Beranda blog Halaman 180

Asbabun Nuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai

0
Asbabun Nuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai
Ilustrasi kitab-kitab asbabun nuzul

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa ulum al-Qur’an merupakan perangkat keilmuan yang dibutuhkan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Meski dasar-dasarnya berangkat dari al-Qur’an itu sendiri, namun sejatinya ia adalah produk sejarah yang didesain oleh para ulama generasi awal, sehingga tumbuh dan berkembang hingga saat ini.

Sebagai bukti, para ulama berbeda pendapat dalam mengkategorisasikan topik-topik yang menjadi objek kajian ulum al-Qur’an. Misalnya al-Zarkasyi (w. 794 H) dalam al-Burhan menghimpun sebanyak 47 persoalan, al-Suyuthi (w. 911 H) dalam al-Itqan memuat 80 persoalan, bahkan dalam kitabnya al-Tahbir fi ‘Ilm al-Tafsir, ada 120 persoalam sebagai pengembangan dari kitab Mawaqi’ al-‘Ulum karya al-Bulqini (w. 824 H) yang tercatat memuat 52 persoalan.

Perkembangan tersebut menunjukkan adanya ijtihad oleh para ulama dalam menyusun ‘ulum al-Qur’an, sekaligus menunjukkan historisitas perkembangan disiplin ilmu ini. Salah satu persoalan penting ‘ulum al-Qur’an adalah tentang asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an).

Intelektual Muslim telah menghasilkan banyak literatur tentang asbabun nuzul. Meski tidak seluas literatur yang membahas beberapa ilmu Al-Qur’an lainnya seperti naskh wa al-mansukh, qira’at, atau kajian kebahasaan. Akan tetapi, genre ini  tetaplah substansial untuk memahami makna teks dari wahyu yang diturunkan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Wahidi, ”Tidak mungkin kita dapat menafsirkan ayat tanpa mengetahui kisah ayat itu dan uraian tentang turunnya.” Ibn Daqiq al-‘Id juga pernah berkata, ”Mengetahui uraian asababun nuzul adalah cara yang efektif untuk memahami al-Qur’an.” Ibnu Taimiyah menambahkan, “Mengetahui sababun nuzul dapat menolong seseorang untuk memahami ayat, karena mengetahui suatu ‘sebab’ akan mewariskan ilmu tetang ‘musabbab’ (akibatnya).

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

Wacana awal asbabun nuzul

Karya paling awal yang diketahui tentang asbabun nuzul, sebagaimana disebutkan oleh Ibn al-Nadim (w. 380/990) dalam al-Fihrist-nya, dikaitkan dengan ‘Ali Ibn al-Madini (w. 234/848), gurunya Imam al–Bukhari. Karya al-Madini berjudul Kitab al-Tanzil. Sayangnya, kitab tersebut sudah tidak ada lagi.

Sementara karya periode awal yang masih ada dan paling terkenal dalam genre ini adalah Asbab al-Nuzul dari Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi. Kemudian dilanjutkan Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul yang ditulis oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911/1505).

Bisa dikatakan bahwa karya al-Suyuthi tersebut terinsprasi dari pendahulunya. Hal itupun diakui olehnya, di mana ia menambal kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam kitab al-Wahidi, utamanya terkait permasalahan riwayat, baik yang belum tercantum ataupun yang dinilai tidak shahih.

Alasan persoalan riwayat yang difokuskan, karena asbabun nuzul sendiri memang berkaitan dengan itu. Sebagaimana yang ditegaskan oleh al-Wahidi dalam kitabnya:

لايحل القول في اسباب النزول الكتاب الا بالرواية والسماع ممن شاهدوا التنريل وقفوا على الاسباب وبحثوا عن علمها  وجهدوا في الطلاب

“Jangan katakan asbabun nuzul al-Kitab (Al-Qur’an), kecuali berdasarkan riwayat dan mendengar langsung dari orang-orang yang meyaksikan peristiwa turunnya serta mengetahui sebab-sebabnya, meneliti, dan serius dalam mempelajari ilmunya.” (Asbab al-Nuzul, hlm 10).

Meski al-Wahidi mengklaim bahwa alasan ia menulis karya tentang asbabun nuzul, karena ia banyak menemukan riwayat-riwayat yang tidak shahih, akan tetapi karyanya kemudian dipersoalkan oleh al-Suyuthi. Menurutnya, al-Wahidi tidak merujuk kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif). Sehingga, beberapa riwayat yang dicantumkan oleh al-Wahidi dalam kitabnya, menurut Suyuti, adalah maqthu’. (Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, hlm 10).

Maka, tidak heran jika al-Suyuthi dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul terang-terangan mengklaim keunggulannya atas Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi karena isinya telah diedit secara menyeluruh oleh al-Suyuti.

Baca juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

Kritik ulama mutakhir

Namun, meskipun al-Suyuthi menulis bukunya lebih dari empat abad setelah kematian al-Wahidi, dan meskipun lebih ahli dalam hadis daripada pendahulunya, Lubab al-Nuqul-nya tentu tidak lepas dari kekurangan dan krititikan, terutama oleh generasi setelahnya.

Misalnya, kritik yang dilontarkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd, yang menilai bahwa ulama-ulama terdahulu cenderung berpatokan pada riwayat dalam melihat asbabun nuzul, artinya mereka hanya bersandar pada realitas eksternal dan mencari riwayat-riwayat yang dianggap kuat. Sementara menurut Abu Zayd, asbabun nuzul juga memuat konteks sosial yang ada pada internal teks (al-Siyaq al-Ijtima’i li al-Nushus). (Mafhum al-Nash, hlm. 111).

Arti konteks sosial yang ditawarkan Abu Zayd adalah konteks kultural atau konteks budaya yang menyertai turunnya teks wahyu, yang tentunya menentukan makna dan formasi teks (marhalah al-takwiin). Bahkan pada tahap lanjutan, teks tidak lagi menjadi objek, melainkan subjek yang membentuk budaya dan bahasa (marhalah al-takawwun).

