Beranda blog Halaman 174

Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran; Perspektif Tarif Khalidi (2)

0
Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran; Perspektif Tarif Khalidi (2)
Tarif Khalidi

Jika kita membaca keseluruhan Al-Quran, kita akan menemui nama “Muhammad” disebut sebanyak empat kali. Sebagaimana dicatat ‘Abd al-Razzaq Naufal dalam al-I’jaz al-‘Adadi li Al-Quran al-Karim (1987), nama “Muhammad” tercantum pada QS. Ali ‘Imran [3]: 144, QS. Al-Ahzab [33]: 40, QS. Muhammad [47]: 2, dan QS. Al-Fath [48]: 29. Ada nama lain Nabi Muhammad dalam Al-Quran, yaitu Ahmad yang disebut sekali dalam al-Saff [61]: 6.

Dengan cermat, Tarif mengatakan hal tersebut cukup mengejutkan, sebab jumlah itu tidak lebih banyak daripada jumlah nama-nama kelompok seperti kaum Muhajirin dan Anshar. Dua kelompok tersebut setidaknya dua kali lipat lebih sering disebut daripada Muhammad. Meskipun demikian, terdapat ratusan kata rujuk (dhamir) ke Nabi Muhammad yang digambarkan sebagai Rasulullah dan ratusan perumpamaan dalam sosok anonim yang kemungkinan adalah Nabi Muhammad (hlm. 44).

Tarif juga mengungkapkan bahwa nyaris tidak disebutkan nama orang sezaman dengan Nabi di dalam Al-Quran. Setidaknya hanya dua nama, yaitu Abu Lahab, paman Nabi dalam QS. Al-Lahab [111]: 1 dan Zaid, anak angkat Nabi dalam QS. Al-Ahzab [33]: 37. Selain itu, mereka—orang sezaman Nabi—disebut secara tidak langsung.

Hal ini, menurut Tarif, menjadi satu alasan mengapa Al-Quran terkesan samar, seluruhnya ditulis dalam bentuk waktu (tenses) yang terus berlangsung, di mana waktu lampau (past), kini (present), dan akan datang (future) hadir dalam satu kesinambungan. Oleh karena kesan samar tersebut, sebagaimana orang sezaman lainnya, citra Nabi Muhammad hampir tanpa nama (hlm. 45).

Baca juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Citra Muhammad Sebagai Sang Nabi

Konsentrasi citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran adalah sebagai “Rasulullah” atau “Sang Nabi”, bukan sebagai sosok pribadi. Penyebutan nama Muhammad dalam Al-Quran hampir semuanya menggunakan gelar kehormatan dan status khusus seperti Sang Nabi, Nabi Terakhir, Penutup Para Nabi, Sang Utusan Allah, dan lain sebagainya. Kita dapat menemukannnya dalam QS. Al-Ahzab [33]: 40 berikut,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ࣖ

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Muhammad adalah nabi terakhir, nabi teragung dan mahkota para nabi. Garis panjang kenabian yang jika dirunut akan kembali sampai ke Nabi Ibrahim, atau bahkan ke awal penciptaan. Garis kenabian ini diyakini bahwa risalah Nabi Muhammad beliau terima dari Allah adalah wahyu terakhir dan yang paling otoritatif dibanding yang lainnya.

Selain itu, Tarif menambahkan tentang apa yang disebut dengan profetologi Al-Quran, teori tentang kesamaan yang dimiliki semua nabi. Genealogi spiritual Muhammad sebagai Sang Nabi Allah adalah garis kenabian pendahulu. Artinya semua nabi memiliki pengalaman yang serupa; penentangan terhadap ketidakadilan, ketidakpedulian umat, menerima olok-olok, cemooh, risiko ancaman fisik, atau bahkan kematian. Meski begitu, pada akhirnya mereka mendapat pembenaran atau para penetangnya mendapat hukuman dari Allah (hlm. 46).

Kita dapat membaca dua contoh jelas dalam QS. Al-Mu’minun [23]: 44 dan QS. Yasiin [36]: 30 masing-masing sebagai berikut,

ثُمَّ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَاۗ كُلَّمَا جَاۤءَ اُمَّةً رَّسُوْلُهَا كَذَّبُوْهُ فَاَتْبَعْنَا بَعْضَهُمْ بَعْضًا وَّجَعَلْنٰهُمْ اَحَادِيْثَۚ فَبُعْدًا لِّقَوْمٍ لَّا يُؤْمِنُوْنَ

Kemudian, Kami utus rasul-rasul Kami secara berturut-turut. Setiap kali seorang rasul datang kepada suatu umat, mereka mendustakannya. Maka, Kami iringkan (kebinasaan) sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kami jadikan (pula) mereka bahan pembicaraan. Maka, kebinasaanlah bagi kaum yang tidak beriman.

يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

Alangkah besar penyesalan diri para hamba itu. Setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.

Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat

Citra Nabi Muhammad Sebagai Manusia

Kini Tarif menguraikan citra Nabi sebagai manusia biasa. Bahwa semua rasul Allah, meski derajat mereka diluhurkan Allah, sebenarnya juga manusia biasa yang rentan tersakiti, cenderung dihadapkan pada keraguan-keraguan, ditimpa krisis dan kesusahan hidup, seperti halnya yang dirasakan orang pada umumnya. Mari kita baca seluruh kutipan QS. Al-Dhuha [93]: 1-8 berikut;

وَالضُّحٰىۙ وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ

Demi waktu duha. Dan demi waktu malam apabila telah sunyi. Tuhanmu (Nabi Muhammad) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu. Sungguh, akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan (dunia). Sungguh,  kelak (di akhirat nanti) Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau rida. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(-mu); mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk (wahyu); dan mendapatimu sebagai seorang yang fakir, lalu Dia memberimu kecukupan?

Kita membacanya juga dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 113;

وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهٗ لَهَمَّتْ طَّاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ اَنْ يُّضِلُّوْكَۗ وَمَا يُضِلُّوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّوْنَكَ مِنْ شَيْءٍ ۗ وَاَنْزَلَ اللّٰهُ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُۗ وَكَانَ فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا

Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Nabi Muhammad), tentu segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Akan tetapi, mereka tidak menyesatkan, kecuali dirinya sendiri dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (sunah) kepadamu serta telah mengajarkan kepadamu apa yang tadinya belum kamu ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.

Dari ayat-ayat tersebut, Tarif melihat beragam bentuk krisis yang dihadapi Nabi Muhammad. Krisis yang lebih dari sekadar rasa bersalah dan kesalahan yang nyaris menggoyahkan imannya. Citra kejujuran, spontanitas dan kerapuhan watak manusiawi Nabi Muhammad begitu kentara (hlm. 60-61). Namun ternyata, semua itu merupakan narasi permulaan yang pada akhirnya berujung pada kemenangan seperti yang direkam dalam QS. Yunus [10]: 103;

ثُمَّ نُنَجِّيْ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كَذٰلِكَ ۚحَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِيْنَ ࣖ

Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman. Demikianlah menjadi ketentuan Kami untuk menyelamatkan orang-orang mukmin.

Semua ini, simpul Tarif, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi yang manusiawi dan rentan tersakiti. Ia berdiri di antara umatnya dan mendengarkan firman Allah. Ia seperti semua makhluk Allah, yang membutuhkan keteguhan hati dan belas kasih Allah.

Walhasil, citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran berada dalam semacam titik temu empat titik persegi; Allah sebagai Penyingkap Wahyu, Al-Quran sebagai wahyu, Malaikat Jibril sebagai perantara wahyu dan Nabi Muhammad beserta umatnya sebagai penerima wahyu (hlm. 63). Wallahu a’lam.

Baca juga: Muhammad Nabi Cinta; Nabi Muhammad di Mata Seorang Penganut Katolik

Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

0
Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran; Perspektif Tarif Khalidi (1)
Tarif Khalidi

Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V versi daring diartikan sebagai; 1) rupa; gambar; gambaran; 2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk. Masih ada dua takrif lagi, namun dua takrif yang telah disebut saya kira cukup dan yang paling sesuai untuk memahami tajuk tulisan ini; citra Nabi Muhammad dalam al-Quran.

