kaya dan si miskin itu sama dihadapan keadilan. Dengan begitu, kebenaran akan tetap ada meskipun kecurangan menutupinya. Prinsip terakhir yaitu, butuh keadilan dalam menyebarkan rahmat, karena tidak hanya kesejahteraan manusia (stakeholders), tetapi juga kesejahteraan (kelestarian) alam.

Wallahu a’lam bishshawab.

Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2): Metode Penyampaian

0
Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2): Metode Penyampaian
Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2)

Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai apa saja yang seharusnya menjadi isi pembicaraan dalam setiap komunikasi yang dilakukan dengan orang lain. Pada intinya, Alquran mengajarkan agar perkataan dan ucapan harus sesuai kenyataan; dan yang terpenting dari kegiatan komunikasi adalah memberikan kemanfaatan, atau minimal tidak merugikan pihak lain.

Selain konten pembicaraan harus baik, Alquran juga mengajarkan agar metode penyampaian informasi juga harus tepat. Berikut penjelasannya.

Metode Penyampaian

Selain konten yang disampaiakan mengandung kebenaran, hal yang menunjang keberhasilan dalam komunikasi adalah metode penyampaian yang tepat. Hal ini penting mengingat lawan bicara akan acuh terhadap apa yang ingin disampaikan-bagaimanapun pentingnya-manakala disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Oleh karenanya, dalam berkomunikasi dengan orang lain, perlu dipahami situasi dan kondisi lawan bicara. Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:

أمرت أن أخاطب الناس على قدرعقولهم

Aku diperintah untuk berbicara dengan manusia sesua kadar pengetahuan mereka (H.R. Al-Dailamiy).

Baca juga: Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

Salah satu tujuan komunikasi adalah untuk mengubah sikap, pendapat, dan tindakan orang lain. Dalam hal ini, Alquran mengajarkan bagaimana seharusnya menyampaikan gagasan dan pandangan agar orang lain bisa menerima apa yang disampaikan untuk selanjutnya dapat mengubah sikap dan pola pikir audiens. Salah satu ayat Alquran yang memberikan petunjuk tentang hal tersebut dalah Q.S. An-Nisa [4]: 63:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.S. An-Nisa [4]: 63.

Ayat di atas menjelaskan bagaimana seharusnya sikap dan metode yang harus dilakukan Nabi dalam mendakwahkan ajaran Islam kepada orang-orang munafik. Setidaknya ada tiga cara yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu berpaling dari mereka, memberi nasihat, dan menyampaikan hal-hal yang dapat menghujam hati mereka supaya mereka dapat kembali ke dalam ketaatan [Tafsir al-Wasith, juz 3, hlm. 199].

Penyampaian gagasan dalam berkomunikasi harus dilakukan dengan bahasa yang baik dan benar. Tujuannya agar apa yang ingin disampaikan dapat ditangkap secara sempurna oleh si pendengar tanpa ada distorsi makna. Selain itu, diperlukan keahlian untuk menyusun diksi kata sedemikian rupa disertai dengan mimik dan ekspresi pendukung agar apa yang disampaikan “ngena” ke hati pendengar. Inilah yang disebut dengan qawlan baligha.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, ilmu balaghah dikenal sebagai alat yang serumpun dengan nahu, saraf, manthiq (logika), dan lain-lain. Ilmu balaghah diartikan sebagai suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai tata cara menyampaikan gagaan dengan bahasan yang jelas nan indah sehingga punya pengaruh kuat dalam lubuk hati pendengar [Jawahir al-Balaghah, hlm. 40].

Istilah qawlan baligha dalam Q.S. Al-Nisa’ di atas mengisyaratkan pentingnya memilih dan mengolah diksi kata ketika berkomunikasi dengan orang lain. Lebih-lebih bagi seorang pendakwah, orator, atau pembicara di atas podium lainnya, keterampilan seperti ini harus dimiliki agar gagasan yang ingin disampaikan tersalurkan sepenuhnya kepada pendengar. Sehingga pada akhirnya, lawan bicara akan terpengaruh dan pada tahap selanjutnya mampu mengubah sikap tindakan dan pola pikir mereka sesuai dengan yang diharapkan [Tafsir al-Washit, juz 3, hlm. 199].

