Hujan adalah peristiwa alam yang sering kita sebagai masyarakat Indonesia yang hidup dalam iklim tropis. Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang bekerja sebagai petani, fungsi hujan sangat signifikan bagi kesuksesan panen. Dalam Artikel ini akan dibahas secara singkat mengenai apa fungsi hujan dalam al-Quran bagi bumi dan isinya, terutama bagi kehidupan manusia.
Tulisan ini bertujuan agar pembaca merefleksikan sendiri apa hakikat dan fungsi hujan. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman terhadap fenomena hujan dan dapat menghapus stigma negatif tentang kehadirannya.
Fungsi Hujan dalam Al-Quran Bagi Bumi dan isinya
Hujan dalam bahasa Arab disebut mathar. Kata ini beserta derivasinya disebutkan sebanyak 9 kali dalam Al-Quran. Hanya saja seringkali kata mathar (8 kali) digunakan Al-Quran sebagai indikasi penurunan azab Allah Swt. Al-Ashfahāni menyebutkan, kata mathar memiliki dua makna, yakni air hujan yang turun membawa kebaikan dan mathar yang bermakna turunnya siksa (al-Mufradat fi Garib al-Qur’an).
Dalam menyebutkan hujan yang turun membawa kebaikan, Al-Quran lebih sering menggunakan istilah-istilah lain, yaitu mā’an min al-samā’, wābil, wadq, ghais dan midrār yang tersebar dalam 49 ayat Al-Quran. Dari istilah-istilah itu, kata yang paling sering Al-Qur’an gunakan adalah mā’an min al-samā’, karena melalui kata tersebut Allah ingin menjelaskan sumber dan proses terbentuknya hujan.
Jika ayat-ayat hujan ditelaah lebih mendalam, maka dapat ditemukan bahwa fungsi hujan dalam Al-Quran setidaknya ada dua, yakni (1) fungsi ekologi, artinya hujan berperan sebagai perangsang atau sumber kehidupan bagi flora dan fauna yang ada di bumi. (2) Hujan berfungsi sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan manusia untuk kebutuhan konsumsi seperti minum, bahan membuat sesuatu dan lain-lain.
Dua fungsi hujan dalam al-Quran tersebut menunjukkan bahwa hujan memiliki peran sentral bagi bumi dan isinya. Tanpa kehadirannya ekosistem akan terganggu, hutan-hutan akan mengering, benua-benua akan menjadi tandus, bahkan mungkin kehidupan di bumi akan sirna. Hujan adalah sarana distribusi air alami bumi, jika proses tersebut hilang, maka tak terhitung entitas kehidupan yang akan binasa karena kekurangan pasokan air.
Berkenaan dengan fungsi ekologi hujan, Allah berfirman:
“Dan (Allah) yang menurunkan air dari langit menurut ukuran (yang diperlukan) lalu dengan air itu Kami hidupkan negeri yang mati (tandus). Seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur).” (QS. az-Zukhruf [43]: 10-11).
Secara umum, ayat di atas menginformasikan bahwa Allah menurunkan hujan secara bertahap dan dengan kadar tertentu. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa turunnya hujan bukanlah secara otomatis tanpa pengaturan Allah swt, melainkan Dia yang mengatur turunnya dan dengan kadar yang ditetapkan-Nya sesuai dengan hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya (sunatullah).
Selanjutnya, air hujan yang telah diturunkan Allah Swt digunakan untuk menghidupkan kembali negeri atau tanah-tanah yang tandus akibat musim kemarau dan ketiadaan air. Lalu tanah-tanah tersebut menjadi subur dan mampu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang mampu menarik hewan-hewan berdatangan. Dengan demikian tanah yang awalnya tandus, dapat kembali subur berkat air hujan (rahmat).
Dari ayat di atas, juga dapat disimpulkan bahwa intensitas hujan telah di atur sesuai dengan letak geografis dan kebutuhan suatu tempat (biqadrin). Indonesia sebagai negara kepulauan dan beriklim tropis, sudah sewajarnya mendapatkan curah hujan yang lumayan tinggi pada saat musim hujan jika dibandingkan dengan negara seperti Afrika selatan yang tandus.
Dengan demikian, terjadinya banjir, terutama di daerah perkotaan di Indonesia, bukan karena peningkatan intensitas hujan semata, tetapi juga diakibatkan oleh sarana irigasi yang tidak memadai, tata kota yang bermasalah dan hal-hal lain yang mempengaruhi resapan hujan. Oleh karena itu, bukan hujan yang semestinya disalahkan, tetapi kebiasaan masyarakat dan desain tata letak kota yang perlu dievaluasi.
Fungsi hujan yang kedua adalah sebagai sumber daya bagi manusia. Hal ini tertuang dalam QS. an-Nahl [16]: ayat 10 yang berbunyi:
“Dialah yang telah menurunkan air (hujan) dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuhan, padanya kamu menggembalakan ternakmu.”
Ayat ini memberitahukan manusia bahwa air merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan sehari-hari, seperti minum, memberi minum ternak, sebagai bahan untuk membuat sesuatu dan sebagainya. Dengan demikian, manusia harus memanfaatkanya sebaik mungkin dan menjaga kelestariannya, karena air adalah sumber kehidupan yang paling penting. Wallahu a’lam.
Dakwah menjadi kegiatan yang digandrungi masyarakat muslim. Bahkan sekarang, tidak hanya secara tatap muka, hampir semua platform digital sudah menjadi arena berdakwah. Namun, di era kebebasan berpendapat ini justru menjadikan pendakwah secara leluasa berceramah tanpa memperhatikan etika hingga menyulut emosi sebagian pihak. padahal Al-Quran telah menuntun kita untuk menjalankan dakwah yang menyejukkan.
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya (hanya) Tuhanmu yang mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahu orang-orang yang mendapat petunjuk”
Imam at-Thabari dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayil Quran menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyeru umat manusia kepada syariat Islam. Adapun hikmah yang dimaksud ialah wahyu dari Allah yakni Al-Quran
Sedangkan, Mau’idlah hasanah ia tafsiri sebagai bentuk pelajaran yang baik hingga menjadikan seseorang selalu mengingat Allah. Sedangkan yang ketiga ialah mendebat dengan cara-cara yang baik.
Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat tersebut merupakan perintah kepada Nabi untuk melanjutkan usahanya mengajak manusia pada ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dan bagi siapa saja yang meragukan hingga menolak, maka diperintahkan untuk membantah mereka dengan cara yang terbaik.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan atas hujatan hingga tuduhan yang tak berdasar dari kaum yang tidak mau diajak. Biarkan itu menjadi urusan Allah sehingga diakhir ayat disebutkan bahwa Allah lebih mengetahui siapa yang tersesat dan yang medapat petunjuk.
Pada kalimat وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ, al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghimenjelaskan bahwa maksudnya ialah mendebat lawan dengan cara yang lebih baik. Apabila ada yang melanggar batas atau menyakiti perasaan, maka segera memafkan dan tetap melayani mereka (yang mendebat) dengan sebagus-bagus ucapan.
Akhlak merupakan cerminan pendakwah
Merujuk pada ulasan beberapa mufassir di atas, bahwa Rasulullah SAW diperintahkan untuk melakukan misi dakwahnya dengan 3 cara. Pertama, dengan hikmah. Kedua, dengan mau’idlah hasanah. Dan ketiga ialah mujadalah bil ahsan. Beragam cara tersebut merupakan gambaran bahwa segala bentuk dakwah ialah harus dilakukan dengan cara yang baik.