Citra Nabi Muhammad

Selama ini kita jamak membaca citra Nabi Muhammad saw melalui kitab-kitab atau buku-buku Syamail yang berisi riwayat-riwayat orang yang menjumpai Nabi kala hidupnya. Masyhur Nabi Muhammad memiliki postur tubuh yang sedang; tinggi tapi tidak semampai, tidak juga pendek.

Dalam sebuah riwayat, Umar adalah di antara sahabat Nabi yang berbadan tinggi. Sedangkan Ibn Mas’ud, terkenang sebagai sahabat Nabi yang memiliki badan pendek. Namun ketika Nabi Muhammad berjalan bersama Sahabat Umar, Nabi tak kalah tingginya. Lalu ketika berjalan bersama Ibn Mas’ud, Nabi tak terlalu tinggi dibandingnya. Seperti itulah di antara citra fisik Nabi Muhammad yang kita temukan dalam hadis.

Kemudian kita juga kerap membaca, dan kita semua tahu, bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah al-Quran. Begitu riwayat yang disampaikan Sayyidah Aisyah r.a. Dari kedua riwayat itu, kita cukup mendapati seperti apa citra Nabi Muhammad saw melalui hadis. Citra Nabi yang lain dapat dibaca lebih jauh dalam kitab-kitab klasik semisal al-Syamail al-Muhammadiyyah karya Imam al-Tirmizi, salah satu penulis kutubussittah.

Adalah Tarif Khalidi, seorang akademisi cum sejarawan muslim kebangsaan Palestina yang tinggal di Eropa. Ia banyak menulis sejarah. Images of Muhammad (2009) adalah karya Tarif yang belum lama ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (2021), dengan judul kecil; Evolusi Citra Nabi Muhammad Sepanjang Sejarah. Karya lain, The Muslim Jesus, juga telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa antara lain Indonesia (dengan judul yang sama) dan Arab (berjudul al-Injil bi Riwayat al-Muslimin (2015).

Images of Muhammad terbagi menjadi 10 bab, dibuka dengan bab pertama menguraikan citra Nabi Muhammad di dalam al-Quran. Menarik menyimak uraian Tarif dalam bab ini. Sebab selama ini, kita melulu mendapati citra Nabi Muhammad melalui hadis-hadis atau narasi-narasi dalam berbagai kitab Maulid Nabi semisal al-Barzanji. Setiap hari kita membaca al-Quran, namun kita masih samar bagaimana al-Quran “menggambarkan” citra Nabi Muhammad saw.

Baca juga: 3 Persamaan Menarik Antara Al-Qur’an dan Nabi Muhammad

Potret Manusia dalam Al-Quran

Lebih dulu, ini penting dipahami untuk mengantarkan kita ke bahasan citra Nabi, Tarif membahas potret Quranik kondisi jiwa dan watak manusia yang cenderung mirip konsep manusia modern ketimbang pra-modern; manusia itu ingkar, tak berteguh hati, tak sabar, plin-plan dan sembrono (hlm. 39). Potret itu kita temui dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 137 berikut.

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ ازْدَادُوْا كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيْلًاۗ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, lalu kufur, kemudian beriman (lagi), kemudian kufur (lagi), lalu bertambah kekufurannya, Allah tidak akan mengampuninya dan tidak (pula) menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus).

Kita juga dapat menemukan potret Quranik lain manusia yang jika ditimpa nasib buruk, manusia lekas-lekas menyeru dan berdoa kepada Allah. Sebaliknya, jika memperoleh kenikmatan, ia ogah-ogahan bersyukur dan malah menjauhkan diri dari-Nya. Kita simak Fushshilat [41]: 51 berikut.

وَاِذَآ اَنْعَمْنَا عَلَى الْاِنْسَانِ اَعْرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِهٖۚ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُوْ دُعَاۤءٍ عَرِيْضٍ

Apabila Kami menganugerahkan kenikmatan kepada manusia, niscaya dia berpaling (tidak mensyukuri nikmat-Nya) dan menjauhkan diri (dari Allah dengan sombong), namun apabila kesusahan menimpanya, dia akan banyak berdoa.

Ada banyak lagi ayat yang menggambarkan citra manusia. Namun dari semuanya, Tarif menarik sebuah kesimpulan “..Manusia sebagai gugusan kontradiksi tak terkendali dan kaostis, tercabik-cabik dan tertipu oleh hawa nafsu dan keinginan, yang pada suatu waktu saling menyatu, dan pada kesempatan lain saling bertentangan,” (hlm. 41). Tarif menyebut potret tersebut sebenarnya tidak menyoroti manusia yang berdosa, tetapi manusia yang sembrono.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad

Konsep Suasana Al-Quran

Sekali lagi, sebelum mengemukakan citra Nabi Muhammad di dalam al-Quran, Tarif mengajak pembaca untuk mengamini empat konsep suara atau suasana prinsipil al-Quran. Sebab empat konsep tersebut kelak berpengaruh dalam membaca citra Nabi Muhammad dalam al-Quran.

Siapa pun yang membaca al-Quran, tegas Tarif, akan jelas baginya al-Quran ditujukan kepada pembaca dalam berbagai petunjuk (konsep) suara, suasana atau musikal. Pertama, ada ayat-ayat al-Quran yang dimulai dengan suasana apokaliptik; penggambaran neraka dan surga secara dramatis; gambaran Akhir Zaman dan Hari Kiamat; pemandangan kosmik bintang-bintang, gunung-gunung, ombak laut yang berkecamuk, dan lain sebagainya. Kita dapat membaca hal itu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 berikut,

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.

Ayat tersebut menegur dan meminta manusia untuk merenungkan segala fenomena alam dan meyakini Sang Pencipta alam semesta (hlm. 41).

Kedua, ayat-ayat yang memiliki suasana naratif seperti halnya ayat-ayat yang mengisahkan para nabi, raja, dan kaum-kaum sebelumnya yang telah binasa. Ayat-ayat ini, terang Tarif, dituturkan seolah telah dikenal baik dan akrab di telinga pendengarnya. Dan apa yang ditekankan dari ayat-ayat tersebut adalah pesan moral, bukan kisah itu sendiri (hlm. 42). Kita bisa simak ayat naratif ini dalam al-Qasas [28]: 76,

اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْ ۖوَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ

Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”

Ketiga, ayat-ayat yang memiliki suasana hukum (legal) atau homiletika. Ayat ini bicara pada kaum beriman dan tak beriman, kelompok masyarakat tertentu dan umum. Ayat-ayat ini kelak menjadi sumber hukum Islam tentang halal-haram (baca: fikih).

Keempat, ayat-ayat yang menggambarkan suasana komunikatif atau dialogis dalam al-Quran. Tarif menyebutnya suasana situatif (hlm. 42-43). Kita membaca suasana dialogis ini dalam al-Furqan [25]: 32,

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

Orang-orang yang kufur berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Nabi Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar).

Jika kita mengamini empat konsep yang digagas Tarif di atas, kita akan dapat memahami citra Nabi Muhammad yang dilukiskan al-Quran yang akan kita simak dalam artikel selanjutnya.

Baca juga: Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui

Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam

0
Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam
Tazkiyah

Sejatinya hakikat pendidikan Islam adalah proses menyucikan diri manusia untuk kembali kepada fitrahnya. Proses ini kita kenal dengan tazkiyatun nafs.

Kata tazkiyah sering kali “terabaikan” ketika mendefinisikan pendidikan Islam. Sebagaimana penjelasan pada artikel sebelumnya, kata yang sering digunakan dan dirujuk dalam pendidikan Islam adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Namun demikian, ketiga term tersebut hakikatnya menuju pada tazkiyatun nafs. Oleh karenanya, artikel ini akan menilik bagaimana makna tazkiyah dalam pendidikan Islam.

Pengertian Tazkiyah

Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan, kata tazkiyah berasal dari zakka-yuzakki-tazkiyatan, yang berarti menyucikan. Dalam gramatika bahasa Arab, kata tazkiyah adalah bentuk fi’il tsulasi mujarrad dari kata zaka-yazku-zakaan.