Proses ini yang kiranya membuat Abu Zayd melahirkan istilah ‘al-Qur’an sebagai produk budaya’ (muntaj tsaqaafiy) untuk tahapan pertama. Adapun tahap kedua ia sebut dengan ‘al-Qur’an sebagai produser budaya’ (muntij al-tsaqaafah). (Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, 74).

Karena itu, Abu Zayd menawarkan dua pendekatan dalam memahami asbabun nuzul. Pertama, sumber eksternal ayat, yaitu riwayat yang shahih, meski persoalan riwayat menurutnya bersifat ijtihadi. Kedua, sumber internal ayat, di mana konteks internal ayat bisa dipahami melalui struktur bahasa teks yang diekspresikan dalam menjelaskan kondisi sosio-kultural, atau melibatkan analisis bagian ayat secara umum. (Fauzi dkk, Kesinambungan dan Perubahan dalam Pemikiran Kontemporer tentang Asbabu al-Nuzul, hlm 56-57).

Fenomena demikian menunjukkan bahwa kajian terhadap asbabun nuzul belumlah usai dan masih memiliki tempat dalam khazanah studi Al-Qur’an. Adapun tulisan ini hanyalah sebatas cuplikan dari sekian banyak literatur maupun diskusi terkait asbabun nuzul, sekaligus memperlihatkan bahwa genre ini tetaplah eksis dan terus mengalami transmisi dan perkembangan pada setiap zaman. Bahkan, sangat mungkin untuk dikaji lebih mendalam. Wallahu A’lam.

Baca juga: Syah Waliyullah Al-Dahlawi: Tokoh Pencetus Asbabun Nuzul Makro

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

0
Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 25: Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya
Hakikat Rezeki Yang Sebenarnya

Harta merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat penting di antara kebutuhan lainnya. Orang-orang berlomba-lomba berusaha memperkaya diri dengan mengumpulkan harta sebanyak mungkin. Akan tetapi, apakah hakikat rezeki hanya tentang memperoleh banyak harta?

Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an mengatakan bahwa rezeki yang diperoleh seseorang belum dapat sepenuhnya disebut rezeki sepanjang belum dimanfaatkan buat kehidupan.

Islam sangat mendorong pemanfaatan harta buat kehidupan yang lebih baik. Harta yang tersimpan, bagaimanapun banyaknya, belum dikatakan sebagai rezeki kita sepanjang tidak kita gunakan sesuai yang Islam ajarkan (hal. 131). Firman Allah pada QS. Al-Baqarah ayat 254.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ ۗ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.

Menurut Jalaludin Al-Suyuthi dan Jalaludin Al-Mahalli dalam kitab Tafsir al-Jalalain, ayat di atas mengatakan bahwa rezeki yang dibelanjakan adalah zakatnya harta. Menunaikan zakatnya harta hanya berlaku sebelum datang hari di mana jual beli yang akrab memberi manfaat tidak ada lagi, yaitu hari kiamat. Dan orang-orang kafir adalah mereka yang tidak menempatkan kewajiban Allah pada tempatnya.

Senada dengan pendapat di atas, Abdullah Yusuf Ali dalam kitabnya The Holy Qur’an Text, Translation and Commentary juga mengatakan bahwa ayat di atas memerintahkan kepada manusia untuk menafkahkan sebagian dari rezeki yang telah diberikan Allah kepada mereka. Menafkahkan yakni mengeluarkan sedekah atau mengerjakan pekerjaan yang baik dengan harta, tidak menimbunnya.

Dalam Islam, pekerjaan yang baik termasuk hal yang berfaedah untuk orang lain yang sedang memerlukan, baik ia tetangga atau orang yang jauh, atau berbuat baik kepada masyarakat, bahkan kepada seseorang yang telah mendapat karunia Tuhan. Akan tetapi, kebaikan itu harus sungguh-sungguh dan tidak boleh dicampur dengan motif-motif yang rendah, seperti mau berlagak, bangga atau berpura-pura, mendorong orang bermalas-malas atau mau mengadu domba. Karunia demikian tidak hanya bersifat kekayaan materi, tetapi juga bersifat kekayaan rohani.

Azhari Akmal Tarigan dalam bukunya Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Al-Qur’an memandang bahwa lanjutan ayat ini tampaknya mengandaikan suatu masa nantinya orang tidak lagi membutuhkan harta. Bahkan pada saat itu, tidak ada usaha-usaha yang dilakukan manusia untuk mendapatkan harta.

Bisa jadi mereka telah memiliki semuanya dan mungkin pula karena mereka tidak lagi membutuhkannya. Tidak ada perdagangan pada saat itu. Tidak ada pula orang yang mau menerima sedekah atau pemberian, walau harta yang akan dikeluarkan tersebut amatlah besar dan bernilai. Oleh karena itu, sebelum masa yang “mengerikan” itu tiba, Al-Qur’an menganjurkan bersedekah (hal. 126).

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Dalam setiap harta ada hak orang lain

Islam sendiri berpendapat bahwa dalam kekayaan seseorang, terdapat sebagian hak bagi yang miskin dan yang membutuhkan. Sebagaimana firman Allah pada QS. Az-Zariyat ayat 19.

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.

Berkenaan dengan hal ini, Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah juga sependapat bahwa yang disebut rezeki adalah hasil atau simpanan jika manfaatnya kembali kepada seseorang dan dia dapat menikmati hasilnya, yaitu dengan membelanjakannya untuk kemaslahatan-kemaslahatan dan kebutuhan-kebutuhannya.

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya harta yang untuk anda hanyalah apa yang anda makan lalu anda habiskan, atau yang anda kenakan lalu rusak, atau yang anda sedekahkan lalu lestari.”

Masih menurut Khaldun, jika seseorang itu tidak mendapat manfaat darinya sama sekali untuk kemaslahatan-kemaslahatan dan kebutuhan-kebutuhannya, maka yang dinisbatkan kepadanya bukanlah disebut dengan rezeki. Sebagaimana orang yang memiliki harta dengan usaha dan kemampuannya, hal itu disebut dengan kasb (hasil usaha). Misalnya adalah harta warisan.