Selain memiliki kemampuan dan keilmuan yang mempuni, seorang pendakwah harus mampu menyi’arkannya dengan akhlak terpuji. Dari tutur kata hingga tingkah laku merupakan cerminan dari semua keilmuan yang ia miliki. Bahkan Rasulullah SAW bersabda dalam suatu hadis di Musnad Imam Ahmad:
“Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwa nabi Saw pernah bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”(HR Ahmad)
Dakwah dengan menyenangkan, bukan menegangkan
Surat An-Nahl ayat 125 merupakan seperangkat pedoman dalam melaksanakan dakwah. Aturan ini dapat dikembangkan seluas mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang dihadapi.
Dakwah hanyalah sekedar menyampaikan, tidak perlu memberikan penilaian dan menghakimi berbagai pihak. hal ini ditegaskan oleh ayat tersebut dengan menyatakan bahwa hanya Allah lah yang berhak menentukan apakah seseorang beriman atau musyrik. Namun sebagian pendakwah justru melampau batas hingga dengan mudahnya ia nyatakan sesat terhadap pihak tertentu.
Bagaimanapun juga, dakwah dengan menyenangkan dan menyejukan sangatlah diperlukan. Terlebih dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Satu hal yang harus dihindari ialah tidak memancing perkara dengan ungkapan-ungkapan provokatif karena ini hanya memunculkan suasana yang panas. Justru dengan suasana sejuk dan nyaman, pesan dakwah mudah diterima oleh masyarakat. Wallahu a’lam[]
Al-Quran adalah mukjizat yang paling agung. Kemukjizatan al-Quran ada pada setiap aspek karena ia adalah Kalam Allah. Salah satu tanda mukjizat Al-Quran adalah mampu melakukan penataan ulang (rekonstruksi) atas kehidupan masyarakat Arab dalam setiap aspeknya. Maka proses dialektika antara misi Al-Quran dan budaya bangsa Arab tentu tidak dapat dihindari sebab objek dakwah pertama Nabi Muhammad adalah bangsa Arab.
Secara lebih tepat, proses ini dapat disebut sebagai proses inkulturasi, sebab dialektika antara Al-Quran dan budaya mampu menanamkan nilai-nilai fundamental Islam yang dibawa oleh Al-Quran ke dalam sebuah budaya, terutama bangsa Arab. Dalam perjalanan pewahyuannya, Al-Quran yang telah “membumi” turun beriringan dengan kejadian-kejadian tertentu dalam momen kesejarahan bangsa Arab sekaligus berperan menjadi perespon dan pemberi solusi atau dalam ulum al-Quran disebut sebagai asbab al-nuzul.
Dengan berdasar pada fakta itulah Khalil Abdul Karim berani menafsirkan penyataan Umar Ibn Khattab yang menyatakan bahwa bangsa Arab adalah materi Islam (al-‘arabmaddah al-Islam), dengan memberikan beberapa contoh syari’at Islam yang berasal dari permodelan tradisi bangsa Arab, diantaranya: 1) menganggap ka’bah sebagai tempat yang paling suci di Makkah; 2) mempertahankan tradisi empat bulan haram (arba’ah hurum) yakni Dzulhijjah, Dzulqa’dah, Muharram, Rajab; 3) tradisi haji dan umrah; 4) poligami; 5) penggantungan nasab kepada ayah (patrilineal).
Beberapa tradisi Arab yang telah disebutkan oleh Abdul Karim itu, pada selanjutnya diadopsi oleh Al-Quran, atau dalam bahasa Ali Sodiqin disebut dengan tahmil, sebagai bentuk apresiasi. Adapun contoh lainnya dari model tahmil ini adalah tradisi perdagangan. Alqur’an bahkan banyak sekali mengadopsi diksi-diksi perdagangan dalam ayatnya seperti mizan, tsaman, isytara dan lainnya sehingga menjadi familiar di telinga bangsa Arab yang mayoritas pedagang.
Selain tahmil, Sodiqin juga merumuskan model dialektika al-Quran dan Budaya di masa Nabi Muhammad, dengan menyebut dua model dialektika lainnya yaitu taghyir dan tahrim. Taghyir merupakan model dialektika Al-Quran yang mengadopsi budaya namun merekonstruksinya sehingga mengubah orientasi dari budaya tersebut. Salah satu contohnya ialah sa’i.
Sa’i merupakan salah satu dari rukun haji yang diadopsi dari budaya bangsa Arab. Dahulu, bangsa Arab Jahiliyah melakukan sa’i dengan tujuan memuja dua berhala yang ada di kedua bukit tersebut. Berhala yang berada di bukit Shofa bernama Usaf sedangkan di Marwah bernama Nailah. Mereka memuja kedua berhala tersebut dengan cara mengusapnya.
Tatkala Islam datang, sa’i tidaklah dihilangkan namun tujuannya yang diubah. Maka Q.S. al-Baqarah [2]: 158 menjadi bukti bahwa Islam mengadopsi dan merekonstruksinya baik dari sisi tata cara maupun tujuannya yakni sebagai syi’ar Islam dan bukti ketaatan pada Allah.
Adapun model tahrim merupakan model dialektika Al-Quran yang mendekonstruksi suatu budaya karena dianggap tidak relevan untuk dipertahankan serta mempertimbangkan sisi mashlahat di dalamnya. Salah satu contohnya adalah pelarangan minum khamr yang melalui tiga ayat Al-Quran; Q.S al-Baqarah: 219, al-Nisa: 43 dan al-Maidah: 90.
Ketiga model dialektika antara Al-Quran dan budaya pada penjabaran di atas menjadi bukti ilmiah bahwa Islam dan budaya merupakan elemen yang semestinya berjalan beriringan. Tanpa budaya, Islam tidak akan mampu menembus batas-batas dimensi historis manusia sebab manusia merupakan objek sasaran daripada dakwah Islam itu sendiri. Maka dialektika itu sendiri bertujuan untuk memudahkan Islam diterima oleh bangsa Arab pada saat itu.
Tidak bisa dibayangkan jika Al-Quran tiba-tiba datang dan mendekonstruksi semua aspek kehidupan yang telah ada dalam masyarakat Arab. Semisal dalam model tahmil, Al-Quran menghapus tradisi haji dan umrah, maka sudah dapat dipastikan Islam akan ditolak dan tidak mendapatkan simpati dari masyarakat.
Sebab salah satu yang menjadikan kota Makkah ramai setiap tahunnya adalah dengan adanya ritual haji dan umrah. Begitupun dalam model-model selanjutnya, jika Al-Quran tidak menjadikan budaya sebagai salah satu strategi dan media dalam menyampaikan pesan-pesannya maka ajaran Islam akan kering dan tidak mendapatkan empati masyarakat. Wallahu a’lam.
Kejahatan (syarr) atau kebaikan (khair) masuk dalam amal perbuatan yang diperlihatkan oleh manusia secara individual dan kolektif. Di dalam tema setan dan kejahatan ini akan dibahas prinsip dari kejahatan yang sering dipersonifikasikan oleh Al-Quran sebagai iblis atau setan.
Sa’dullah Assa’idi menyebutkan bahwa perkataan setan dan kejahatan merupakan ungkapan yang bermakna “sifat” bagi amal perbuatan manusia yang tidak memenuhi norma-norma ajaran Tuhan yang telah diwahyukan. Kata setan (Syaithan) bermakna “senantiasa jauh” dari kebaikan, “membakar kemarahan” sehingga ia dikatakan sebagai makhluk yang tercipta dari api.