Dalam Kamus al-Munjid, kata tazkiyah diidentikkan dengan kata zakat,

الزكاة ما تقدمه من مالك لتطهره به أى الصدقة، الطهارة: صفوة الشئ

“Zakat artinya mengeluarkan hartamu untuk membersihkannya atau bersedekah. Zakat juga disebut dengan membersihkan sesuatu”.

Di samping lafadz tazkiyah dan zakah, ada juga lafadz-lafadz yang semakna dengannya semisal thahara, dan sabaha. Lebih jauh, kata tazkiyah, sebagaimana dikemukakan Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus al-Munawwir, mengandung makna al-nama’ (tumbuh) dan al-ziyadah (bertambah) seperti yang dijelaskan Inayatul Mas’adah dalam Konsep Tazkiyah dalam Al-Quran.

Lafal ini juga bisa bermakna al-thaharah (suci), al-barakah (berkah), dan al-madh (pujian). Namun dari sekian penjelasan para ulama, kata tazkiyah lebih banyak merujuk pada makna thaharah (bersuci).

Selain itu, kata tazkiyah juga, demikian kata Sugiyono dalam Lisan dan Kalam: Kajian Semantik Al-Quran, tidak hanya mengandung makna denotasi (makna dasar), melainkan juga makna konotasi (makna relasi) yang berkaitan dengan proses penyucian diri manusia (tazkiyatun nafs). Jadi, makna tazkiyah, seperti yang disampaikan Mutawalli al-Sya’rawi dalam Tafsir al-Sya’rawi, adalah upaya untuk membersihkan diri atau jiwa manusia dari hal-hal yang dapat mengotori hati seperti kefasikan dan menyekutukan Allah, yang dilakukan secara terus-menerus.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

Terminologi Tazkiyah dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran, kata tazkiyah dan berbagai bentuk derivasinya, baik dalam bentuk isim maupun fi’il, disebutkan sebanyak 59 kali dalam 29 surah. Adapun dalam bentuk kata zakah, hanya terdapat pada dua ayat yang dimaknai dengan makna tazkiyah, yaitu Q.S. al-Kahfi [18}: 81 dan Q.S. Maryam [19]: 31.

Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab, seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan menjelaskan, kata tazkiyah berasal dari kata zakah yang bermakna tumbuh dan berkembang berdasarkan berkah dari Allah.

Makna tersebut dapat digunakan dalam konteks duniawi maupun ukhrawi sebagaimana difirmankan oleh-Nya dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 43,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43).

Masih menurut Ahmad Munir, kata tazkiyah yang berubah menjadi zakah yang dikaitkan dengan nafs terulang sebanyak 26 kali, di mana 24 kali dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan 2 kali dalam bentuk masdar yang dinisbahkan kepada manusia. Hal ini termaktub dalam Q.S. al-A’la [87]: 14,

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ

Sungguh, beruntung orang yang menyucikan diri (dari kekafiran). (Q.S. al-A’la [87]: 14).

Selain itu, kata tazkiyah juga dinisbahkan kepada Allah, yaitu dalam Q.S. al-Nisa [4]: 49,

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 49).

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 42: Meneladani Kebersihan dan Kesucian Diri Siti Maryam

Kata tazkiyah juga dinisbatkan kepada Nabi, sebab ia menjadi wasilah (perantara) untuk memperoleh kesucian diri atau jiwa sebagaimana termaklumatkan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 103,

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103).

Dan terkadang juga disematkan kepada peribadatan sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Maryam [19]: 13,

وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗوَكَانَ تَقِيًّا ۙ

(Kami anugerahkan juga kepadanya) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dia pun adalah seorang yang bertakwa. (Q.S. Maryam [19]: 13).

Proses penyucian diri (tazkiyatun nafs) seseorang tidak didapat dari hanya proses belajar secara kasat mata, melainkan melalui bimbingan ilahi sebagaimana yang dialami oleh para nabi dan rasul. Dalam konteks pendidikan Islam, tazkiyah menjadi ruh dalam proses belajar mengajar, sebab hakikat pendidikan Islam adalah proses penyucian jiwa manusia untuk kembali kepada fitrahnya.

Artinya, serangkaian proses pendidikan dan aktivitas belajar mengajar harus diarahkan untuk mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin. Penyucian ini dimulai dari hal-hal yang kecil seperti menanggalkan sifat-sifat buruk atau dalam bahasa tasawuf disebut takhalli (penyucian diri dari sifat-sifat yang buruk) kemudian menuju tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji), yang puncaknya adalah tajalli (mengalami kenyataan ketuhanan/sampai kepada Allah swt). Wallahu A’lam.

Baca juga: Tuntunan Membersihkan Mulut Sebelum Membaca Al-Qur’an Berdasarkan Kitab At-Tibyan

Retorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta

0
Retorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta
Ilustrasi berhala kaum Nabi Ibrahim

Terdapat sebuah relasi implikatif antara Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal ini terlihat misalnya pada salah satu implementasi dari fungsi Al-Qur’an sebagai al-huda (petunjuk). Sudah semestinya, suatu petunjuk adalah berupa hal yang dapat dipahami oleh audiens. Demikian juga Al-Qur’an yang turun dalam konteks sosial bangsa Arab yang sarat akan kemapanan sastra. Maka tak heran jika Al-Qur’an juga memuat sastra yang beberapa langkah jauh lebih maju dari yang telah ada.

Kehebatan Al-Qur’an dalam menyampaikan kisah-kisah tak lepas dari aspek gaya bahasa yang memiliki sirr (rahasia) makna tersendiri. Misalnya pada kisah Nabi Ibrahim a.s. tentang penolakan terhadap ajakan kaumnya untuk merayakan hari besar mereka (QS. Ash-Shaffat [37]: 83-90). Selain itu, juga kisah tentang pengelakan atas tuduhan penghancuran berhala (QS. Al-Anbiya’ [21]: 51-70). Dari kedua kisah ini, muncul persoalan tentang perkataan Nabi Ibrahim yang tak sesuai dengan realita yang ada. Suatu riwayat dari Abu Hurairah menyatakan;

لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَّا ثَلَاثَ كَذَبَاتٍ ثِنْتَيْنِ مِنْهُنَّ فِي ذَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوْلُهُ { إِنِّي سَقِيمٌ } وَقَوْلُهُ { بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا } وَقَالَ بَيْنَا هُوَ ذَاتَ يَوْمٍ وَسَارَةُ إِذْ أَتَى عَلَى جَبَّارٍ مِنْ الْجَبَابِرَةِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ هَا هُنَا رَجُلًا مَعَهُ امْرَأَةٌ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَ أُخْتِي فَأَتَتْ سَارَةُ قَالَ يَا سَارَةُ لَيْسَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مُؤْمِنٌ غَيْرِي وَغَيْرَكِ وَإِنَّ هَذَا سَأَلَنِي فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّكِ أُخْتِي فَلَا تُكَذِّبِينِي

“Nabi Ibrahim a.s. tidak pernah berbohong kecuali tiga kali. Dua di antaranya adalah dalam masalah dzat Allah ‘azza wajalla, yaitu ucapannya “inni saqiim (sesungguhnya aku ini sedang sakit) dan “bal fa’alahu kabiiruhum haadzaa” (akan tetapi patung yang besar inilah yang melakukannya). Beliau bersabda: “Dan ketika pada suatu hari dia sedang bersama dengan Sarah, istrinya, saat beliau datang kepada seorang raja yang zhalim. Lalu raja tersebut diberi informasi bahwa akan ada seorang laki-laki bersama seorang wanita yang paling cantik. Maka diutuslah seseorang menemui Ibrahim, lalu utusan itu bertanya kepadanya; “Siapakah wanita ini?”. Ibrahim menjawab; “Dia saudara perempuanku”. Lalu Sarah datang, maka Ibrahim berkata: “Wahai Sarah, tidak ada orang beriman di muka bumi ini kecuali aku dan kamu dan orang ini bertanya kepadaku lalu aku beritahu bahwa kamu adalah saudara perempuanku maka janganlah kamu mendustakan aku”. (HR. Bukhari).

Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Lantas, bagaimana bisa Sang Kekasih Allah (khalilullah) dikatakan telah berdusta?