Harta yang dinisbatkan kepada orang yang meninggal disebut kasb (hasil usaha) dan tidak disebut rezeki karena orang tersebut tidak mendapat manfaatnya. Sedangkan kepada orang-orang yang mewarisi, apabila mereka dapat mengambil manfaatnya, maka disebut dengan rezeki. Demikianlah hakikat rezeki menurut Ahlu Sunnah.

Sedangkan menurut Mu’tazilah untuk dapat disebut rezeki diisyaratkan cara memilikinya harus dengan sah. Apa yang tidak boleh dimiliki menurut mereka tidak disebut dengan rezeki. Dengan demikian, mereka memandang barang-barang ghashaban (rampasan) dan semua yang haram tidak disebut dengan rezeki.

Perbedaan Ahlu Sunnah dan dengan Mu’tazilah dalam memandang apa yang disebut dengan rezeki hanya sebatas titik tekan. Ada yang memberi tekanan makna pada pemanfaatan dan ada pula pada usaha. Namun kembali kepada Al-Qur’an dalam konteks mencari hakikat rezeki, bukan saja pada caranya yang harus sesuai dengan aturan syari’at tetapi juga yang berkenaan dengan pemanfaatannya.

Manfaat itu sendiri merupakan kata lain dari maslahat. Artinya sesuatu disebut rezeki jika rezeki tersebut membawa kemaslahatan bagi diri pribadi (orang yang mengusahakannya) dan juga bagi orang lain.

Kesimpulan

Dari pemaparan singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat rezeki bukan hanya tentang memperoleh banyak harta. Lebih dari itu, bagaimana harta hasil usaha ataupun simpanan kita dapat digunakan untuk kemaslahatan-kemaslahatan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Terutama dalam hal ini anjuran untuk bersedekah kepada orang-orang  yang berhak seperti orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian sebagaimana telah disebutkan pada QS. Az-Zariyat ayat 19 di atas. Wallahu’alam bishshawab.

Baca juga: Tujuh Etika Bisnis dan Marketing dalam Al-Qur’an yang Harus Dipahami Pebisnis

Tafsir Ahkam: Hukum Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim

0
Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim
Berwudhu dengan Air Milik Non Muslim

Interaksi antara muslim dan non muslim terkadang membuat mereka memakai barang milik satu sama lain. Salah satunya yang kadang memunculkan rasa khawatir terkait bersuci, adalah bersuci dengan air milik non muslim. Misalnya berwudhu di kamar mandi milik non muslim. Bagaimana syariat Islam memandang tentang hal itu? Mengingat bisa saja air yang mereka pakai terkena benda yang kita yakini najis, sementara oleh mereka tidak diyakini sebagai najis. Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Berwudhu Dengan Air Milik Non Muslim

Salah satu hal yang menjadi tema pembahasan para ulama’ terkait bersuci, adalah mengenai hukum bersuci dengan air milik non muslim. Hal ini mengingat adanya pro kontra tentang hal ini. Yang memperbolehkan mendasarkan pendapatnya pada riwayat bahwa Nabi Muhammad dan sahabat ‘Umar pernah berwudhu dari wadah milik non muslim. Yang tidak memperbolehkan mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa non muslim dihukumi najis.

Imam Ar-Razi di dalam Tafsir Mafatihul Ghaib menyatakan, berwudhu dengan air yang bekas pakai non muslim juga yang ada di wadah milik milik mereka, hukumnya tidak makruh. Hal ini berdasar riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad berwudhu dengan air dari tempat bekal milik orang musyrik, serta riwayat bahwa Sahabat ‘umar berwudhu dengan air dari bejana milik orang nasrani (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496).

Baca juga: Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam

Imam An-Nawawi menjelaskan, pernyataan bahwa Nabi Muhammad berwudhu dengan air dari wadah bekal orang musyrik adalah potongan dari hadis panjang, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Sehingga riwayat tersebut adalah riwayat yang sahih. Hanya saja, menurut Imam An-Nawawi, sebenarnya tidak ada redaksi yang jelas bahwa Nabi Berwudhu. Namun dalam hadis tersebut ada petunjuk bahwa air dari wadah milik orang musyrik hukunnya suci.

Sedang riwayat bahwa Sahabat ‘Umar berwudhu dari bejana milik orang Nasrani, menurut Imam An-Nawawi adalah riwayat yang disampaikan oleh Imam Syafi’i dan Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih. Riwayat dengan makna senada juga disampaikan Imam Bukhari dalam kitab hadis sahihnya (Al-Majmu’/1/262-263).

Pendapat Ulama

Berdasar riwayat di atas, ulama’ kemudian menyimpulkan bahwa hukum berwudhu dengan air bekas pakai atau dari wadah non muslim, diperinci dalam dua bagian. Pertama, kalau non muslim tersebut adalah penganut agama yang tidak menjadikan benda najis sebagai bagian ritual agama mereka, maka bersuci dengan air bekas pakai atau dari wadah mereka hukumnya sah. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat antar ulama’ tentang hal ini (Al-Majmu’/1/262-263)

Imam Al-‘Umrani mencontohkan non muslim yang tidak menjadikan benda najis menjadi bagian ritual agama mereka, dengan non muslim dari kaum Yahudi dan Nasrani. Ia juga menjelaskan bahwa hukum sah berwudhu tersebut sekaligus tidak makruh. Dan itu selama tidak nampak secara jelas adanya najis. Bila sebaliknya, maka tidak boleh. Dan bila sekedar ragu-ragu, maka hanya terkena hukum makruh (Al-Bayan/1/87).

Baca juga: Mengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Kedua, bila non muslim tersebut adalah penganut agama yang menjadikan benda najis sebagai bagian ritual dari agama mereka, seperti agama yang menjadikan kencing sapi sebagai alat bersuci mereka, maka ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum berwudhu dengan air yang berasal dari wadah milik mereka. Menurut pendapat yang disahihkan oleh Imam An-Nawawi, berwudhu dengan air tersebut hukumnya sah. Pendapat lain menyatakan tidak sah (Al-Majmu’/1/262-263).