Dalam Al-Quran, khususnya dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah, berulangkali maknasetan disebutkan dalam bentuk jamaknya. firman Allah SWT dalam Al-Quran:
Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” (QS. Al-Baqarah [2]: 14)
Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An’am [6]: 112)
Istilah setan dalam bentuk jamak di atas merupakan kiasan dari perbuatan seorang manusia munafiq dan tampilan orang-orang yang memusuhi sekaligus berlawanan dengan misi dari setiap ajaran para nabi. Dengan demikian istilah setan-setan tersebut merujuk secara metaforis kepada manusia.
Di samping Al-Quran menyebutkan istilah setan secara metaforis kepada manusia, maka apakah sama halnya dengan jin? Sa’dullah Assa’idi menuturkan bahwa istilah setan juga bermakna ditujukan kepada jin, sebagaimana halnya manusia, jin juga berpeluang untuk melakukan kejahatan. Perbedaannya adalah jika perbuatan jahat manusia dapat dengan mudah dipahami atau dimengerti dalam dunia empiris, maka perbuatan jahat jin tidak demikian halnya.
Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami (jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya). (QS. Al-Jin [72]: 8-9)
Hal demikian juga sesuai dengan pernyataan-pernyataan Al-Quran yang berulangkali bahwa setan-setan (dalam bentuk jamak) dengan sembunyi-sembunyi berusaha mencuri berita dari langit akan tetapi mereka diusir.
وَحَفِظْنٰهَا مِنْ كُلِّ شَيْطٰنٍ رَّجِيْمٍۙ
Dan Kami menjaganya dari setiap (gangguan) setan yang terkutuk, (Q.S. al-Hijr [15]: 17)
Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka azab neraka yang menyala-nyala. (QS. Al-Mulk/ 67: 5)
Di dalam ide bahwa manusia dapat mengikuti “jejak” setan itu terdapat dua aspek, di antaranya sebagai berikut:
Setan tidak pernah memaksa manusia untuk melakukan kejahatan, akan tetapi ia berusaha untuk menggoda manusia yang menjadi sasarannya.
Jejak setan hanya dapat mengantarkan manusia kepada kehancuran. Dalam hal ini penting bagi manusia untuk mengenal jejak setan itu supaya dapat terhindar dari kehancuran.
Dengan demikian maka problema yang sebenarnya adalah terletak di dalam diri manusia itu sendiri karena ia merupakan perlawanan kebaikan dengan kejahatan, kebodohan dengan pengetahuan, dan kekuatan dengan ketidakberdayaan.
Kunci pertahanan manusia terhadap godaan setan adalah taqwa. Takwa ini semacam cahaya di dalam diri manusia, api spiritual yang harus dihidupkan manusia di dalam dirinya sendiri supaya ia dapat membedakan antara yang haq dan bathil, hal-hal yang ril dari hal-hal yang khayal, dan lain sebagainya. Jika manusia menghidupkan api spiritual itu maka ia dapat. Wallahu A’lam.
surat at-taubah tanpa basmalah/ Foto: quran-tajweed.com
Surat At-Taubah, surat ke-9 dalam urutan mushaf Usmani adalah satu-satunya surat dalam Al-Quran yang tidak diawali dengan bismillah, berbeda dengan surat-surat lainnya. Apa alasan yang menyebabkan ia berbeda, bukankah bismillah dianjurkan menjadi awal dari apapun? Mengapa surat At-Taubah tanpa basmalah?
Surat At-Taubah selain memiliki nama populer Baraah, juga memiliki nama al Muqasyqishah mempunyai arti yang menyembuhkan, membersihkan dari kemusyrikan dan kemunafikan. Selain itu, juga dinamai al-Fadhihah -pembuka rahasia. Ibnu Abbas berkata bahwa surat ini silih berganti ayat-ayatnya yang turun menyatakan ‘dan diantara mereka….. dan diantara mereka’ sehingga Ibnu Abbas menduga bahwa ayat dalam surat tersebut tidak ada lagi yang tidak disebut namanya (untuk kasus dipermalukan dan dibongkar rahasianya).
Di lain tempat, sahabat Nabi saw. Yang bernama Hudzaifah menamai surat ini dengan nama surat al-Adzab, karena menurutnya ayat-ayat dalam surat ini membicarakan tentang siksaan terhadap orang kafir. Selain itu ada yang menamai surah al-Munaqqirah -yang melubangi, yakni melubangi hati orang-orang munafik, dan masih banyak lagi nama-nama yang diperuntukkan pada surat ini.
Imam Al-Biqa’i mengatakan bahwa tujuan utama dari surat ini adalah untuk memusuhi orang-orang yang berpaling dari isi surat sebelumnya yang mengajak untuk bertauhid dan menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Bukti yang paling jelas, menurut Biqa’i adalah kisah al-Mukallafin (kisah orang-orang yang enggan mengikuti perang Tabuk), yang pada akhirnya orang-orang tersebut sadar dan bertaubat. Sehingga surat yang memiliki 129 ayat ini dinamai At-Taubah.
Mengapa Surat At-Taubah Tanpa Bismillah?
Para ulama sepakat bahwa surat ini merupakan surat terakhir yang diterima Nabi Muhammad saw. yang turun setelah surat al-Fath. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat tentang tidak dimulainya surat ini dengan basmalah. Ada yang berpendapat bahwa ketika surat ini turun, para sahabat bingung apakah surat ini bagian dari surat al-Anfal atau tidak, sehingga mereka menulisnya tanpa basmalah.
Pendapat ini sejalan dengan riwayat yang menyatakan bahwa Utsman bin Affan ra. ditanya tentang mengapa surat At-Taubah dimulai tanpa basmalah. Beliau menjawab bahwa biasanya, apabila ada surat turun Rasulullah akan menyampaikan letak atau posisi surat tersebut. Utsman melanjutkan bahwa surat al-Anfal merupakan salah satu surat yang turun pertama kali di Madinah, sedangkan surat Bara’ah (at-Taubah) merupakan surat terakhir yang turun. “Aku menduga surat at-Taubah bagian dari surat al-Anfâl. Rasulullah wafat sebelum menjelaskan kepada kami letaknya, karena itu aku (memerintahkan) meletakkannya sesudah al-Anfal tanpa basmalah.” (HR. Abu Daud , At-Tirmidzi, an-Nasa’í, melalui Ibnu Abbas).
Hadis di atas menurut para kritikus hadis sanadnya sangat lemah, karena terdapat seorang perawi hadis yang bernama Yazid al-Farisi diragukan identitasnya dan bahkan tidak dikenal identitasnya. Selain itu, dari segi matan, apakah benar Rasulullah tidak sempat menjelaskan tempat surat al-Taubah ini? Padahal antara wafatnya Rasulullah dengan turunnya ayat ini masih cukup panjang.
Di lain tempat Rasyad Khalifah juga ikut memberi alternatif jawaban dari pertanyaan mengapa surat At-Taubah tanpa basmalah. Ia berpendapat bahwa basmalah terdiri dari sembilan belas huruf, dan angka sembilan belas ini merupakan angka rahasia al-Quran. Setiap kata dalam basmalah terbagi habis oleh sembilan belas. Kata ism terdapat sembilan belas dalam Al-Quran, kata Allah terdapat 2698 kali, kata al-Rahmân terulang 57 kali dan al-Rahîm 114 kali. Beberapa angka tersebut jika dibagi sembilan belas maka akan habis. Begitupun basmalah dalam Al-Quran terdapat 114 kali, 112 kali disebutkan dalam setiap awal surat, 2 kali di awal dan pertengahan surat An-Naml. Karena itu, menurut Rasyad Khalifah basmalah dalam surat ini ditiadakan.