Terlalu dini rasanya untuk menyimpulkan demikian. Pasalnya, menjustifikasi Nabi Ibrahim a.s. telah berdusta berarti menciderai ke-ishmah-annya (keterjagaan para nabi dari berbuat dosa). Terlebih di antara sifat wajib nabi/rasul adalah shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya). Namun sifat fathanah (cerdas) juga tak terlupa. Perkataan Nabi Ibrahim a.s. yang tak sesuai realita tak lain adalah sebuah siasat cerdas menghindari dusta, demi tujuan mulia, menyeru meng-Esa-an Allah.

Bagaimana dengan redaksi kadzib dalam hadis di atas?

Ibnu ‘Athiyyah (w. 546 H.) ketika menafsirkan QS. Al-Shaffat[37]: 89 dalam al-Muharrar al-Wajiz mencoba mengklarifikasi kata kadzib dalam hadis ini. Bahwa redaksi kadzib dalam hadis dimaknai dengan kebohongan dalam perspektif lawan bicara. Perkataan “Saya sakit” dalam QS. Al-Shaffat [37]: 89 misalnya. Para mufassir saling berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Namun mayoritas sepakat bahwa Nabi Ibrahim a.s. tidak berdusta, hanya menerapkan seni berbahasa.

Hal demikian ternyata dapat dibenarkan dalam sudut pandang sastra. Menurut Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, uslub ini dalam ilmu balaghah biasa disebut dengan fann al-tauriyah dan fann al-ta’ridh.

Tauriyah berarti menyebut suatu kata yang memiliki dua makna, yaitu makna dekat dan jelas serta makna jauh dan samar. Makna jauh inilah yang dikehendaki oleh pembicara. Sedangkan ta’ridh (sindiran) berarti ucapan yang disampaikan dan dimaksudkan untuk menunjukkan suatu makna lain yang dipahami dari konteks kalimatnya.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Siasat serupa dalam kisah Imam Syafi’i

Siasat serupa juga pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i saat terjadi mihnah khalq al-Qur’an (perselisihan tentang isu penciptaan Al-Qur’an) pada sekitar tahun 833-849 M. Pemerintahan Abbasiyyah kala itu dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun dengan dominasi teologi Mu’tazilah yang sangat teguh menilai Al-Qur’an sebagai makhluk (bukan qadiim).

Konon, suatu hari sang khalifah hendak menguji akidah para tokoh-tokoh Islam. Mereka yang sepaham dengan Mu’tazilah akan aman. Sebaliknya, siapa yang menentang akan menerima siksaan dan hukuman berat. Imam Syafi’i menghadapi ujian tersebut dengan menjawab;

“Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Keempat ini adalah makhluk” (sambil mengiringi perkataannya dengan mengangkat keempat jarinya).

Artinya, pengakuan makhluk yang dimaksud ditujukan pada keempat jari Imam Syafi’i sendiri, bukan pada keempat kitab. Hal ini yang menjadikan beliau selamat dari fitnah mihnah. Berbeda dengan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal -tanpa mengurangi rasa hormat- yang menjawab dengan tanpa sentuhan retorika (balaghah), sehingga bernasib berbeda. Dalam hal ini, pemahaman terhadap penggunaan makna haqiqi (hakikat) dan majazi (kiasan) adalah kunci.

Konsep makna hakiki dan majazi lazim ditemui dalam syair-syair berbahasa Arab. Dalam Al-Qur’an, konsep ini justru menjadi satu dari beragam sisi kemukjizatannya. Keberadaan makna majazi telah membuka peluang bagi para mufassir dalam mewarnai khazanah penafsiran. Lebih jauh tentang pandangan para mufasir dalam memaknai perkataan retorik Nabi Ibrahim a.s., insyaallah akan penulis sambung pada tulisan berikutnya. wa al-shawaab lillah.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Perbandingan Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Aplikasi Qur’an Kemenag

0
Aplikasi Qur'an
User Interface pada Aplikasi Qur'an Kemenag

Seperti yang telah penulis kemukakan pada tulisan yang lalu (baca selengkapnya: Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (Part 2)), bahwa temuan perbedaan pembubuhan tanda waqaf hanya penulis dasarkan pada mushaf-mushaf cetak non-Kemenag dan aplikasi Qur’an Kemenag, tanpa merujuk pada mushaf cetak Kemenag, baik tahun 1986 atau pun 2012.

Karena tidak melakukan rujukan pada mushaf cetak ini, penulis juga memberikan catatan bahwa ada kemungkinan ditemukannya perbedaan antara Al-Qur’an Kemenag versi cetak dengan versi aplikasi. Nah, beberapa waktu yang lalu penulis mendapatkan kiriman capture gambar mushaf cetak Kemenag tahun 1986 dan 2011, yang setelah penulis bandingkan dengan versi aplikasinya memang memiliki beberapa perbedaan.

Dalam tulisan kali ini, ijinkan penulis bagikan hasil tangkapan perbedaan yang telah penulis kompilasi dan klasifikasi dalam beberapa aspek: kaligrafi, rasm ‘utsmaniy, dan tanda waqaf. Temuan perbedaan ini hanya penulis dasarkan pada research singkat dan terbatas pada objek yang sama pada tulisan sebelumnya, yakni halaman mushaf yang berisi Surah Ali Imron ayat 3-11.

Oleh karenanya, hasil temuan penulis ini boleh jadi belum merepresentasikan keseluruhan perbedaan mushaf cetak Kemenag dengan versi aplikasinya. Sehingga pintu penelitian masih terbuka lebar bagi pembaca sekalian yang memiliki minat kajian terhadap dunia permushafan Indonesia. Okay, tanpa berpanjang lebar langsung kita simak saja ulasannya.

Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama

Objek perbandingan dalam tulisan kali ini adalah mushaf-mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama versi cetak dan aplikasi. Versi cetak yang penulis rujuk adalah cetakan tahun 1985/1986 dengan sampul luar berwarna biru, cetakan tahun 2011 dengan sampul berwarna hijau, dan cetakan tahun 2016. Sedangkan untuk versi aplikasi menggunakan Qur’an Kemenag.

Data sementara yang penulis miliki, menunjukkan bahwa mushaf Kemenag cetakan 2011 dan 2016 merupakan remake atau barangkali penyempurnaan (?) dari edisi 2002 (edisi kedua). Mushaf edisi 2002 sendiri merupakan pembaharuan dari mushaf edisi pertama tahun 1983 yang kemudian mengalami penyempurnaan pada dua cetakan berikutnya, yakni 1984/1985 dan 1985/1986.

Perbandingan antara kedua mushaf edisi ini (edisi 1983 dan 2002) dapat pembaca rujuk selengkapnya pada kajian Zainal Arifin Madzkur berjudul Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia: Studi Komparatif atas Mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002. Diantara perubahan dan penyempurnaan yang diulas oleh Arifin adalah bentuk kaligrafi yang menjadi lebih gemuk, penyederhanaan tanda waqaf, dan pembenahan rasm ‘utsmaniy.

Sementara versi aplikasi yang penulis gunakan adalah versi 2.0.0 beta 4 dengan format android, sebagaimana tertera dalam deskripsi singkat aplikasi. Deskripsi ini juga menyebutkan bahwa ayat Al-Qur’an yang tertulis menggunakan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia Rasm Usmani. Artinya bukan Mushaf Al-Qur’an Standar Bahriyah atau bahkan Mushaf Al-Qur’an Standar Braille.

Perbandingan Mushaf Cetak dan Aplikasi Qur’an Kemenag

Seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa aspek perbandingan yang ingin penulis bicarakan mencakup 3 aspek: kaligrafi, rasm ‘utsmaniy, dan tanda waqaf. Kaligrafi dalam aplikasi Qur’an Kemenag mengalami perubahan dari mushaf cetak edisi kedua. Deskripsi singkat aplikasi menyebutkan bahwa kaligrafi (font) yang digunakan adalah Isep Misbah. Font ini berasal dari tulisan tangan kaligrafer bernama Isep Misbah yang mengalami penyesuaian dan penambahan karakter, yang karenanya dinamakan dengan Isep Misbah.