Imam An-Nawawi juga menyatakan, bahwa pendapat sucinya wadah milik orang non muslim adalah pendapat yang diyakini oleh mayoritas ulama’. Dan ada pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Ishaq bahwa wadah milik non muslim hukumnya najis. Pendapat ini berdasar pada ayat:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا ۚ

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis. Oleh karena itu, janganlah mereka mendekati Masjidil haram setelah tahun ini (QS. At-Taubah [9] 28).

Imam Mawardi menjelaskan bahwa ada banyak keterangan dari Al-Qur’an dan hadis yang menentang pemahaman bahwa ayat di atas bermakna bahwa tubuh luar non muslim dihukumi najis, sehingga wadah dan air bekas pakai mereka juga dihukumi najis. Diantaranya ayat tentang halalnya makanan Ahlul Kitab, hadis tentang wudhu dengan air milik non muslim serta hadis tentang orang musyrik yang dibiarkan masuk masjid di zaman Nabi. Oleh karena itu, berdasar pendapat mayoritas ulama’, lebih tepat memahami ayat di atas dengan najis secara makna saja dan bukan secara zahir dalam artian luar tubuh (Al-Hawi Al-Kabir/1/635).

Baca juga: Berikut 3 Tips Al-Quran Untuk Merespon Perkataan yang Buruk

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan, berwudhu dengan air bekas pakai atau yang berasal dari wadah milik non muslim di Indonesia hukumnya sah. Hukum ini berlaku selama tidak ada najis yang nampak pada air serta wadah mereka. Hal ini mengingat umumnya non muslim di Indonesia tidak menjadikan benda najis sebagai bagian ritual agama mereka. Mengenai soal memelihara anjing atau memakan babi, hal itu adalah persoalan yang tidak berkaitan dengan ritual agama. Wallahu a’lam bish showab.

Kisah Mukjizat Nabi Isa: Tanah Liat Jadi Burung Bulbul

0
Kisah Mukjizat Nabi Isa: Tanah Liat Jadi Burung Bulbul
Burung Bulbul

Pada tahun 622 sebelum hijrah, Nabi Isa as. terlahir di dunia atas kehendak dan kuasa Allah Swt. tanpa seorang ayah. Maryam putri Imran bin Matsan yang ‘alim nan shalihah merupakan ibu yang telah mengandung dan melahirkannya. Kelahiran Nabi Isa as. tanpa ayah ini merupakan salah satu tanda kenabian (irhasat) beliau, atau mukjizatnya sebelum diangkat menjadi nabi.

Setelah diangkat menjadi nabi, Nabi Isa banyak diberikan mukjizat oleh Allah Swt. Beberapa di antaranya termaktub dalam QS. Al-Maidah [5]: 110 berikut:

اِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ اذْكُرْ نِعْمَتِيْ عَلَيْكَ وَعَلٰى وَالِدَتِكَ ۘاِذْ اَيَّدْتُّكَ بِرُوْحِ الْقُدُسِۗ تُكَلِّمُ النَّاسَ فِى الْمَهْدِ وَكَهْلًا ۚوَاِذْ عَلَّمْتُكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَ ۚوَاِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ بِاِذْنِيْ فَتَنْفُخُ فِيْهَا فَتَكُوْنُ طَيْرًاۢ بِاِذْنِيْ وَتُبْرِئُ الْاَكْمَهَ وَالْاَبْرَصَ بِاِذْنِيْ ۚوَاِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتٰى بِاِذْنِيْ ۚوَاِذْ كَفَفْتُ بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ عَنْكَ اِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ فَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ اِنْ هٰذَآ اِلَّا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

Artinya: “(Ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu sewaktu Aku menguatkanmu dengan Roh Kudus. Engkau dapat berbicara dengan manusia pada waktu masih dalam buaian dan setelah dewasa. Dan ingatlah ketika Aku mengajarkan menulis kepadamu, (juga) Hikmah, Taurat, dan Injil. Dan ingatlah ketika engkau membentuk dari tanah berupa burung dengan seizin-Ku. Kemudian engkau meniupnya, lalu menjadi seekor burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika engkau mengeluarkan orang mati (dari kubur menjadi hidup) dengan seizin-Ku. Dan ingatlah ketika Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuhmu) di kala waktu engkau mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”

Baca juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Kisah tanah liat yang dirubah Nabi Isa menjadi burung

Di antara mukjizat-mukjizat yang telah diceritakan di atas, terdapat sebuah kisah yang menjadi bukti kesaksian tanah liat kepada Nabi Isa as. Ini dijelaskan dalam Kitab Qishash al-Hayawan fi al-Qur’an bahwa tanah liat mengaku dirinya telah mencintai Nabi Isa as. sebelum dilahirkan.

“Aku adalah segenggam tanah liat. Sebelum Isa putra Maryam menggenggamku, aku telah jatuh cinta. Ketika aku jatuh cinta, aku memasuki bumi perubahan. Tenang, diam, dan ridha dengan keberadaanku sebagai tanah liat. Aku tak pernah bermimpi. Meski aku adalah wujud tanpa mimpi, namun aku ridha dengan keberadaanku ini.”, ujarnya.

Kemudian ia menceritakan asal-usul awal penciptaannya yang tanpa mempunyai rasa jatuh cinta.

“Pada mulanya aku adalah bagian dari matahari. Jutaan tahun berjalan, tanpa jatuh cinta. Kemudian, padamlah bara yang menyala-nyala berubah menjadi batu karang dalam planet yang mereka sebut dengan bumi. Aku berada di daerah yang mereka sebut dengan Palestina. Aku adalah tanah liat dari bumi Palestina yang tersiksa tanpa jatuh cinta.”, lanjut ujarannya.