Semua pendapat di atas menurut Quraish Sihab merupakan ijtihad pemikiran manusia, dan menurutnya pendapat di atas tidak memiliki pijakan yang kuat, serta tidak ada dasarnya dari Rasulullah. Boleh jadi jawaban yang relevan adalah surat ini tidak dimulai dengan basmalah dikarenakan Rasulullah tidak memerintahkan untuk menuliskannya.
Tom Hare adalah seorang professor Regional Studies, pada jurusan Perbandingan Sastra di Universitas Princeton. Ia adalah salah satu kontributor buku A Companion to Translation Studies (2014), yang diedit oleh Sandra Bermann dan Catherine Porter. Dalam buku tersebut, Tom Hare menulis artikel berjudul Translation and The Sacred: Translating Scripture. Ada pernyataan menarik dari Tom Hare dalam artikel itu, ketika ia menjelaskan dinamika penerjemahan al-Quran dalam Islam. Begini ia menuliskan:
Salman al-Farsi, companion of the Prophet, for example, made a Persian translation which was the basis for Turkish translations, and a late tenth-century Persian translation of Arabic commentary on the book became an important milestone not only in qur’ānic translation, but also in qur’ānic scholarship in general.
(Salman al-Farisi, sahabat Nabi Muhammmad Saw., misalnya, membuat terjemah al-Quran bahasa Persia yang menjadi basis terjemah al-Quran bahasa Turki, dan sebuah terjemah al-Quran ke bahasa Persia pada akhir abad ke-10 menjadi milestone penting, tidak hanya bagi terjemah al-Quran tetapi juga bagi kesarjanaan al-Quran secara umum).
Cover Buku A Companion to Translation Studies
Tom Hare tampaknya hendak menyatakan bahwa peristiwa Salman Al-Farisi (w. 35 H/654 M) yang menerjemahkan surat al-Fatihah ke dalam bahasa Persia menjadi tonggak penting bagi perkembangan penerjemahan al-Quran secara khusus dan perkembangan kesarjanaan al-Quran pada umumnya. Ini artinya, bila peristiwa Salman Al-Farisi tidak ada, mungkin perkembangan penerjemahan dan kajian al-Quran tidak sesemarak sekarang ini. Perdebatan penerjemahan al-Quran yang terjadi di Mesir dan Turki juga tidak sepanas yang diinfokan dalam literatur sejarah penerjemahan al-Quran.
Travis Zadeh dalam Vernacular Qur’an: Translation and the Rise of Persian Exegesis (2012) dengan percaya diri menunjukkan bahwa tradisi vernakularisasi (pembahasa-lokalan) al-Quran sudah ada sejak awal periode Islam, yakni dengan merujuk peristiwa Salman al-Farisi yang menerjemahkan al-Fatihah ke dalam bahasa Persia. Penerjemahan al-Quran ke dalam bahasa Turki pada awal abad ke-20 juga memantik diskusi panjang tentang penerjemahan al-Quran di Mesir dan juga merembet ke sejumlah negara lain seperti Indonesia.
Lalu, bagaimana dengan perkembangan penerjemahan al-Quran di Barat (baca: Eropa)?
Di antara kajian ilmiah tentang Al-Quran ialah penerjemahan Al-Quran dalam bahasa Latin yang dipimpin oleh Robbert of Ketton, yang selesai pada tahun 1143 M. Terjemahan Al-Quran tersebut tidak memberikan kontribusi berarti bagi perkembangan kajian Islam di Eropa. Sebab, Robbert ketika menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin tidak merujuk kepada mufasir ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Saya kaget dengan tulisan tersebut, terutama pada pernyataan “Terjemahan Al-Quran (baca:karya Robert of Ketton) tersebut tidak memberikan kontribusi berarti bagi perkembangan kajian Islam di Eropa.”
Baiklah. Seandainya kesimpulan itu benar, artikel Fani terkesan tergesa-gesa dan tidak menyuguhkan bukti yang cukup untuk menopang kesimpulannya. Melalui tulisan ini, saya akan menunjukkan bagaimana para sarjana melihat Robert of Ketton dan karya terjemah al-Qurannya dan dengan begitu akan terjawab apakah Robert of Ketton berkontribusi pada perkembangan kajian Islam, khususnya penerjemahan al-Quran, atau tidak.
Jika membaca literatur-literatur tentang penerjemahan al-Quran, tampaknya tak terbantahkan lagi bahwa terjemah al-Quran pertama kali ke dalam bahasa Eropa adalah terjemah karya Robert of Ketton, yakni terjemah al-Quran ke dalam bahasa Latin. Judul terjemah al-Quran tersebut adalah Lex Mahumet pseudoprophete que Arabica Alchoran id est Collectio praeceptorum uocatur. Biasanya hanya disingkat dengan Lex Mahumet.
Hampir seluruh sarjana, baik Barat maupun Timur mengakui hal ini, sebut saja misalnya: Ziad Elmarsafy dalam The Enlightement of the Qur’an: the politics of translation and the construction of Islam (2009); Tarvis Zadeh dalam Vernacular Qur’an; Muhammad Salih al-Bundaq dalam al-Musytasyriqun wa Tarjamatul Qur’an (1983); M. Brett Wilson dalam Translating the Qur’an in an Age of Nationalisme: Print Culture and Modern Islam in Turkey (2006); artikel Afnan H. Fatani berjudul Translation and The Qur’an dalam The Qur’an: an encyclopedia (2006); dan artikel Hassan Musthapa dengan judul Qur’an (Koran) translation dalam Routledge Encyclopedia of Translation Studies (1998).
Siapa sebenarnya Robert of Ketton? Tidak banyak yang tahu tentang identitas detail Robert of Ketton. Ia lahir di daerah Ketton, Rutland, Inggris, diperkirakan pada tahun 1141-1157. Tanggal dan tempat ia meninggal juga tidak diketahui. Para sarjana menggunakan beberapa nama untuk merujuk namanya, yakni Robert of Chester, Robertus Ketensis atau Ketenensis atau Ketinensis atau Kettonsis, Robertus Retinensis atau Retenensis, Robertus Anglicus, Robertus Castrensis atau Cestrensis, Robertus Anatensis atau Astrensis atau Astenensis atau Ostiensis (baca: Jurnal Christian-Muslim Relations, Vol. 3, 01 Januari 2011). Tidak ada informasi tentang masa-masa muda Robert hingga sekitar tahun 1130-an ketika dia melakukan perjalanan ke Iberia untuk mencari pengetahuan. Di Iberia, ia belajar bahasa Arab dan mulai menerjemahkan teks-teks saintifik termasuk kitab Justicia-nya al-Kindi.
Foto Terjemahan Latin Karya Robert of Ketton
Apa kata para sarjana tentang Robert of Ketton? Katarzyna K.Starczewska dalam Leo Africanus’ Contribution to a Latin Translation of the Qur’an: a Case Study of Intellectual Activity after conversion (2018), menyatakan paling tidak dalam lima abad terakhir ini, al-Quran telah diterjemahkan ke bahasa Latin Sembilan kali oleh sarjana independen atau kelompok. Alasan-alasan di balik usaha-usaha penerjemahan ini merefleksikan hubungan sejarah yang complicated. Yakni secara khusus, hubungan antara Muslim selatan dan Kristen utara di jazirah Iberian dan kemudian, secara lebih luas, hubungan antara Eropa dan Imperium Ottoman.