Bentuk kaligrafi aplikasi Qur’an ini mengalami perampingan dari mushaf cetak edisi kedua (2002) yang agak gemuk dan tebal, mirip dengan mushaf Bombay. Sebelumnya, mushaf cetak edisi kedua ini juga mengalami perubahan dengan penggemukan anatomi huruf dari mushaf cetak edisi pertama (1983) yang cenderung ramping.

Perubahan bentuk kaligrafi, terutama dari segi kerampingan tubuh huruf, dari yang semula ramping (mushaf 1983), menjadi gemuk (mushaf 2002), dan kembali menjadi ramping (mushaf aplikasi) agaknya terpengaruh oleh gaya penulisan modern yang cenderung ramping. Gaya penulisan modern ini barangkali dipengaruhi oleh dominasi dan hegemoni mushaf Madinah cetakan Mujamma‘ Malik Fahd yang menggunakan kaligrafi Uthman Taha yang ramping dan menimbulkan kesan elegan.

Sedangkan dari aspek rasm ‘utsmaniy, terlihat bahwa mushaf versi aplikasi telah mengalami sedikit penyempurnaan dari versi cetak baik edisi pertama (1983) maupun edisi kedua (2002). Hal ini penulis temukan pada penulisan kata والراسخون yang tidak lagi menggunakan alif madd setelah huruf ra’ dan digantikan dengan fatah berdiri.

Hal ini sesuai dengan kaidah penulisan rasm ‘utsmaniy yang menyebutkan bahwa penulisan kata yang mengikuti bentuk jama‘ mudzakar salim ditulis dengan menggunakan tanpa alif, seperti halnya pada jama‘ mu’annats salim yang ditulis dengan tanpa alif jama‘. Hanya saja, penulisan jama‘ mu’annats sudah dilakukan tanpa alif sejak mushaf cetak edisi pertama (1983).

Namun demikian, penulis tidak mengetahui sejauh mana konsistensi pembaharuan rasm ini. Apakah berlaku pada setiap penulisan jama‘ mudzakar salim yang lain atau tidak. Tetapi jika melihat kasus jama‘ mu’annats, pembaharuan ini boleh jadi berlaku secara konsisten. Selain itu, penulis juga tidak mengetahui perluasan penerapan kaidah rasm pada kaidah yang lain mengingat keterbatasan data yang penulis miliki.

Adapun aspek yang terakhir, yakni tanda waqaf, penulis tidak mendapati banyak perubahan. Namun secara umum ada beberapa pengurangan tanda waqaf pada mushaf versi aplikasi. Hal ini sebagaimana telah dibicarakan pada tulisan yang lalu, yakni waqaf lazim (mim) sebelum kata wa al-rasikhun. Namun pengurangan tanda ini agaknya memiliki implikasi yang cukup berarti pada sisi pemaknaan dan pemahaman, sebagaimana juga telah dibicarakan pada tulisan yang lalu.

Kesimpulan

Dari pemaparan perbandingan di atas dapat diketahui bahwa secara umum aplikasi Qur’an Kemenag mengalami perubahan yang positif dari mushaf versi cetak sebelumnya. Hal ini terlihat dari penempatan tanda waqaf yang lebih tepat dan penyempurnaan kaidah rasm ‘utsmaniy dalam beberapa penulisan. Selain itu, model kaligrafi yang lebih slim dan elegan juga sesuai dengan keinginan pasar pembaca mushaf modern saat ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Mengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

0
Pendidikan Islam
Makna Ta'dib sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Pada dua artikel sebelumnya telah dijelaskan pengertian tarbiyah dan ta’lim, maka pada pembahasan kali ini akan diulas istilah ta’dib dalam pendidikan Islam. Jika kedua kata di awal mengandaikan satu proses pendidikan, kepengasuhan, dan kegiatan belajar mengajar, maka kata ta’dib lebih menitikberatkan pada aspek adab, sopan santun atau tata krama. Menurut Syed Naquib al-Attas, kata ta’dib lebih tepat digunakan dalam pendidikan Islam daripada istilah tarbiyah.

Pengertian Ta’dib

Secara literal, ta’dib berasal dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, sebagaimana dikemukakan Atiyah al-Abrashi dalam Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, yang berkonotasi pada pembimbingan peserta didik oleh seorang pendidik, terutama akhlakul karimah. Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab seperti yang dikutip Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam, ta’dib merujuk pada pendidikan adab atau sopan santun. Arti dasar ta’dib, menurut Ibn Mandzur, yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”.

Makna “perjamuan” menyiratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang mulia dan tentu banyak sekali orang yang hadir di dalam acara tersebut. Mereka yang hadir, demikian kata Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education, adalah orang-orang yang berkedudukan mulia, terhormat, berpendidikan tinggi sehingga diharapkan dapat berperilaku, bersikap yang baik lagi sopan maupun bertutur kata yang baik (qaulan kariman).

Pengertian yang disuguhkan Al-Attas merujuk pada hadits Nabi saw dalam Syarah Sunan al-Darimi (Fathul Mannan),

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدِ بْنِ حَازِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبُو سِنَانٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللَّهِ فَخُذُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنِّي لَا أَعْلَمُ شَيْئًا أَصْفَرَ مِنْ خَيْرٍ مِنْ بَيْتٍ لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ وَإِنَّ الْقَلْبَ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ خَرِبٌ كَخَرَابِ الْبَيْتِ الَّذِي لَا سَاكِنَ لَهُ

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Khalid bin Hazim telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Abu Sinan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah ia berkata, “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu kalian. Sungguh, aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih kosong dari kebaikan selain rumah yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an. Sungguh, hati yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tidak berpenghuni.” (H.R. al-Darimi nomor 3173).

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda, “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik). Di dalam hadits tersebut, kata ta’dib secara eksplisit diartikan dengan pendidikan, dari kata addaba yang berarti mendidik dengan adab. Term ini, menurut al-Zajjaj sebagaimana dikutip Ibn Mandzur, dimaknai sebagai cara Tuhan mendidik Nabi-Nya, yang sudah barang tentu mengandung konsepsi pendidikan yang sempurna.

Lebih jauh, Ibn Mandzur seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan, ta’dib juga dapat dimaknai dengan doa. Sebab doa mampu membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan menghindarikan dari hal-hal yang tidak terpuji. Bahkan, cendekiawan Muslim Indonesia, al-Attas meneguhkan kata ta’dib untuk menggambarkan pendidikan Islam ketimbang tarbiyah.

Meskipun kata adab tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, namun ditemukan pujian yang terkait dengan akhlak Nabi saw sebagaiamana yang terekam dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4,

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti luhur”. (Q.S. al-Qalamm [68]: 4).

Ayat di atas khususnya diksi la’ala (berada di atas) menunjukkan betapa adab (budi pekerti) Nabi saw melampaui batas budi pekerti manusia pada umumnya sehingga Allah swt begitu “takjub dan terkesima” dengan akhlak Rasul saw yang terlampau luhur dan mulia.

Ta’dib sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education menawarkan sekaligus mengampanyekan agar pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada konsep ta’dib. Artinya, pemaduan dan pengembangan antara ta’lim dengan tarbiyah harus dalam konteks ta’dib. Jangan sampai pendidikan Islam tercerabut dari akhlakul karimah.

Menurut al-Attas, ia memandang bahwa ta’dib lebih “pas” untuk menerjemahkan pendidikan Islam dikarenakan struktur term ta’dib sudah mencakup fitur-fitur ‘ilm (ilmu), ta’lim (pembelajaran), dan tarbiyah (pembinaan dan pendidikan). Dalam konteks demikian, pendidikan Islam menurut al-Attas adalah proses penanaman adab ke dalam diri manusia yang dilakukan sejak usia dini hingga dewasa. Proses ini dilakukan secara berkelanjutan dan dengan bimbingan guru yang memadai.

Jika ta’lim meniscayakan aktualisasi pemahaman siswa dengan mendemonstrasikan materi pelajaran secara beragam, maka ta’dib mensyaratkan ilmu pengetahuan dan bimbingan yang memadai serta metode yang benar. Pendek kata, muara daripada ta’lim dan tarbiyah adalah ta’dib. Ta’dib adalah sebuah proses pengenalan, pemahaman dan pembiasaan serta pengembangan karakter sehingga membentuk akhlakul karimah dan mendekati fitrahnya sebagai manusia yang selalu cenderung ingin berbuat kebaikan (al-insan ‘abdul ihsan).