Terkait hal ini, dalam ayat lain dianjurkan agar bagaimana seharusnya sebuah gagasan tersebut disampaikan, terutama kepada lawan bicara yang kurang menerima ide atau gagasan pembicara. dalam Q.S. Taha ayat 44, Allah Swt. berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan dia sadar atau takut (Q.S. Taha [20]: 44).

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Dengan ayat di atas Allah swt mengajarkan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. (secara umum mencakup juga kepada seluruh umat muslim) agar menggunakan bahasa dan tata cara yang santun dalam menyampaikan gagasan.

Metode seperti ini penting diterapkan terutama ketika lawan bicara adalah orang-orang “keras kepala”. Sebab, jika berkomunikasi dengan mereka dengan cara kasar, memaksa, dan otoriter, maka mereka tentu akan menolak apa yang disampaikan. Dengan metode penyampaian yang lemah lembut, komunikatif, tetapi tegas, diharapkan mereka akan luluh dan menerima gagasan yang disampaikan [Tafsir al-Munir, juz 16, hlm. 215].

Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran mengandung banyak pelajaran terkait prinsip dan metode komunikasi yang baik dan benar. Sebenarnya, ada banyak ayat-ayat Alquran-baik secara implisit maupun eksplisit-yang mengajarkan tentang metode komunikasi yang baik dan benar. Namun, yang dapat penulis elaborasi hanya sebagian kecil saja.

Secara umum, prinsip yang dapat penulis rumuskan adalah terkait konten yang disampaikan baik dan sesuai dengan kebenaran. Kemudian metode penyampaian juga harus benar, tepat sasaran, dan diusahakan agar mempunyai pengaruh signifikan dalam diri lawan bicara.

Popularitas Mushaf Alquran Produksi Bombay di Indonesia

0
Popularitas mushaf Bombay di Indonesia
Popularitas mushaf Bombay di Indonesia

Sekira tahun 1974 hingga 1983, ulama yang tergabung dalam Lajnah Pentashih Alquran disibukkan dengan pembakuan jenis kitab suci Alquran mana yang akan dijadikan sebagai acuan resmi. Dalam rentang tahun tersebut, mereka berembug sebanyak sembilan kali. Rembug berat, melelahkan, sekaligus terbilang penting.

Hal ini mengingat Islam di negeri ini pada masa silam, kerap ditemukan bertaut sanad dan kerabat dengan muslim dari belahan dunia lain. Maka secara tidak langsung, tukar pengetahuan khususnya kitab suci Alquran baik secara fisik, cara bacanya, sampai pada tafsirnya saling mempengaruhi.

Rembug itu menghasilkan produk ketetapan yang dilegalkan oleh Keputusan Menteri Agama nomor 25 Tahun 1984. Adapun isinya: “Alquran standar Usmani, Bahriah, dan Braille hasil penelitian dan pembahasan Musyawarah Ulama Alquran I s.d. IX dijadikan Mushaf Standar Indonesia.” Definisi ‘standar’ sendiri digunakan berdasarkan indikasi pada cara penulisan, tanda baca, harakat, dan tanda waqafnya.

Baca juga: Upaya Penyusunan Kembali Mushaf Kuno Madinah

Ketetapan tersebut jika dilacak dalam kerangka historis, sebenarnya hanya mengakomodasi penggunaan mushaf yang digunakan oleh umat Islam di negeri ini selama berabad-abad silam. Misalnya saja, mushaf Usmani yang sudah digunakan sekira sebelum abad-19 atau jauh sebelum itu. Kemudian mushaf Bahriah yang dipakai untuk mereka para penghafal Alquran. Terakhir, mushaf Braille menjadi mushaf yang kerap dibaca oleh masyarakat muslim dengan berkebutuhan khusus atau difabel.

Dari ketiga standar mushaf Alquran ini, mushaf Usmani produksi cetak Bombay, India merupakan mushaf yang paling kerap digunakan oleh umat Islam di Indonesia. Kenapa demikian? Padahal dalam lacakan sejarah, ada mushaf produksi cetak Turki dan Mesir dengan dugaan tahun kemunculan serupa yang sama-sama digunakan, dibaca, dan ditelaah.

Mustopa, dkk., dalam artikelnya Jejak Mushaf Alquran Bombay di Indonesia (2019) menemukan sejumlah alasan ihwal dominasi penggunaan mushaf Alquran produksi cetak Bombay, India.