Banyak sekali yang diketahui dari sebuah tanah liat ini. Ia dapat merespons kalam-kalam Allah Swt. atas mukjizat yang diberikan kepada Nabi Isa as. sebelumnya. Keistimewaan yang dimiliki tanah liat dapat merasakan peristiwa yang terjadi saat bersamaan malaikat-malaikat yang turun ke bumi untuk menemui Maryam. Saat malaikat Jibril turun, tiba-tiba tanah liat terdorong keinginan yang amat kuat untuk terbang ke angkasa.

Baca juga: 7 Mukjizat Nabi Isa As Dalam Al-Qur’an: Bagian Pertama

Sampai tibalah di suatu hari, Isa as. sedang duduk di dekat pohon mawar, dikelilingi oleh banyak masyarakat. Mereka berbicara kepada Isa as. tentang ruh dan menunjukkan keraguan tentang nilai ruh, sebagaimana Isa as. menggambarkannya dengan menunduk ke tanah dan menggenggam secuil tanah tersebut.

“Itulah saat pertama kali seumur hidupku, aku beranjak dari bumi. Isa as. mendengarkan kata-kata mereka sambil menggenggamku erat-erat. Aku merasa bahwa genggaman Isa as. sedang mengisi tubuhku dengan sesuatu yang baru. Isa as. mengangkat tangan yang berisi secuil tanah liat dan bertanya kepada orang-orang yang mengelilinginya.” Aku si tanah liat.

“Apakah ini?”, mereka bertanya.

“Apakah secuil tanah ini dapat terbang ke langit?”, tanya balik Isa as.

“Tidak mungkin.” mereka menjawab.

“Mengapa tidak bisa?’, tanya Isa as. kembali.

Mereka diam dan tidak dapat menjawab.

“Karena tanah ini tidak memiliki ruh. Jika aku menjadikannya seekor burung Bulbul dengan meniupnya sambil memohon kepada Allah Swt. agar tercipta ruh di dalamnya, apakah tanah liat ini tidak bisa terbang?”, kata Isa as.

Isa as. berbicara sambil membentukkan tanah liat tersebut menjadi burung. Ketika sudah selesai tanah tersebut ditiup hingga menjelma menjadi seekor burung Bulbul dan terbang layaknya burung-burung yang bertebaran jauh di langit, berkicauan sembari menggerakkan sayapnya. (Ahmad Bahjat, Qishash al-Hayawan fi al-Qur’an, Kairo: Dar Asy-Syuruq, 2000).

Demikianlah sebuah cerita tentang mukjizat Nabi Isa as. yang berkenaan dengan ruh. Dengan izin Allah Swt, tanah liat yang bukan apa-apa, bisa memiliki ruh dan menjadi burung Bulbul yang mampu terbang di langit. Wallahu’alam.

Baca juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran; Perspektif Tarif Khalidi (2)

0
Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran; Perspektif Tarif Khalidi (2)
Tarif Khalidi

Jika kita membaca keseluruhan Al-Quran, kita akan menemui nama “Muhammad” disebut sebanyak empat kali. Sebagaimana dicatat ‘Abd al-Razzaq Naufal dalam al-I’jaz al-‘Adadi li Al-Quran al-Karim (1987), nama “Muhammad” tercantum pada QS. Ali ‘Imran [3]: 144, QS. Al-Ahzab [33]: 40, QS. Muhammad [47]: 2, dan QS. Al-Fath [48]: 29. Ada nama lain Nabi Muhammad dalam Al-Quran, yaitu Ahmad yang disebut sekali dalam al-Saff [61]: 6.

Dengan cermat, Tarif mengatakan hal tersebut cukup mengejutkan, sebab jumlah itu tidak lebih banyak daripada jumlah nama-nama kelompok seperti kaum Muhajirin dan Anshar. Dua kelompok tersebut setidaknya dua kali lipat lebih sering disebut daripada Muhammad. Meskipun demikian, terdapat ratusan kata rujuk (dhamir) ke Nabi Muhammad yang digambarkan sebagai Rasulullah dan ratusan perumpamaan dalam sosok anonim yang kemungkinan adalah Nabi Muhammad (hlm. 44).

Tarif juga mengungkapkan bahwa nyaris tidak disebutkan nama orang sezaman dengan Nabi di dalam Al-Quran. Setidaknya hanya dua nama, yaitu Abu Lahab, paman Nabi dalam QS. Al-Lahab [111]: 1 dan Zaid, anak angkat Nabi dalam QS. Al-Ahzab [33]: 37. Selain itu, mereka—orang sezaman Nabi—disebut secara tidak langsung.

Hal ini, menurut Tarif, menjadi satu alasan mengapa Al-Quran terkesan samar, seluruhnya ditulis dalam bentuk waktu (tenses) yang terus berlangsung, di mana waktu lampau (past), kini (present), dan akan datang (future) hadir dalam satu kesinambungan. Oleh karena kesan samar tersebut, sebagaimana orang sezaman lainnya, citra Nabi Muhammad hampir tanpa nama (hlm. 45).

Baca juga: Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

Citra Muhammad Sebagai Sang Nabi

Konsentrasi citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran adalah sebagai “Rasulullah” atau “Sang Nabi”, bukan sebagai sosok pribadi. Penyebutan nama Muhammad dalam Al-Quran hampir semuanya menggunakan gelar kehormatan dan status khusus seperti Sang Nabi, Nabi Terakhir, Penutup Para Nabi, Sang Utusan Allah, dan lain sebagainya. Kita dapat menemukannnya dalam QS. Al-Ahzab [33]: 40 berikut,

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ࣖ

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Muhammad adalah nabi terakhir, nabi teragung dan mahkota para nabi. Garis panjang kenabian yang jika dirunut akan kembali sampai ke Nabi Ibrahim, atau bahkan ke awal penciptaan. Garis kenabian ini diyakini bahwa risalah Nabi Muhammad beliau terima dari Allah adalah wahyu terakhir dan yang paling otoritatif dibanding yang lainnya.