Sebagai penutup, mengutip Masdar Hilmy dalam Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah, jika ta’lim berimplikasi pada makna pendidikan Islam yang “sempit” sebagai sekadar proses belajar mengajar, maka tarbiyah dan ta’dib berimplikasi pada pemaknaan pendidikan Islam yang lebih ekstensif dan generik, yaitu sebagai sebuah proses belajar-mengajar yang tidak dibatas oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Konten dan metode pembelajaran tarbiyah dan terutama ta’dib lebih bersifat cair (fluid), fleksibel, pembiasaan, dan serba mencakup (all-encompassing). Wallahu A’lam.

Berikut 3 Tips Al-Quran Untuk Merespon Perkataan yang Buruk

0
merespon perkataan yang buruk
merespon perkataan yang buruk

Seringkali komunikasi yang tidak sehat terjadi di sekitar kita, bahkan kepada diri kita sendiri. Satu dari pola komunikasi yang tidak sehat adalah perkataan buruk. Perkataan yang buruk dapat berupa sindiran, ejekan, kata-kata kasar, ujaran kebencian bahkan perundungan.

Komunikasi yang tidak sehat ini dapat terjadi di dua dimensi kehidupan; kehidupan sosial nyata dan kehidupan media sosial. Betapapun, komunikasi yang tidak sehat lebih sering terjadi di media sosial, namun pencegahan komunikasi yang beracun (toxic-communication) di dua dimensi ini menjadi penting.

Untuk mencegah dan menjawab komunikasi yang buruk diperlukan serangkaian aturan dan akhlak yang menjadi prinsip seorang manusia yang beriman. Untuk itu, Al-Quran menjadi rujukan yang sempurna untuk memberikan tips cara menjawab ujaran-ujaran buruk yang ditujukan kepada kita.

Tulisan ini akan menguraikan tiga ayat penting yang dapat dijadikan pedoman dan tips dalam merespon perkataan yang buruk. Melalui ayat ini nantinya akan menggeser komunikasi yang buruk menjadi komunikasi yang baik, bahkan komunikasi yang bernilai Qur’ani.

Baca Juga: Religious Hate Speech dan Perlunya Model Dakwah Qaulan Layyina Nabi Musa

Surah Al-Furqan Ayat 63:

وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.”

Berkaitan dengan ayat yang pertama ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu adalah mereka yang mempunyai dua ciri utama. Pertama, bersikap rendah hati di dunia ini. Apabila berjalan di muka bumi, mereka selalu berjalan dengan tenang. Demikian pula dalam segala amal perbuatan. Kedua, Jika mereka dicaci oleh orang-orang musyrik yang jahil, mereka membiarkannya dan mengatakan kepada mereka, “Kami tidak ada urusan dengan kalian, bahkan kami berdoa untuk keselamatan kalian.” (Tafsir al-Misbāh)

Adapun Tafsir Jalalayn senada dengan Tafsir Al-Misbah, bahwa (yaitu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati) dengan tenang dan rendah diri (dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka) mengajak mereka berbicara mengenai hal-hal yang tidak disukainya (mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan) perkataan yang menghindarkan diri mereka dari dosa. (Tafsir Jalalayn)

Melalui ayat dan penafsiran di atas, ayat ini menganjurkan untuk melakukan komunikasi dengan penuh sopan santun dan rendah hati. Kemudian, jika ada ujaran kebencian dan ejekan yang dilontarkan kepada kita, hendaknya kita membiarkannya. Lebih dari itu, ayat ini meminta kita untuk mendoakan keselamatan mereka yang telah menghina kita.

Baca Juga: Dampak Hate Speech dalam Perspektif Surat al-Hujurat Ayat 12

Surah Al-A’raf Ayat 199:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”

Adapun ayat kedua, Ibn Kathir dalam tafsirnya menjelaskan dengan menukil hadith dari Rasulullah Saw. Beliau bersabda dengan bertanya kepada Jibril, “Ayat tentang apa ini wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk memaafkan mereka yang menzalimimu, memberi mereka yang tidak memberimu dan menyambung silaturahmi dengan mereka yang memutus hubungan denganmu.” (Tafsir Ibn Kathīr)

Sementara Tafsir As-Sa’di mengkategorikan ayat ini sebagai ayat yang memuat prinsip akhlak mulia kepada sesama manusia. Di dalamnya diajarkan cara berinteraksi (mu’āmalah) dan berkomunikasi dengan manusia. Di antaranya adalah saling memaafkan dan saling mengingatkan untuk melakukan kebaikan. Dan yang terpenting adalah tidak menghiraukan mereka yang melontarkan ejekan dan hinaan layaknya orang bodoh. (Tafsir As-Sa’dī)

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ 148-149: Allah Tidak Menyukai Perkataan Buruk

Surah Al-Qashash ayat 55:

وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ وَقَالُوا لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ لَا نَبْتَغِي الْجَاهِلِينَ

Artinya: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.”

Ayat Ketiga memiliki kesamaan kandungan dengan ayat-ayat sebelumnya. Yang menarik, Thaba’thaba’i menguraikan ayat ini dengan menyatakan sikap yang tegas. Bahwa segala perkataan buruk dan tidak berfaedah sudah sepantasnya tidak perlu dipedulikan sama sekali. Kemudian, jawaban terbaik adalah menentukan posisi bahwa kita tidak layak bergaul dengan mereka, namun tetap dengan bahasa yang sopan dan baik. (Tafsir al-Mīzān)

Melalui tiga ayat berserta penafsirannya, ada beberapa tips penting dalam berkomunikasi dan merespon perkataan yang buruk. Pertama, pola komunikasi kita harus selalu mengutamakan akhlak dan sopan santun. Ini menjadi penting diterapkan kepada siapa kita berbicara, baik di dunia nyata maupun di media sosial.

Kedua, jika ada ketersinggungan dalam berkomunikasi, sikap saling memaafkan menjadi hal yang utama untuk dilakukan. Karena, dengan perbedaan karakter dan situasi, perselisihan dalam komunikasi menjadi sulit untuk dihindarkan.

Ketiga, perkataan yang buruk dalam beragam bentuknya layaknya untuk tidak diperdulikan sama sekali. Artinya kita mencoba bersikap “bodo amat” terhadap ujaran-ujaran yang memberikan efek negatif kepada kita. Namun, yang menarik, Al-Qur’an menganjurkan kita untuk mendoakan keselamatan bagi mereka yang sudah menghina kita.

Dengan demikian, tiga ayat ini memberi kita tips dalam berkomunikasi, khususnya dalam menjawab ujaran-ujaran buruk yang dilontarkan kepada kita. Tiga pelajaran penting ini dapat menjadi prinsip dalam berkomunikasi, baik di media sosial maupun kehidupan nyata. Semoga bermanfaat. Wallahu’alam bishawab.

Mengenal Sosok Habib Al-Mawardi dan Tafsir An-Nukat wa Al-‘Uyun

0
Tafsir An-Nukat wa Al-‘Uyun
Tafsir An-Nukat wa Al-‘Uyun

Al-Mawardi atau Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri merupakan pengarang kitab tafsir an-Nukat wa al-‘uyun . Beliau lahir di Bashrah tahun 364 H/975 M dan wafat pada 30 Rabiul Awwal 450 H/ 27 Juni 1058 M di Baghdad. Usia beliau mencapai 86 tahun. Damlam muqaddimah An-Nukat wa Al-‘Uyun dijelaskan bahwasanya Panggilan al-Mawardi merupakan nisbat kepada ma‘ al-ward (ma‘: air; al-ward: mawar) yaitu sebutan untuk profesi keluarga al-Mawardi sebagai pembuat dan penjual air bunga. Al-Mawardi ini merupakan gelar yang diberikan kepadanya karena kepiawaiannya dalam berorasi, berargumen, berdebat dan ketajaman analisisnya (Rashda Diana: Jurnal Tsaqafah). Kemudian kata al-Bashri merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu Bashrah.