Pertama, mushaf Alquran produksi cetak Bombay, India memiliki ciri huruf yang tebal disertai tanda waqaf yang banyak. Hal ini memudahkan umat Islam di Indonesia pada masa lalu untuk membacanya, sekalipun awam yang belum paham pada arti harafiah, makna kedalaman, serta maksud dari ayat-ayat di kitab suci. Dibandingkan dengan misalnya, mushaf Mesir dan Turki yang ditulis dengan indah, tipis, tanda waqaf lebih sedikit, dan setiap halaman di akhiri dengan penghabisan ayat (dikenal dengan ‘ayat pojok’).

Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran

Alasan selanjutnya, pada paruh kedua abad ke-19, wilayah Bombay menjadi pusat industri percetakan yang terbilang telah maju. Bahkan Sahib al-‘Alam Qamar az-Zaman dalam kitabnya Tarikh Taba’ah al-Mushaf asy-Syarif fil-Hindi berpendapat bahwa, industri cetak dalam dunia muslim pertama kali muncul di India. Maka tidak mengherankan bila di masa-masa tersebut, ada banyak umat Islam negeri ini yang bekerja dan atau belajar produksi cetak di India, salah satunya Muhammad Azhari dari Palembang.

Terakhir, popularitas mushaf Alquran cetakan Bombay, India ini juga tidak terlepas dari peran pedagang India. Bagi pedagang, mushaf tersebut adalah barang komoditas yang bisa meraup banyak keuntungan. Sedangkan bagi muslim di negeri ini pada masa silam, mushaf itu menjadi kebutuhan mendasar dalam beragama yang mesti ada dan dimiliki. Akhirnya, terjadi transaksi yang memungkinkan antara pedagang mushaf dengan umat Islam sebagai pembeli.

Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis

Ketiga alasan ini semakin menguatkan bahwa ajaran Islam di negeri ini datang dan atau dipengarui dari tanah India. Kendati demikian, sanad keilmuan termasuk Alquran maupun yang lainnya tetap bertumpu pada kota Mekah dan Madinah. Kota yang menjadi embrio kemunculannya sekaligus masih populer sebagai tempat ziarah pengetahuan-keilmuan serta peribadatan.

Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

0
Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)
Prinsip Komunikasi dalam Islam.

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan sesama. Dikutip oleh Jalaludin Rahmat, Watzlawcik, Beavin, dan Jackson mengatakan, “We cannot not communicate”; kita tidak dapat menghindari komunikasi [Islam Alternatif, hlm. 76].

Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, mengungkapkan isi hatinya, dan membentuk jaringan sosial. Banyak ahli yang menyatakan bahwa kegagalan komunikasi akan berdampak buruk, baik secara individu maupun sosial. Secara individu, kegagalan komunikasi akan menimbulkan frustasi, demoralisasi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Sedangkan secara sosial, dampak yang ditimbulkkan akibat kegagalan komunikasi adalah intoleransi, menghambat kerja sama dan pengertian antarsesama, serta akan terisolasi dari pergaulan sosial.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Komunikasi dianggap baik dan sukses tentunya jika tujuan dari komunikasi berupa menyampaikan isi hati dan sarana mengekspresikan diri telah terwujud. Dalam Islam, Nabi saw. mendorong umat Islam untuk hemat bicara atau bicara seperlunya. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. [H.R. Bukhari].

Alquran sebagai kitab pedoman umat manusia sebenarnya telah memberikan beberapa aturan dan prinsip komunikasi yang baik dan benar. Di antaranya penulis dapat merumuskanya menjadi dua bagian, yaitu konten pembicaraan dan cara penyampaian.

Konten Pembicaraan

Ketika berkomunikasi dengan orang lain, upayakan untuk membicarakan perkara-perkara yang baik dan mengandung manfaat. Islam mengajarkan umat Islam menghindari pembicaraan yang tak berfaedah, apalagi membahas hal-hal yang mengandung dosa.

Selain itu, konten informasi yang disampaikan kepada orang lain haruslah berupa kebenaran. Hindari menyampaikan berita-berita yang masih belum jelas kebenarannya, apalagi menyebarkan berita hoaks. Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian berkata dengan perkataan yang benar

Baca juga: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 4: Semiotika Komunikasi Umberto Eco dan Pesan Kepada Para Mufasir

Menurut Imam al-Maraghi, yang dimaksud dengan  قَوْلًا سَدِيداً  adalah ungkapan-ungkapan kejujuran yang dimaksudkan untuk mmperoleh kebaikan. Menurut beliau, ayat ini berisi petuah agar segala tindakan dan perbuatan harus berorientasi baik, sehingga pada akhirnya akan didapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat [Tafsir al-Maraghi, juz 22, hlm. 44].