Secara umum, puncak kemenangan umat Kristen didasarkan ketepatan dalam memahami kredo umat Islam, baik untuk mencampuradukkan atau membingungkan umat Islam atau untuk mengajak mereka masuk Kristen. Penerjemahan fragmen-fragmen al-Quran menjadi salah satu piran untuk usaha-usaha polemik melawan Islam, dan al-Quran berbahasa Latin secara keseluruhan dibubuhi dengan tujuan menemukan bagian-bagian al-Quran yang paling mengejutkan.
Secara umum terjemah al-Quran bahasa Latin bisa dibagi ke dalam dua kategori—namun kategori ini masih bisa diganggu gugat: pertama adalah terjemah yang secara jelas memiliki tujuan polemik dan kedua adalah terjemahan yang dianggap lebih bertujuan metaphrasing dan filologis. Kiranya penting dipikirkan juga bahwa meski terjemah al-Quran-Latin polemis ini dilakukan dengan tetap memperhatikan detail filologis, terjemah al-Quran Latin yang terpelajar (kategori kedua) juga tidak bisa terhindar konteks polemik ini.
Terkait dengan kelompok pertama, terjemah yang paling polemis adalah karya Robert of Ketton dan, tampaknya karena karakteristinya, terjemahan Robert ini merupakan terjemah yang didistribusikan dan diterima secara luas. Terjemah al-Quran pertama kali dilakukan dibawah perintah Peter the Venerable, the abbot of Cluny, ketika ia melakukan perjalanan di semenanjung Iberian pada 1141-1143.
Harry Clark dalam the Publication of The Koran in Latin: a Reformation Dilemma, menyatakan sejak tahun 1141-1143, Peter the Venerable, abbot of Cluny, mengunjungi kerajaan Benedictine di Spayol dengan keinginan yang menggebu untuk melakukan missionary lebih jauh pada umat Islam di wilayah-wilayah yang direbut kembali oleh umat Kristiani. Peter the Venerable memperhatikan bahwa informasi-informasi yang memadai tentang Islam masih sangat sedikit di Latin. Dia sendiri tidak bisa berbahasa Arab. Namun, dari para sarjana yang berbondong-bondong ke Spanyol untuk meneliti dan menerjemahkan karya-karya saintifik bernilai tinggi, Peter mulai membangun sebuah tim untuk menerjemahkan karya-karya keagamaan yang dia minati. Robert of Ketton, seorang kelahiran Inggris yang telah menjadi semacam tokoh agama (archdeacon) di Pamplona, sebuah kota di Spanyol dan Hermaan of Carinthia, dibujuk oleh Peter untuk membantu intellectual crusade dengan menerjemahkan al-Quran dan karya-karya lainnya.
Robert menyelesaikan tugas yang berat itu di awal musim panas tahun 1143. Ada yang menyatakan, dalam menyelesaikan terjemah al-Quran tersebut, Robert dibantu seseorang yang bernama Mohamad, seorang muslim, yang dilibatkan oleh Peter untuk membantu menerjemahkan bagian-bagian al-Quran yang sulit. Dalam terjemahan Robert tersebut, beberapa frase memang dihilangkan dan juga terjadi kesalahan. Robert juga mencoba menjelaskan hubungan antar surah secara logis. Hasil-hasil usahanya menerjemahkan karya sastra dan liturgi terkadang berasa aneh dan lucu. Namun kesalahan-kesalahan tersebut tidak diketahui oleh saudara-saudara Kristennya. Terjemahan Robert didistribusikan secara luas dan digunakan oleh para misionaris. Beberapa abad kemudian, ketika imperium Turki menyatakan akan mengancam secara serius kepada orang Kristen Eropa, terjemah karya Robert menjadi pusat kontroversi, saat itu. Meskipun begitu, terjemah karya Robert ini tidak hanya disebarkan secara luas dalam bentuk manuskrip (24 manuskrip), tetapi juga menjadi basis pencetakan terjemah al-Quran karya Robert pada abad ke-16, di bawah pimpinan Theodore Bibliander dan Johannes Oporinus.
Terjemah al-Quran karya Robert of Ketton ini—menurut John de Segova (perkiraan hidup pada 1339-1458)—tidaklah memuaskan. Sebab terjemahannya banyak mengintrodusir gagasan-gagasan bahasa Latin dan menggunakan kata atau gagasan-gagasan dunia Kristen, bukan Islam. Oleh sebab itu, Bibliander membuat terjemah al-Quran yang baru pada tahun 1453. Meskipun begitu, Harmutz Bobzin menyakini bahwa terjemahan karya Robert of Ketton ini merupakan sumber utama bagi setiap pengetahuan orang Eropa tentang al-Quran. Terjemahan Ketton ini digunakan hampir oleh semua orang-orang Eropa yang menolak Islam, di antara mereka adalah Nicholas of Cusa (1401-1464), Dionysius Carthusianus (1402-1471), Juan of Torquemada (1338-1468), Martin Luther (1483-1546) dan masih banyak lainnya. Dampak dari terjemahan karya Ketton ini berlangsung lebih dari 600 tahun.
Banyaknya kritik terhadap terjemahan Robert of Ketton ini mendorong Rodrigo Juménes de Rada (hidup sekitar tahun 1170-1242), seorang archbishop di Toledo (1208-1247) meminta Mark of Toledo (1193-1216) untuk menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Latin lengkap yang kedua. Mark adalah asli orang Toledo yang belajar bahasa Arab dan seorang penerjemah karya-karya saintifik. Ia menerjemahkan al-Quran dengan mengabaikan karya terjemahan al-Quran sebelumnya. Karya terjemahan Mark ini diberi judul Liber Alcorani Machmeti quem Marcus canonicus Toletanus de Arabica lingua transtulit in Latinam. Sayangnya, karya Mark ini tidak tersebar luas di Spanyol.
Pengenalan al-Quran ke dalam bahasa Latin, khususnya setelah penerbitan di tahun 1453 telah menciptakan dorongan lebih lanjut untuk menghadirkan al-Quran ke dalam bahasa daerah di Eropa (vernacular tongues). Terjemahan al-Quran ketiga ke bahasa Latin dikerjakan oleh John of Segovia. Terjemahan keempat dalam bahasa Latin dilakukan oleh Johannes Gabriel Terrolensis. Terjemahan karya Gabriel ini dilengkapi dengan kolom catatan berdasarkan tafsir al-Quran dan transkrip Arab ke Latin. Ada juga terjemahan bahasa Latin berikutnya dilakukan oleh Kyrillos Lukaris (1572-1638). Setelah itu, muncul lagi terjemahan ke bahasa Latin karya Ludovico Marracci (1612-1700) pada 1698. Maracci adalah confessor of Pope Innocent XI dan belajar bahasa Arab bersama orang Turki. Di dalam menerjemahan al-Quran, Marracci banyak menggunakan kitab-kitab tafsir. Sebab keakuratannya, terjemahan ini sangat bermanfaat untuk karya-karya terjemahan berikutnya.