Pendidikan pertama Al-Mawardi bermula di kota Bashrah yang terkenal sebagai salah satu pusat studi dan ilmu pengetahuan Islam. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas al-Za’farani di Baghdad. Beliau mempelajari berbagai bidang keilmuan, seperti hukum madzhab Syafi’i, hadist, fiqh, politik, filsafat, etika, tata bahasa, dan sastra Arab. Di antara guru beliau adalah Abu al-Qasim ‘Abdul Wahid al- Shaimari, ‘Abdullah al-Bafi dan Syaikh Abdul hamid al- Isfirayani.

Baca juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

Karya tulis al- Mawardi terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu. Di antaranya yaitu persoalan keagamaan, politik, sosial, etika, dan bahasa. Karya beliau mengenai persoalan keagamaan yaitu Al- Nukat wa Al- ‘Uyun, Al- Hawii Al-Kabir, Al- Iqna‘, A’lam Al- Nubuwwah dan Kitab Fi Al- Buyu‘.

Adapun karya beliau tentang pemikiran sosial-politik yaitu Al-Ahkam Al- Sulthaniyah wa Al- Wilayat Al- Diniyyah, Nasihat Al-Muluk, Tashil Al- Nazar wa Ta‘jil Al- Zafar dan Qawanin Al-Wizarah wa Siyasat Al- Mulk. Sedangkan dalam bidang bahasa dan sastra Arab yaitu Kitab Fi Al- Nahw, Al-Amtsal wa Al- Hikam dan Adab Al-Dunya wa Al- Din.

Tehnik Penafsiran Al- Mawardi dalam Tafsir An-Nukat wa Al-‘Uyun

Tafsir al-Mawardi ini ditulis berdasarkan tartib mushafi (dimulai dari surah Al-Fatihah sampai An-Nas). Sebelum memulai menafsirkan, Al-Mawardi menuliskan pasal-pasal yang menjelaskan nama-nama Al-Qur’an. Setiap awal surat beliau menuliskan kategori Makiyah dan Madaniyahnya serta perbedaan pendapat yang menyertainya. Kemudian beliau menjelaskan riwayat mengenai ayat yang akan ditafsirkan serta menjelaskan makna kosa kata ayat dari aspek perincian kata, syair-syair arab dan pendapat para ulama’.

Untuk memperjelas bagaimana teknik penafsiran yang dilakukan oleh Al-Mawardi, mari kita tilik teknik penafsirannya dari kitab An-Nukat wa Al-‘Uyun dalam QS. Al-Fatihah. Dalam tafsir Al-Fatihah tersebut, Al-Mawardi memnberikan opening terlebih dahulu. Al-Mawardi menjelaskan bahwasanya Qatadah dan Mujahid memiliki perbedaan pendapat dalam menggolongkan QS. Al-Fatihah ini. Qatadah berpendapat bahwasanya surah Al-Fatihah termasuk golongan Makiyah, sedangkan Mujahid memasukkannya ke dalam golongan surah Madaniyah. Dalam opening dari penafsiran QS. Al-Fatihah ini, Al-Mawardi juga menyertakan hadis tentang nama-nama lain dari QS. Al-Fatihah tersebut disertai dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama serta perkara yang mendasarinya.

Baca juga: Menelisik Makna Ta’lim dalam Pendidikan Islam

Dalam An-Nukat wa Al-‘Uyun dijelaskan bahwasanya QS. Al-Fatihah memiliki tiga nama, yaitu Fatihatul kitab, Ummul Qur’an dan Sab’ul Matsani. Dalam opening penafsiran QS. Al-Fatihah ini, Al-Mawardi menjelaskan secara detail mengenai alasan-alasan penamaannya yang didukung dengan riwayat dan syair-syair. Setelah dijelaskan sekitar dua lembar panjangnya, Al-Mawardi memasuki penafsiran QS. Al-Fatihah yang dimulai dari basmalah. Ada sekitar tujuh lembar penafsiran mengenai basmalah yang ditulis oleh Al-Mawardi dalam kitab tafsir ini (Al-Mawardi: An-Nukat wa Al-‘Uyun, Al-Juz Al-Awwal)

Kitab tafsir yang terkenal dengan sebutan “Tafsir Al-Mawardi” ini menggunakan metode tahlili (analitis). Karena di dalam kitab tasirnya, Al-Mawardi menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari aspek bahasa, asabun nuzul, kategori makiyyah-madaniyyah dan lain sebagainya. Kitab Tafsir Al-Mawardi ini berisikan lengkap 30 juz dan dicetak dalam 6 jilid. Perinciannya yaitu jilid 1 berisi QS. Al-Fatihah–QS. An-Nisa’ dengan jumlah halaman sebanyak 548 halaman, jilid 2 berisi QS. Al-Maidah–QS. Huud sebanyak 512 halaman, jilid 3 berisi QS. Yusuf –QS. Al-Anbiya’ sebanyak 477 halaman, jilid 4 berisi QS. Al-Hajj–QS. Al- Fathir sebanyak 480 halaman, jilid 5 berisi QS.Yasin–QS. Ash-Shaff sebanyak 531 halaman dan jilid terakhir berisi QS. Al-Jumu’ah–QS. An-Nas sebanyak 472 halaman (Darul kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon).

Kitab ini memiliki banyak keistimewaan. Di antaranya adalah dalam penafsirannya berisi banyak perkataan ulama, kaya akan analisis linguistik, mencakup qiraat-qiraat dan hukum-hukum fikih serta menjadikan tafsir Ath-Thabari sebagai salah satu sumbernya. Oleh sebab itu, tak heran apabila kitab tafsir Al-Mawardi ini dianggap sebagai kitab tafsir terlengkap setelah Tafsir Ath-Thabari.

Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

0
kisah Nabi Sulaiman dan ratu semut
kisah Nabi Sulaiman dan ratu semut

Toleransi adalah satu topik yang tidak pernah usang sampai kapan pun. Terlebih di era digital seperti sekarang, seakan tercipta ruang komunikasi tanpa sekat. Media sosial selain dapat memberikan kemanfaatan dalam perdamaian, idtak jarang juga menjadi sumber perpecahan dan keretakan bangsa.

Adanya keberagaman pada setiap manusia berfungsi untuk menutupi kekurangan dan melengkapi kelemahan sesamanya. Manusia yang terdiri dari beragam suku, bangsa, agama, dan perbedaan lainnya juga diamini dalam Al-Quran. Ayat yang sering dikutip dalam hal ini adalah surah Al-Hujurat ayat 13 yang menyatakan bahwa penciptaan manusia yang berbeda beda tersebut tidak lain adalah untuk saling mengenal.

Dalam ayat yang lain, Al-Quran mengamini tentang adanya perbedaan agama. Tentu bukan berarti semua agama benar, tetapi meunjukkan bukti bahwa di dunia perbedaan manusia akan selalu ada sekalipun dalam hal agama. Beragam kepercayaan manusia juga disebutkan dalam beberapa ayat seperti surah An-Nahl ayat 93, Al-Maidah ayat 48. Ayat tersebut menceritakan bahwa Allah telah menurunkan beberapa agama dan syariat sebelum Islam. Ayat berikutnya adalah Al-An’am ayat 107, secara khusus Allah menginformasikan kepada Nabi bahwa umpamanya Allah SWT berkehendak, semua penduduk musyrikin Makkah bisa saja menjadi beriman seluruhnya.

Di lain sisi, Islam merupakan ajaran rahmat. Segala ajaran di dalamnya memiliki substansi rahmat, yakni membawa kebaikan bagi umat manusia. Ayat tentang rahmat disebutkan dalam Al-Quran pada surah Al-Anbiya ayat 107. Pada ayat tersebut Allah berfirman bahwa apa yang diutuskan kepada Nabi Muhammad  tidak lain menjadi rahmat seluruh Alam.