Selain itu, Tarif menambahkan tentang apa yang disebut dengan profetologi Al-Quran, teori tentang kesamaan yang dimiliki semua nabi. Genealogi spiritual Muhammad sebagai Sang Nabi Allah adalah garis kenabian pendahulu. Artinya semua nabi memiliki pengalaman yang serupa; penentangan terhadap ketidakadilan, ketidakpedulian umat, menerima olok-olok, cemooh, risiko ancaman fisik, atau bahkan kematian. Meski begitu, pada akhirnya mereka mendapat pembenaran atau para penetangnya mendapat hukuman dari Allah (hlm. 46).

Kita dapat membaca dua contoh jelas dalam QS. Al-Mu’minun [23]: 44 dan QS. Yasiin [36]: 30 masing-masing sebagai berikut,

ثُمَّ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَاۗ كُلَّمَا جَاۤءَ اُمَّةً رَّسُوْلُهَا كَذَّبُوْهُ فَاَتْبَعْنَا بَعْضَهُمْ بَعْضًا وَّجَعَلْنٰهُمْ اَحَادِيْثَۚ فَبُعْدًا لِّقَوْمٍ لَّا يُؤْمِنُوْنَ

Kemudian, Kami utus rasul-rasul Kami secara berturut-turut. Setiap kali seorang rasul datang kepada suatu umat, mereka mendustakannya. Maka, Kami iringkan (kebinasaan) sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kami jadikan (pula) mereka bahan pembicaraan. Maka, kebinasaanlah bagi kaum yang tidak beriman.

يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

Alangkah besar penyesalan diri para hamba itu. Setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.

Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat

Citra Nabi Muhammad Sebagai Manusia

Kini Tarif menguraikan citra Nabi sebagai manusia biasa. Bahwa semua rasul Allah, meski derajat mereka diluhurkan Allah, sebenarnya juga manusia biasa yang rentan tersakiti, cenderung dihadapkan pada keraguan-keraguan, ditimpa krisis dan kesusahan hidup, seperti halnya yang dirasakan orang pada umumnya. Mari kita baca seluruh kutipan QS. Al-Dhuha [93]: 1-8 berikut;

وَالضُّحٰىۙ وَالَّيْلِ اِذَا سَجٰىۙ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلٰىۗ وَلَلْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْاُوْلٰىۗ وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضٰىۗ اَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيْمًا فَاٰوٰىۖ وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ وَوَجَدَكَ عَاۤىِٕلًا فَاَغْنٰىۗ

Demi waktu duha. Dan demi waktu malam apabila telah sunyi. Tuhanmu (Nabi Muhammad) tidak meninggalkan dan tidak (pula) membencimu. Sungguh, akhirat itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan (dunia). Sungguh,  kelak (di akhirat nanti) Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau rida. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(-mu); mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk (wahyu); dan mendapatimu sebagai seorang yang fakir, lalu Dia memberimu kecukupan?

Kita membacanya juga dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 113;

وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ وَرَحْمَتُهٗ لَهَمَّتْ طَّاۤىِٕفَةٌ مِّنْهُمْ اَنْ يُّضِلُّوْكَۗ وَمَا يُضِلُّوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّوْنَكَ مِنْ شَيْءٍ ۗ وَاَنْزَلَ اللّٰهُ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُۗ وَكَانَ فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكَ عَظِيْمًا

Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (Nabi Muhammad), tentu segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Akan tetapi, mereka tidak menyesatkan, kecuali dirinya sendiri dan tidak membahayakanmu sedikit pun. Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (sunah) kepadamu serta telah mengajarkan kepadamu apa yang tadinya belum kamu ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.

Dari ayat-ayat tersebut, Tarif melihat beragam bentuk krisis yang dihadapi Nabi Muhammad. Krisis yang lebih dari sekadar rasa bersalah dan kesalahan yang nyaris menggoyahkan imannya. Citra kejujuran, spontanitas dan kerapuhan watak manusiawi Nabi Muhammad begitu kentara (hlm. 60-61). Namun ternyata, semua itu merupakan narasi permulaan yang pada akhirnya berujung pada kemenangan seperti yang direkam dalam QS. Yunus [10]: 103;

ثُمَّ نُنَجِّيْ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كَذٰلِكَ ۚحَقًّا عَلَيْنَا نُنْجِ الْمُؤْمِنِيْنَ ࣖ

Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman. Demikianlah menjadi ketentuan Kami untuk menyelamatkan orang-orang mukmin.

Semua ini, simpul Tarif, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang nabi yang manusiawi dan rentan tersakiti. Ia berdiri di antara umatnya dan mendengarkan firman Allah. Ia seperti semua makhluk Allah, yang membutuhkan keteguhan hati dan belas kasih Allah.

Walhasil, citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran berada dalam semacam titik temu empat titik persegi; Allah sebagai Penyingkap Wahyu, Al-Quran sebagai wahyu, Malaikat Jibril sebagai perantara wahyu dan Nabi Muhammad beserta umatnya sebagai penerima wahyu (hlm. 63). Wallahu a’lam.

Baca juga: Muhammad Nabi Cinta; Nabi Muhammad di Mata Seorang Penganut Katolik

Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran Perspektif Tarif Khalidi (1)

0
Citra Nabi Muhammad dalam Al-Quran; Perspektif Tarif Khalidi (1)
Tarif Khalidi

Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V versi daring diartikan sebagai; 1) rupa; gambar; gambaran; 2) gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, organisasi atau produk. Masih ada dua takrif lagi, namun dua takrif yang telah disebut saya kira cukup dan yang paling sesuai untuk memahami tajuk tulisan ini; citra Nabi Muhammad dalam al-Quran.

Citra Nabi Muhammad

Selama ini kita jamak membaca citra Nabi Muhammad saw melalui kitab-kitab atau buku-buku Syamail yang berisi riwayat-riwayat orang yang menjumpai Nabi kala hidupnya. Masyhur Nabi Muhammad memiliki postur tubuh yang sedang; tinggi tapi tidak semampai, tidak juga pendek.