Dari perkembangan terjemah al-Quran berbahasa Latin di atas, meskipun terhitung kontroversial, karya Robert ini mengawali dan cukup memantik perkembangan penerjemahan al-Quran di Latin dan tentunya juga berefek pada kajian-kajian keislaman. Sebagaimana teori konflik, semakin al-Quran diterjemahkan secara salah dan polemik, maka semakin banyak yang kontra, dan dengan begitu akan terjadi kritik dan diskusi.Wallahu’alam. []
Belajar Al-Quran melalui tulisan latin tidaklah salah. Namun terdapat kelebihan dan kekurangannya. Tulisan ini tidaklah ingin mengejek sebagian umat muslim yang kebetulan tidak sempat belajar membaca Al-Quran, sehingga amat bergantung kepada Al-Quran yang ditulis dengan tulisanlatin.
Tidak juga hendak membahas tentang hukum menulis maupun membaca Al-Quran dengan tulisan latin. Belajar membaca tulisan arab memang tidak bisa sekali langsung bisa. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui, bergantung keadaan serta kesempatan si pelajar.
Tulisan ini hanya hendak menginformasikan dibalik Al-Quran dengan tulisan latin, ada kelebihan-kelebihan dan kekurangan. Harapannya, pembaca yang sudah bisa membaca tulisan Arab dan merasa asing dengan Al-Quran latin, bisa tahu keadaan orang yang biasa menggunakan Al-Quran dengan tulisanlatin. Dan bagi pembaca yang terbiasa membaca Al-Quran dengan tulisan latin, bisa lebih “semangat” belajar Al-Quran dengan tulisan Arab atau setidaknya bisa lebih antisipatif.
Al-Quran tulisan latin dapat mendekatkan umat muslim yang belum bisa membaca tulisan arab terhadap Al-Quran. Mereka, misalnya, bisa menghafal bacaan salat lewat Al-Quran yang dilengkapi tulisan latin. Namun, ada banyak hal juga dari Al-Quran yang tak bisa kita nikmati dengan tulisan latin. Ada banyak hal yang hilang dari Al-Quran tulisan latin. Dan yang hilang ini nilainya jauh dari kemudahan yang bisa kita peroleh dari Al-Quran tulisan latin.
Mereka Yang Terpaksa Menggunakan Tulisan Latin
Setiap umat muslim tentunya memiliki keinginan dapat membaca tulisan Arab dengan baik dan benar. Namun, tidak semuanya memperoleh keinginan tersebut. Salah satunya umat muslim yang baru masuk Islam atau mukalaf. Selain itu, umat muslim yang kebetulan tidak memperoleh pendidikan Islam dengan baik sejak kecil. Keduanya, tatkala ingin bisa membaca Al-Quran bersama usia mereka yang sudah dewasa, tentu akan terbantu dengan Al-Quran tulisan latin. Terlebih saat berada di tengah-tengah majlis rutinan semacam Majlis Yasinan.
Maka menjamurlah semacam buku saku yang berisi bacaan tahlil serta Surat Yasin yang dilengkapi tulisan latin. Selain itu, menjamur pula buku yang memuat Juz Amma yang dilengkapi tulisan Arab dan latin. Kebutuhan akan doa-doa juga mendorong penyedia website keislaman, mendorong penulisnya mencantumkan tulisan latin pada setiap ayat Al-Quran dan bacaan doa yang dicantumkan. Tujuannya yang paling utama adalah memudahkan pembacanya yang tidak bisa membaca tulisan Arab, untuk menghafal, mengamalkan, maupun mendiskusikan ayat yang baru mereka baca.
Ketidakmampuan membaca tulisan arab serta keterbatasan kesempatan untuk belajar, adalah alasan utama mengapa Al-Quran tulisanlatin tetap banyak dibutuhkan. Ini barangkali bisa menjadi pertimbangan bagi yang sudah bisa membaca tulisan Arab dengan baik, untuk lebih toleran terhadap yang yang masih belum bisa membaca tulisan Arab. Yang dibutuhkan problem ini adalah solusi, bukan kekerasan dalam bertindak dan bersikap.
Hal ini berbeda dengan kasus anak-anak usia sekolah dasar yang lebih gemar belajar Al-Quran lewat tulisan latin. Untuk anak-anak yang masih berada di bangku sekolah, masih banyak kesempatan untuk belajar membaca tulisan Arab. Maka sudah seyogyanya para guru dan orang tua, menjauhkan mereka dari Al-Quran tulisan latin.
Yang Hilang dari Al-Quran Latin
Namun, kelebihan yang diperoleh dari Al-Quran tulisan latin juga disertai beberapa problem. Penggemar Al-Quran tulisan latin tidak bisa mengeja dengan benar bacaan panjang dan pendek lafad-lafad dalam Al-Quran. Meski ada strategi menandai mana bacaan panjang dan mana bacaan pendek dengan menambahkan jumlah huruf vocal, tapi hal itu tetap tidak bisa menunjukkan secara tempat panjang suatu huruf.
Apabila panjang satu alif bisa ditandai dua huruf vocal, seperti بَابٌ ditulis baabun, maka bagaimana panjang dua alif atau bahkan satu alif setengah? Semisal lafad جَاءَ apakah ditulis jaa-a, atau jaaa-a? Belum lagi bacaan-bacaan yang tak lazim, seperti bacaan isymam atau mengucapkan huruf dengan bibir mengerucut. Sebagaimana lafad لَا تَأْمَنَّا yang terdapat dalam Surat Yusuf ayat 11 apakah ditulis laa tak maunna? Atau ditulis man-unna? Atau bacaan Tashil seperti lafad أَأَعْجَمِيٌّ apakah ditulis aajamiy, atau ditulis aha’jamiy?
Tidak ketinggalan dalam soal makhraj huruf. bagaimana mengucapkan makhraj huruf ج yang tepat? Padahal dalam kaidah makhraj, huruf ج diucapkan tanpa adanya angin yang keluar dari mulut. Lalu bagaimana dengan makhraj huruf ت yang dalam ketentuannya ada desisnya. Apakah ditulis ta, tha, atau etha? Problem-problem ini menjadi agak serius mengingat ada diantara akibatnya adalah kemungkinan merubah lafal yang seharusnya, yang juga berdampak pada perubahan makna.
Walhasil, menjaga Al-Quran adalah tugas semua umat muslim. Dan bersikap toleran pada yang masih belajar Islam maupun yang pengetahuan Islamnya masih dangkal, Juga merupakan ajaran Nabi Muhammad saw. Bagi yang belum bisa membaca tulisan arab, meski sekarang masih menggunakan Al-Quran latin, maka jangan berhenti untuk belajar membaca Al-Quran tulisan Arab dengan baik dan benar. Dan bagi yang sudah bisa, bantulah yang belum bisa dengan ramah serta mendekatkan mereka pada Islam bukan malah sebaliknya. Wallahu A’lam.
Pentingnya Kurikulum Pendidikan Multikultural/ detik
Multikultural bermakna beraneka ragam kebudayaan, ras, suku, bangsa, dan agama. Sedangkan jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka pendidikan multikultural adalah usaha sadar dan terencana untuk membina dan mengenalkan perbedaan satu sama lain agar tercipta hubungan yang harmonis dan damai.
Maka pada artikel ini memaparkan arti pentingnya kurikulum pendidikan multikultural menurut Al Quran. Sebagaimana Pendidikan multikultural sendiri telah disitir oleh Allah swt dalam firman-Nya Q.S. al-Hujurat [49]: 13,
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (Q.S. al-Hujurat [49]: 13)
Al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul memaparkan asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan peristiwa naiknya Bilak bin Rabbah ke atas Ka’bah untuk mengumandangan adzan. Maka sebagian penduduk Mekah berkata, “ahadzal ba’dul aswadi yuadzinu ‘ala dzaharal ka’bati (Budak hitam inikah yang di atas Ka’bah?) (dalam riwayat lain, di kitab Tafsir al-Baghawy al-Harits bin Hisyam mengejek dengan berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan”?).