Lebih jauh lagi, Imam al-Razi sebenarnya telah menginventarisasi ayat-ayat Alquran apa saja yang patut disampaikan dalam berkomunikasi. Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Razi menulis

وَأَمَّا وَظِيفَةُ اللِّسَانِ الَّتِي هِيَ القول، فكما في قوله تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً [الْأَحْزَابِ: 70] وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا [فُصِّلَتْ: 33] وَقَوْلِهِ تَعَالَى: بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ [إِبْرَاهِيمَ: 27] وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوى [الفتح: 26] وإِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ [فَاطِرٍ: 10] إِلَى غَيْرِ هَذِهِ مِمَّا فِي غَيْرِ هَذِهِ السُّورَةِ

Adapun tugas lisan adalah sebagaimana dalam firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berucaplah dengan ucapan yang jujur…”[Q.S. Al-Ahzab ayat 70], “Barang siapa yang memperbaiki ucapannya…” [Q.S. Fushilat ayat 33], “..dengan perkataan yang kokoh..” [Q.S. Ibrahim ayat 27], “Kami wajibkan kepada mereka kalimat takwa…” [Q.S. Al-Fath ayat 26], “dan kepadanya naik ucapan-ucapann yang baik…” [Q.S. Fathir ayat 10], dan lain sebagainya. [Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 312].

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Menurut Alfred Korzybski, peletak dasar teori general semantics, penyakit jiwa–baik individual maupun sosial-muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa yang tidak benar. Jadi, tingkat kewarasan seseorang dapat diukur dengan sejauh mana ia sering menggunakan kata-kata yang tidak benar atau memanipulasi kebenaran [Islam Alternatif, hlm 78].

Oleh karenanya, Islam melarang keras umatnya dari ucapan-ucapan dusta. Selain berdampak buruk kepada kehidupan individu dan sosial, pelakunya juga akan mendapat balasan nanti di akhirat. hal ini sebagaimana sabda Nabi saw.

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong) (H.R. Bukari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad ibn Hanbal).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip komunikasi yang baik dalam Islam haruslah berorientasi kemaslahatan, baik maslahat di dunia maupun di akhirat. Seorang muslim yang baik tidak akan bicara banyak kecuali jika dirasa penting. Maka, benarlah pepatah yaang mengatakan “Apabila bicara itu perak, maka diam adalah emas”.

Apakah Dosa Syirik Diampuni Oleh Allah Swt?

0
A realistic Arabian interior miniature with window and columns. Silhouette of muslim praying on carpet near window. Festive greeting card, invitation for Muslim holy month Ramadan Kareem. Selective focus

Dalam beberapa keterangan disebutkan, bahwa syirik merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan Allah Swt tidak akan mengampuninya. Akan tetapi, di banyak ayat Allah Swt. menjelaskan  bahwa Dia merupakan Dzat yang maha pengasih, pemurah, lagi pengampun . Dari sini kemudian muncul sebuah pertanyaan, apakah dosa syirik diampuni oleh Allah Swt?

Mengenai syirik merupakan perbuatan dosa besar, bisa disimak pada penggalan surat Alnisa’ [4]: 48 berikut ini:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”

Ada dua pesan utama yang disampaikan ayat di atas, yaitu  (1) Syirik merupakan dosa besar dan Allah Swt. tidak akan mengampuninya. (2) Pintu ampunan masih terbuka lebar bagi dosa-dosa yang levelnya di bawah dosa syirik. Dan, dalam penjelasan kitab al-Tafsir al-Wasid, kata syirik pada ayat di atas maksudnya adalah segala bentuk tindakan yang mencederai keesaan Allah, baik tidak mengimani keluhuran Allah serta mengultuskan tuhan yang lain selain diri-Nya, seperti para penyembah berhala maupun menyekutukan-Nya sembari mengimani-Nya seperti kaum Nasrani yang memercayai Allah sebagai tuhan, sebagai Nabi Isa, dan juga sebagai anak-Nya. (al-Tafsir al-Wasith, Jilid 2, 826)