Dalam sebuah riwayat, Umar adalah di antara sahabat Nabi yang berbadan tinggi. Sedangkan Ibn Mas’ud, terkenang sebagai sahabat Nabi yang memiliki badan pendek. Namun ketika Nabi Muhammad berjalan bersama Sahabat Umar, Nabi tak kalah tingginya. Lalu ketika berjalan bersama Ibn Mas’ud, Nabi tak terlalu tinggi dibandingnya. Seperti itulah di antara citra fisik Nabi Muhammad yang kita temukan dalam hadis.

Kemudian kita juga kerap membaca, dan kita semua tahu, bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah al-Quran. Begitu riwayat yang disampaikan Sayyidah Aisyah r.a. Dari kedua riwayat itu, kita cukup mendapati seperti apa citra Nabi Muhammad saw melalui hadis. Citra Nabi yang lain dapat dibaca lebih jauh dalam kitab-kitab klasik semisal al-Syamail al-Muhammadiyyah karya Imam al-Tirmizi, salah satu penulis kutubussittah.

Adalah Tarif Khalidi, seorang akademisi cum sejarawan muslim kebangsaan Palestina yang tinggal di Eropa. Ia banyak menulis sejarah. Images of Muhammad (2009) adalah karya Tarif yang belum lama ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (2021), dengan judul kecil; Evolusi Citra Nabi Muhammad Sepanjang Sejarah. Karya lain, The Muslim Jesus, juga telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa antara lain Indonesia (dengan judul yang sama) dan Arab (berjudul al-Injil bi Riwayat al-Muslimin (2015).

Images of Muhammad terbagi menjadi 10 bab, dibuka dengan bab pertama menguraikan citra Nabi Muhammad di dalam al-Quran. Menarik menyimak uraian Tarif dalam bab ini. Sebab selama ini, kita melulu mendapati citra Nabi Muhammad melalui hadis-hadis atau narasi-narasi dalam berbagai kitab Maulid Nabi semisal al-Barzanji. Setiap hari kita membaca al-Quran, namun kita masih samar bagaimana al-Quran “menggambarkan” citra Nabi Muhammad saw.

Baca juga: 3 Persamaan Menarik Antara Al-Qur’an dan Nabi Muhammad

Potret Manusia dalam Al-Quran

Lebih dulu, ini penting dipahami untuk mengantarkan kita ke bahasan citra Nabi, Tarif membahas potret Quranik kondisi jiwa dan watak manusia yang cenderung mirip konsep manusia modern ketimbang pra-modern; manusia itu ingkar, tak berteguh hati, tak sabar, plin-plan dan sembrono (hlm. 39). Potret itu kita temui dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 137 berikut.

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ اٰمَنُوْا ثُمَّ كَفَرُوْا ثُمَّ ازْدَادُوْا كُفْرًا لَّمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيْلًاۗ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, lalu kufur, kemudian beriman (lagi), kemudian kufur (lagi), lalu bertambah kekufurannya, Allah tidak akan mengampuninya dan tidak (pula) menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus).

Kita juga dapat menemukan potret Quranik lain manusia yang jika ditimpa nasib buruk, manusia lekas-lekas menyeru dan berdoa kepada Allah. Sebaliknya, jika memperoleh kenikmatan, ia ogah-ogahan bersyukur dan malah menjauhkan diri dari-Nya. Kita simak Fushshilat [41]: 51 berikut.

وَاِذَآ اَنْعَمْنَا عَلَى الْاِنْسَانِ اَعْرَضَ وَنَاٰ بِجَانِبِهٖۚ وَاِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ فَذُوْ دُعَاۤءٍ عَرِيْضٍ

Apabila Kami menganugerahkan kenikmatan kepada manusia, niscaya dia berpaling (tidak mensyukuri nikmat-Nya) dan menjauhkan diri (dari Allah dengan sombong), namun apabila kesusahan menimpanya, dia akan banyak berdoa.

Ada banyak lagi ayat yang menggambarkan citra manusia. Namun dari semuanya, Tarif menarik sebuah kesimpulan “..Manusia sebagai gugusan kontradiksi tak terkendali dan kaostis, tercabik-cabik dan tertipu oleh hawa nafsu dan keinginan, yang pada suatu waktu saling menyatu, dan pada kesempatan lain saling bertentangan,” (hlm. 41). Tarif menyebut potret tersebut sebenarnya tidak menyoroti manusia yang berdosa, tetapi manusia yang sembrono.

Baca juga: Tafsir Surah Al-A‘la Ayat 6-7: Membincang Sifat Lupa Nabi Muhammad

Konsep Suasana Al-Quran

Sekali lagi, sebelum mengemukakan citra Nabi Muhammad di dalam al-Quran, Tarif mengajak pembaca untuk mengamini empat konsep suara atau suasana prinsipil al-Quran. Sebab empat konsep tersebut kelak berpengaruh dalam membaca citra Nabi Muhammad dalam al-Quran.

Siapa pun yang membaca al-Quran, tegas Tarif, akan jelas baginya al-Quran ditujukan kepada pembaca dalam berbagai petunjuk (konsep) suara, suasana atau musikal. Pertama, ada ayat-ayat al-Quran yang dimulai dengan suasana apokaliptik; penggambaran neraka dan surga secara dramatis; gambaran Akhir Zaman dan Hari Kiamat; pemandangan kosmik bintang-bintang, gunung-gunung, ombak laut yang berkecamuk, dan lain sebagainya. Kita dapat membaca hal itu dalam QS. Al-Baqarah [2]: 164 berikut,

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.

Ayat tersebut menegur dan meminta manusia untuk merenungkan segala fenomena alam dan meyakini Sang Pencipta alam semesta (hlm. 41).

Kedua, ayat-ayat yang memiliki suasana naratif seperti halnya ayat-ayat yang mengisahkan para nabi, raja, dan kaum-kaum sebelumnya yang telah binasa. Ayat-ayat ini, terang Tarif, dituturkan seolah telah dikenal baik dan akrab di telinga pendengarnya. Dan apa yang ditekankan dari ayat-ayat tersebut adalah pesan moral, bukan kisah itu sendiri (hlm. 42). Kita bisa simak ayat naratif ini dalam al-Qasas [28]: 76,

اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْ ۖوَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ

Sesungguhnya Qarun termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah engkau terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.”