Maka turunlah ayat ini sebagai bentuk penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi SARA, yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Abi Mulaikah.
Allah swt menceritakan kepada manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari diri yang satu dan darinya Allah menciptakan istri yaitu Adam beserta Hawa, kemudian Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Pendidikan multikultural dalam ayat ini terkandung dalam sebuah redaksi wa ja’alnakum syu’uban wa qabaaila li ta’arafu.
Ibnu Katsir menafsirkan kata sya’bun dengan a’ammu min al-qabaail (lebih besar daripada kabilah), kabilah sendiri menderivasi makna seperti fasha-il (puak), asya-ir (bani), ‘ama-ir, afkhad dan sebagainya.
Dikatakan, yang dimaksud dengan syu’ub adalah buthun al-‘ajam (kabilah non Arab), sedangkan qabaa-il ialah buthun al-‘arab (khusus untuk bangsa Arab), seperti halnya kabilah Bani Israil disebut Asbat. Keterangan terkait hal ini telah detail diterangkan dalam mukaddimah yang terpisah dari bagian dalam kitab al-Asybah karya Umar bin Abdul Barr, juga dalam mukaddimah kitab yang berjudul al-Qashdu wa al-Umam fi Ma’rifati Ansab al-‘Arab wa al-‘Ajam.
Sejatinya semua manusia diciptakan dari bahan yang sama yakni tanah liat. Hanya saja yang membedakan di antara mereka adalah perkara agama, dalam artian tingkat ketaatan dan ketakwaannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah pada ayat sebelumnya yang berisi larangan menggunjing dan menghina sesama.
Lantas Allah swt berfirman me-warning mereka bahwa mereka mempunyai harkat dan martabat yang sama yang membedakan hanyalah ketakawaannya sebagaimana redaksi inna akramakum ‘indallahi ‘atqaakum. Rasulullah saw juga bersabda,
Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian”
Pentingnya Pendidikan Multikultural dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Pengarusutamaan pendidikan mulikultural tersitir dalam redaksi wa ja’alnakum syu’uban wa qabaaila li ta’arafu. Ia meniscayakan pendidikan yang berwajah egaliter bagi semua manusia. Multikultural sendiri berarti beraneka ragam kebudayaan, ras, suku, bangsa, dan agama. Secara sederhana diartikan sebagai pengakuan atas pluralisme yang terjadi. Pendidikan multikultural mengharuskan untuk saling mengenal satu sama lain tentang berbagai macam status sosial agar tercipta hidup rukun dan harmonis.
Karenanya, redaksi li ta’arafu dalam ayat tersebut menggunakan bentuk wazan tafa’ala yang berfungsi li al-musyarakati baina itsnaini fa aktsara (saling bekerjasama satu sama lain). Sehingga untuk dapat saling mengenal, ia membutuhkan dua subjek sebagai perwujudan dari saling mengenal.
Pesan ayat di atas sangat universal, ia menghapus kasta sosial sebagaimana dulu terjadi dalam masyarakat jahiliyah, menegaskan kembali bahwa status sosial, harta, tahta, pangkat, kedudukan manusia bukan penentu kemuliaan seseorang melainkan derajat ketakwaannya.
Dan ketakwaaan itu tidak bisa dibeli atau bahkan disogok dengan mengutamakan status sosial di atas, tetapi dengan amal shalih. Sayang, belakangan ini banyak yang ingin mengembalikan “kasta” tersebut.
Pendidikan multikultural tidak dimaksudkan untuk saling meneror, mencurigai, memaksa atau membunuh. Dengan saling mengenal, kita dapat meminimalisir perbedaan dan mempertajam persamaan sehingga tercipta peradaban modern yang integratif. Dengan mengetahui perbedaan di antara kita, kita akan lebih toleran, pluralis, dan moderat, kita mendapat kesempatan belajar satu sama lain. Kesalahpahaman seringkali terjadi sebab belum saling mengenal dan bertegur sapa satu dengan yang lain. Wallahu A’lam.
Jika kita mengamati tulisan arab di dalam mushaf Al-Quran dengan tulisan di dalam teks kitab, maka kita akan menjumpai perbedaan. Misalnya lafadz صلاة di dalam teks buku-buku berbahasa arab, lafadz tersebut ditulis dengan huruf shad – lam alif – ta’ marbuthoh, namun jika kita amati di dalam mushaf Al-Quran lafadz tersebut ditulis dengan huruf shad – lam -wawu- ta’ marbuthoh, sehingga ditulis semacam ini : صلوة . Mengapa demikian? Karena tulisan mushaf Al-Quran mempunyai karakteristik sendiri. Lantas semacam apa karakteristiknya?
Tulisan mushaf Al-Quran memang mempunyai keunikan, tidak sama persis dengan tulisan arab biasa, yang dalam terminologi ulumul qur’an disebut rasm utsmaniy. Dinisbatkan kepada sahabat Ustman bin Affan Ra (579-656 M), karena beliau sebagai pelopor penulisan sekaligus pengumpulan tulisan mushaf pada masa itu.
Pada sisi apa saja sebenarnya keunikan dan karakteristik penulisan mushaf? Para ulama mengelompokkan penulisan tersebut menjadi lima kaidah, yaitu hadzf (penghapusan huruf), ziyadah (penambahan huruf), hamzah (penulisan hamzah), badal (penggantian huruf), fashlwawashl (pemisahan dan penyambungan huruf).
Agar lebih jelas, mari kita lihat contoh dari masing-masing lima kaidah tersebut :
Pertama, hadzf (penghapusan huruf). Contohnya : huruf alif dihapus dari ya’ lafadz: يَا أَيُّهَا النَّاسُ , kemudian ditulis menjadi يَأَيُّهَا النَّاسُ , tanpa alif yang disambung dengan ya’. Contoh lain, alif dihapus dari ha’ lafadz هَا أَنْتُمْ , kemudian ditulis menjadi هَأَنْتُمْ. Ya’ dari nun lafadz فَاعْبُدُونِي , kemudian ditulis menjadi فَاعْبُدُونِ.
Kedua, ziyadah (penambahan huruf). Contohnya : alif yang ditambahkan setelah lafadz الظنون pada ayat : وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا , alif yang ditambahkan setelah lafadz الرسول pada ayat : وَأَطَعْنَا الرَّسُولا , alif yang ditambahkan pada setelah lafadz السبيل pada ayat : فَأَضَلُّونَا السَّبِيلا .
Ketiga, penulisan hamzah, contohnya : jika hamzah disukun maka ditulis menyesuaikan dengan harokat huruf sebelumnya, jika sebelumnya berharokat kasroh maka ditulis dengan ya’, misal : ائْذَنْ , jika sebelumnya berharokat fathah maka ditulis dengan alif, misal : الْبَأْسَاءِ , dan jika sebelumnya berharokat dhomah maka ditulis dengan wawu, misalnya : اؤْتُمِنَ .
Keempat, badal (penggantian huruf), contohnya : alif yang berada di tengah diganti menjadi wawu pada lafadz الصلاة , الزكاة , الحياة, menjadi : الصلوة , الزكوة , الحيوة .