Baca Juga: Al-Qur’an dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

Terkait toleransi, baik Al-Quran maupun hadis banyak memberikan contoh. Satu lagi kisah yang sangat terkenal adalah kisah nabi Sulaiman dan ratu semut beserta pasukannya yang diabadikan pada surah An-Naml ayat 18-19 sebagaimana berikut:

حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ  لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ(18)”فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصّٰلِحِيْنَ  (19)

“Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari. (18) Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (19)

Mengacu pada Tafsir Kemenag, (LPMQ Kemenag, 18–19) dijelaskan bahwa ayat ini berisi dialog antara pasukan semut dengan nabi Sulaiman. Ratu semut memerintahkan pasukannya untuk berlindung karena kedatangan Nabi Sulaiman dan pasukannya. Karena ukurannya yang kecil, semut menganggap Nabi Sulaiman tidak akan melihat mereka. Atas perkataan tersebut, Nabi Sulaiman tersenyum dan berdoa sebagaimana ayat di atas.

Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, (Al-Katsir 2004:206) mengutip hadis dalam Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad mengisahkan bahwa dahulu Allah pernah menegur seorang Nabi yang membakar sarang semut. Hal itu disebabkan karena ada seekor semut yang menggigit Nabi tersebut. Kala itu Allah menanyakan bahwa apakah hanya karena seekor semut saja, seorang nabi sampai menghabisi sarangnya.

Tafsir Al-Ibriz menambahkan, ketika ratu semut memerintahkan rakyatnya untuk berlindung, Nabi Sulaiman lantas menghampiri raja tersebut. Nabi Sulaiman bertanya “apa sebabnya kami memerintahkan rakyatmu untuk masuk ke sarang?”, “apakah kamu khawatir bila saya berbuat aniaya?”, “apakah kamu tidak mengetahui bahwa saya adalah nabi yang berbuat adil?” Ratu  semut lantas menjawab bahwa ia takut jika pasukan nabi sulaiman tidak melihat keberadaan pasukan semut karena ukurannya yang kecil.

Baca Juga: Belajar Servant Leadership dari Kisah Nabi Sulaiman dalam Al-Quran

Berdasarkan penjelasan beberapa mufasir di atas, kita dapat mengambil pemahaman bahwa Al-Quran memberikan contoh kebijaksanaan berbuat baik kepada siapa saja. Baik itu kepada sesame manusia maupun ciptaan Allah lainnya, binatang sekalipun. Nabi Sulaiman sekalipun memiliki status Nabi dan Raja, Ia tetap memiliki keadilan dan toleransi dalam bersikap terhadap semut, ia tidak berlaku semena-mena.

Toleransi mengajarkan untuk tidak membeda-bedakan status, bahkan manusia-binatang sekalipun. Jika pada hewan saja kita dicontohkan untuk bertoleransi, apalagi pada sesama manusia? Wallahu a’lam

Contoh Lafadz Muradif dalam Al-Qur’an

0
Contoh Lafadz Muradif
Contoh Lafadz Muradif

Redaksi atau lafad-lafad Al-Qur’an senantiasa terjaga sampai hari kiamat kelak, ia tidak perlu dikritisi, dalam arti tidak bisa diganti, direvisi dengan kata lain yang sama maknanya, apalagi dikurangi kosa katanya. Kita para pembaca dan penafsir ini hanya bisa menganalisa dan mecoba memahami makna dan maksud dari setiap lafad dalam Al-Quran. Misalnya saja pada kata yang memiliki lebih dari satu makna. Apalagi terkadang ditemukan satu lafaz terlihat sama dengan lafaz lain. Dan seakan juga tidak bermasalah bila mengganti lafaz itu dengan yang semakna. Hal ini bisa disebut dengan lafadz muradif. Berikut adalah kaidah muradif beserta contoh lafadz muradif dalam Al-Qur’an.

Kaidah muradif mengatakan:

“menempatkan dua lafaz muradif pada yang lain itu tidak bermasalah”

Kaidah ini juga didukung oleh Syekh Zakariyah al-Anshari dalam kitab Ghaya al-Ushul halaman 47, boleh-boleh saja menempatkan dua lafaz muradif pada tempat yang lain. Seperti dua lafaz al-insan dan al-basr.

Baca juga: Menelisik Makna Ta’lim dalam Pendidikan Islam

Lebih lanjut apabila dipahami dengan betul, lafaz yang sepintas muradif ternyata memilki konotasi makna yang berbeda. Masing-masing diantara lafaz itu punya tujuan makna yang ingin dicapai. Lafaz al-Insan tentu tidak sama dengan lafaz al-basr pada penunjukan maknanya. Insan menghendaki makna manusia dari aspek dia bisa bahagia dan selainnya. Sementara lafaz al-Basr menunjuk pada bagian yang tampak dari manusia yaitu Kulit. Sehingga keduanya menjadi penjelas satu sama lain pada setiap sifat yang ada pada manusia.

Banyak lafaz yang seakan serupa dalam Alquran. Dalam kitab al-Itqan fi Ulum Alquran, as-Suyuthi menjelaskan, diantaranya:

Al-Khauf dan Al-Khasya

 Dalam Al-Qur’an surah ar-Ra’du: 21, Allah berfirman:

            وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ

“dan orang-orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan,dan mereka takut kepada TuhanNya dan takut pada hisab yang buruk.”

Kata al-Khauf dan al-Khasya memang sama-sama bermakna takut. Namun takut yang dimaksud dari kedunya tentu berbeda. Al-Khauf bermakna suatu kekurangan akibat kelemahan dari ketakutan yang dialami, sekalipun yang ditakuti sebenarnya juga lemah. Namun takut disini tidak sampai secara total sehingga dapat membuat yang ketakutan tergolong cacat. Sementara Al-Khasya adalah ketakutan secara total akibat terlalu agungnya yang di takuti, sekalipun orang yang merasa takut termasuk orang kuat. Dari sini kita pahami, bahwa tidak bisa mengatakan lafaz al-Khauf dengan maksud makna al-Khasya dan juga sebaliknya.

As-Syukhu Al-Bukhlu dan Ad-dhannu

Ketiganya semakna dalam arti kikir. Namun makna kikir yang ada pada setiap kata tidaklah sama. As-Syukhu adalah sifat kikir yang juga disertai dengan ketamakan. Dan Al-Bukhlu adalah sifat kikir dikaitkan dengan pemberian. Sementara Ad-Dhannu terkait dengan barang-barang dagangan, Sepeti dalam firman Allah  Q.S at-Takwir: 24

            وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ

“dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menjelaskan yang ghaib.”

As-Sabil dan Ath-thariq

Meski kedunya bermakna jalan namun jalan yang dimaksud tidaklah sama. As-Sabil digunakan untuk menunjuk berita atau kabar yang di dalam jalan itu ada kemudahan. Semantara ath-Thariq tidak digunakan untuk mengabarkan sesuatu. Melainkan ath-Thariq selalu diidhafahkan dan disandingkan dengan sifat, Seperti firman Allah pada Alquran surah al-Ahqaf: 30:

            قَالُوا يَاقَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ

“mereka berkata, hai kaum kami sesungguhnya kami telah mendengar kitab yang diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kepada kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan menunjukkan pada jalan yang lurus.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Mazhab Syafi’i dan Dasar Hukum Dua Kulah

Ja’a dan Ataa

Makna dasar keduanya adalah datang. Namun datang yang dimaksud dari masing-masing kedunya berbeda. Pertama Ja’a datang untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Semenatara Ataa digunakan untuk hal yang bersifat maknawi dan waktu dan kedatangannya berserta dengan kemudahan. Seperti pada firman Allah pada Alquran surah Yunus: 24:

            إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالْأَنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الْأَرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلًا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ

sesungguhnya perumpamaan kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi karena air itu, ada yang dimakan manusia dan hewan ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab kami di waktu malam atau siang, lalu kami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum tumbuh kemaren.”

Baca juga: Al-Quran dan Problem Sosial Kemanusiaan Perspektif Cendekiawan Muslim Kontemporer

As-Sanah dan Al-‘Am

As-sanah biasanya diguanakan pada tahun yang di dalamnya terdapat kekeringan dan panceklik. Contohnya seperti pada firman Allah pada surah al-Ankabut: 14:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُون

dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka orang-orang yang dzalim.”

Semenatara al-‘Ammu untuk tahun yang di dalamnya terdapat kemudahan dan kesuburan.