Baca Juga: 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati

Muhammad bin Jarir ath-Thabari mengutip perkataannya Abu Ja’far di dalam kitabnya yang berjudul Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, mengatakan bahwa ayat di atas dialamatkan kepada Tum’ah bin Ubairiq yang dosanya tidak diampuni oleh Allah Swt., karena ia telah meninggal dalam keadaan musyrik. Ulama yang akrab dipanggil dengan ath-Thabari tersebut menambahkan bahwa ancaman yang terdapat pada ayat itu sifatnya umum, tidak hanya berlaku kepada Tum’ah. Jadi siapa pun yang meninggal dalam kondisi syirik, dosa-osanya tidak diampuni oleh Allah Swt. (Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, Jilid 9, 206)

Ibn Abi Hatim (nama aslinya Abu Muhammad Abdurrahman) menambahkan bahwa kandungan surah Alnisa’ [4]: 48 mirip dengan salah satu sabda Nabi Saw. berikut ini:

مِنْ نَفْسٍ تَمُوتُ لَا تُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا حَلَّتْ لَهَا الْمَغْفِرَةُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَذَّبَهَا، وَإِنْ شَاءَ اللَّهُ غَفَرَ لَهَا

Setiap jiwa yang meninggal memiliki potensi mendapat ampunan dari Allah Swt, adakalanya Allah menyiksanya dan ada kalanya dosanya diampuni oleh Allah, kecuali dosa menyukutukan-Nya. (Tafsir ibn Abi Hatim, Jilid 3, 971)

Menurut Syekh al-Naysabury, surah Alnisa’ [4]: 48 memberikan dua kontribusi di bidang akidah, yaitu kelak di akhirat seorang muslim tidak akan kekal di neraka, sebaliknya, seorang musyrik selamanya akan kekal di neraka. Selain itu, ayat tersebut merupakan janji ampunan dari Allah kepada semua dosa selain syirik. Pernyataan ini membantah pemahaman yang dikemukakan oleh kalangan al-Qadariyyah yang berpendapat, para pelaku dosa besar selamanya akan tinggal di dalam neraka. (Tafsir al-Wasith lil Wahidy, Jilid 2, 6)

Jadi, dari beberapa penjelasan ulama di atas, bisa diketahui bahwa (1) Syirik merupakan dosa besar (2) Apabila seseorang meninggal dalam keadaan syirik, dosanya tidak akan diampuni oleh Allah Swt. konsekuensinya, ia akan tinggal di neraka selamanya. Dari sini masih menyisakan pertanyaan, bagaimana kalau musyrik, lalu bertaubat sebelum ajal menjemputnya? Apakah taubatnya diterima?

Baca Juga: Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki

Menurut Abdullah bin Ahmad, dosa syirik yang tidak diampuni adalah syirik yang diiringi dengan kematian.  Dengan kata lain, manakala pelaku syirik menyesali perbuatannya dan mau bertaubat, dosa-dosanya tetap akan dimaafkan.

Syekh Sam’any ketika menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai kategori dosa-dosa yang diampuni, mengatakan bahwa sebagian ulama berpendapat, di beberapa ayat lainnya, Allah Swt. telah memerintahkan kaum musyrik untuk bertaubat (Alanfal [8]: 38) dan Allah Swt. memerintahkan pula kepada Nasrani-Yahudi untuk menyesali perbuatannya (Albaqarah [2]: 160). Hal ini mengindikasikan, semua kesalahan manusia memiliki peluang dimaafkan, selama mereka menyesali dan bertekad tidak akan mengulang perbuatannya. (Tafsir al-Sam’any, Jilid 3, 524, dan Tafsir al-Nasafy].

Baca Juga: Inilah 4 Doa Taubat Para Nabi dalam Al-Quran

Dari penjelasan  di atas dapat disimpulkan, bahwa dari kedua ayat tersebut, yakni antara surah Alnisa’ [4]: 48 tentang Allah Swt. tidak akan mengampuni dosa syirik dengan ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat rahmat-Nya, sama sekali tidak bertentangan. Keduanya berlaku sesuai dengan konteksnya masing-masing. Jadi, Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun kepada hambanya yang mau menyesali kesalahannya. Sebaliknya, ampunan Allah tidak berlaku bagi mereka yang angkuh dan tidak mau bertaubat.

Wallahu a’lam.