Kelima, fashl wa washl (pemisahan dan penyambungan huruf), contohnya lafadz مِنْ jika bertemu مَا maka akan ditulis tersambung menjadi مِمَّا kecuali pada ayat : مِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ( yang terdapat pada surat an-nisa dan surat ar-rum), dan ayat : مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ (surat al-munafiqun). (Syekh Az-Zarqoniy, Manahil al-‘Irfan, [Maktabah Syamilah] juz 1, hal. 371-372)
Contoh yang kami sebutkan di atas hanya bagian kecil dari karakteristik keseluruhan rasm utsmaniy. Dari semua karakteristik penulisan mushaf Al-Quran tadi, apakah ketika kita akan menulis Al-Quran di buku, maupun dalam seni kaligrafi harus sesuai dengan rasm utsmaniy? Menurut mayoritas ulama, harus sesuai dengan rasm ustmaniy, dengan alasan rasm ustmaniy sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) para sahabat waktu itu, kemudian diikuti oleh tabi’in, dan tabi’i tabi’in. Bahkan Imam Ahmad (780-855 M.) berstatement dengan tegas:
“تحرم مخالفة خط مصحف عثمان في واو أو ياء أو ألف أو غير ذلك”
Artinya : “Haram menulis mushaf tidak sesuai dengan rasm utsmaniy pada penulisan wawu, ya’, alif, dan lain sebagainya.” (Syekh Manna’ Qothon, Mabahits fi Ulumil Qur’an, [Maktabah Syamilah], halaman 148). Wallahu A’lam.
Soal dan Jawaban dalam Al-Quran (Uslub al-Hakim) foto: al-nujaba-news.com
Sebagian pembaca Al-Quran mungkin sedikit kebingungan ketika menemui bentuk-bentuk ayat soal dan jawaban dalam Al-Quran (uslub al-hakim), karena terkadang jawaban yang dimunculkan bertolak belakang atau tidak sinkron dengan pertanyaan yang diajukan di ayat sebelumnya. Mungkin akan muncul pertanyaan-pertanyaan, apakah maksud dari ketidaksinkronan tersebut? Lantas bagaimana menjelaskannya?
Pada dasarnya, sebuah jawaban seharusnya sesuai dengan pertanyaan atau soal yang diajukan, agar orang yang bertanya dapat mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan demikian, seharusnya orang yang menjawab pertanyaan memberikan jawaban sesuai pertanyaan yang diberikan. Namun, dalam konteks ayat Al-Qur’an tidak semua ayat pertanyaan dijawab dengan jawaban yang diasumsikan sesuai oleh penanya.
Bentuk ayat soal dan jawaban dalam Al-Quran ini menurut Ilmu Balaghah biasa disebut sebagai uslub al-hakim. Uslub al-hakim adalah mengalihkan atau membelokkan jawaban pertanyaan kepada permasalahan yang tidak diharapkan, karena alasan tertentu, yakni karena isu yang disampaikan dianggap lebih penting dari pertanyaan tersebut sesuai dengan kondisi lawan bicara (mukhatab).
Bentuk Soal dan Jawaban dalam Al-Quran atau Ushlub al-hakim banyak ditemukan sebagai bentuk informasi dialogis bagi pembacanya mengenai suatu permasalahan. Soal dan Jawaban dalam Al-Quran ini ditujukan agar pesan yang disampaikan di dalamnya lebih hidup dan mudah ditangkap. Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai bagaimana bentuk soal dan jawaban dalam Al-Quran (ushlub al-hakim) dan apa hikmah diantaranya.
Ahmad dalam Uslub Al-Hakim wa Surah Al-Baqarah (p. 22) menyebutkan bahwa bentuk ushlub al-hakim ada empat, yakni (1) pertanyaan dan jawaban yang dialihkan, (2) pernyataan yang dipalingkan maknanya, (3) pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan, dan (4) pernyataan yang dijawab dengan pertanyaan. Semua bentuk ushlub al-hakim tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an, terutama QS. Al-Baqarah.
Bentuk pertama uslub al-hakim, yakni pertanyaan atau soal dan jawaban yang dialihkan dapat dipahami sebagai pengalihan jawaban suatu pertanyaan kepada jawaban yang tidak diharapkan penanya. Bentuk kedua adalah pengalihan makna dari suatu pernyataan kepada makna yang lain. Bentuk ketiga adalah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula. Sedangkan bentuk keempat sekaligus yang terakhir adalah menjawab sebuah pernyataan dengan pertanyaan.
Salah satu contoh bentuk soal dan jawaban dalam Al-Quran uslub al-hakim (bentuk pertama) di atas adalah QS. Al-Baqarah [2]: 189:
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Jawaban yang diberikan Al-Quran terhadap pertanyaan sahabat nabi Muhammad Saw di atas terlihat tidak sesuai dengan pertanyaan yang diajukan. Karena jawaban yang seharusnya diberikan kepada mereka adalah bahwa bulan memantulkan sinar matahari ke bumi melalui sebagian permukaannya yang tampak terang sehingga timbul bulan sabit sebagaimana yang biasa mereka lihat.
Al-Qur’an menjawab demikian, tidak sesuai dengan jawaban yang diharapkan sahabat, karena ada jawaban tersebut lebih sesuai dengan kepentingan mereka saat itu. Hal serupa banyak terjadi dalam Al-Qur’an dengan tujuan mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih penting untuk ditanyakan daripada pertanyaan yang mereka ajukan. Ajaran ini memberikan kesan bahwa Al-Qur’an menyuruh pembacanya agar melakukan hal yang bermanfaat.
Mungkin sebagian orang bertanya, “apakah tidak boleh melihat fenomena alam dari sisi ilmiah, karena Al-Qur’an seringkali menyebutkan dari aspek fungsinya saja? Tidak mengapa jika seseorang ingin menelaah fenomena alam secara ilmiah, seperti bulan, matahari dan laut. Hanya saja dalam konteks sejarah pewahyuan Al-Qur’an hal tersebut belum menjadi wacana umum yang berkembang di masyarakat Arab. (Tafsir Al-Misbah [1]: 416-419)
Selain itu, pembahasan terkait penjelasan ilmiah mengenai alam semesta memang bukan bidang yang Al-Qur’an tekankan, karena Al-Qur’an adalah kitab hidayah bukan kitab Ilmiah. Belum lagi persoalan astronomi itu belum dapat dijangkau oleh para audiens Al-Qur’an ketika pertama kali turun. Singkatnya, jawaban Al-Qur’an menyesuaikan kondisi sosio-kultural masyarakat Arab pada masa nabi Muhammad Saw. (Tafsir Al-Misbah [1]: 416-419)
Menurut Quraish Shihab, melalui uslub al-hakim ini Al-Qur’an juga mengajarkan pembacanya agar tidak menjawab persoalan yang tidak termasuk otoritasnya, tidak juga memberi jawaban yang diduga keras tidak akan dimengerti oleh penanya, karena akan mengakibatkan kesalahpahaman maupun persoalan-persoalan lain yang berakibat negatif bagi kedua belah pihak. Menurutnya, seseorang harus mengarahkan penanya kepada pertanyaan dan jawaban yang memberikan manfaat baginya, baik di dunia maupun akhirat.
Kemudian, ayat ini secara tidak langsung juga berpesan kepada pembaca agar bertanya mengenai persoalan yang bermanfaat dan dapat dimengerti. Jangan menanyakan sesuatu yang sia-sia dan tidak mungkin untuk dipahami. Lebih jauh, ayat ini mengajarkan manusia untuk bijak dalam bertanya, berpendapat dan lain-lain sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (membumi). Wallahu a’lam.