Ketiga, ayat-ayat yang memiliki suasana hukum (legal) atau homiletika. Ayat ini bicara pada kaum beriman dan tak beriman, kelompok masyarakat tertentu dan umum. Ayat-ayat ini kelak menjadi sumber hukum Islam tentang halal-haram (baca: fikih).

Keempat, ayat-ayat yang menggambarkan suasana komunikatif atau dialogis dalam al-Quran. Tarif menyebutnya suasana situatif (hlm. 42-43). Kita membaca suasana dialogis ini dalam al-Furqan [25]: 32,

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً ۛ كَذٰلِكَ ۛ لِنُثَبِّتَ بِهٖ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا

Orang-orang yang kufur berkata, “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Nabi Muhammad) dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar).

Jika kita mengamini empat konsep yang digagas Tarif di atas, kita akan dapat memahami citra Nabi Muhammad yang dilukiskan al-Quran yang akan kita simak dalam artikel selanjutnya.

Baca juga: Rekomendasi Buku-Buku Sirah Nabawiyyah yang Penting Diketahui

Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam

0
Menilik Makna Tazkiyah dalam Pendidikan Islam
Tazkiyah

Sejatinya hakikat pendidikan Islam adalah proses menyucikan diri manusia untuk kembali kepada fitrahnya. Proses ini kita kenal dengan tazkiyatun nafs.

Kata tazkiyah sering kali “terabaikan” ketika mendefinisikan pendidikan Islam. Sebagaimana penjelasan pada artikel sebelumnya, kata yang sering digunakan dan dirujuk dalam pendidikan Islam adalah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Namun demikian, ketiga term tersebut hakikatnya menuju pada tazkiyatun nafs. Oleh karenanya, artikel ini akan menilik bagaimana makna tazkiyah dalam pendidikan Islam.

Pengertian Tazkiyah

Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan, kata tazkiyah berasal dari zakka-yuzakki-tazkiyatan, yang berarti menyucikan. Dalam gramatika bahasa Arab, kata tazkiyah adalah bentuk fi’il tsulasi mujarrad dari kata zaka-yazku-zakaan.

Dalam Kamus al-Munjid, kata tazkiyah diidentikkan dengan kata zakat,

الزكاة ما تقدمه من مالك لتطهره به أى الصدقة، الطهارة: صفوة الشئ

“Zakat artinya mengeluarkan hartamu untuk membersihkannya atau bersedekah. Zakat juga disebut dengan membersihkan sesuatu”.

Di samping lafadz tazkiyah dan zakah, ada juga lafadz-lafadz yang semakna dengannya semisal thahara, dan sabaha. Lebih jauh, kata tazkiyah, sebagaimana dikemukakan Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus al-Munawwir, mengandung makna al-nama’ (tumbuh) dan al-ziyadah (bertambah) seperti yang dijelaskan Inayatul Mas’adah dalam Konsep Tazkiyah dalam Al-Quran.

Lafal ini juga bisa bermakna al-thaharah (suci), al-barakah (berkah), dan al-madh (pujian). Namun dari sekian penjelasan para ulama, kata tazkiyah lebih banyak merujuk pada makna thaharah (bersuci).

Selain itu, kata tazkiyah juga, demikian kata Sugiyono dalam Lisan dan Kalam: Kajian Semantik Al-Quran, tidak hanya mengandung makna denotasi (makna dasar), melainkan juga makna konotasi (makna relasi) yang berkaitan dengan proses penyucian diri manusia (tazkiyatun nafs). Jadi, makna tazkiyah, seperti yang disampaikan Mutawalli al-Sya’rawi dalam Tafsir al-Sya’rawi, adalah upaya untuk membersihkan diri atau jiwa manusia dari hal-hal yang dapat mengotori hati seperti kefasikan dan menyekutukan Allah, yang dilakukan secara terus-menerus.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

Terminologi Tazkiyah dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran, kata tazkiyah dan berbagai bentuk derivasinya, baik dalam bentuk isim maupun fi’il, disebutkan sebanyak 59 kali dalam 29 surah. Adapun dalam bentuk kata zakah, hanya terdapat pada dua ayat yang dimaknai dengan makna tazkiyah, yaitu Q.S. al-Kahfi [18}: 81 dan Q.S. Maryam [19]: 31.

Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab, seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan menjelaskan, kata tazkiyah berasal dari kata zakah yang bermakna tumbuh dan berkembang berdasarkan berkah dari Allah.

Makna tersebut dapat digunakan dalam konteks duniawi maupun ukhrawi sebagaimana difirmankan oleh-Nya dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 43,

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ

Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk. (Q.S. al-Baqarah [2]: 43).

Masih menurut Ahmad Munir, kata tazkiyah yang berubah menjadi zakah yang dikaitkan dengan nafs terulang sebanyak 26 kali, di mana 24 kali dalam bentuk fi’il (kata kerja) dan 2 kali dalam bentuk masdar yang dinisbahkan kepada manusia. Hal ini termaktub dalam Q.S. al-A’la [87]: 14,

قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ

Sungguh, beruntung orang yang menyucikan diri (dari kekafiran). (Q.S. al-A’la [87]: 14).

Selain itu, kata tazkiyah juga dinisbahkan kepada Allah, yaitu dalam Q.S. al-Nisa [4]: 49,

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ اَنْفُسَهُمْ ۗ بَلِ اللّٰهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاۤءُ وَلَا يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun. (Q.S. al-Nisa’ [4]: 49).

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 42: Meneladani Kebersihan dan Kesucian Diri Siti Maryam

Kata tazkiyah juga dinisbatkan kepada Nabi, sebab ia menjadi wasilah (perantara) untuk memperoleh kesucian diri atau jiwa sebagaimana termaklumatkan dalam Q.S. al-Taubah [9]: 103,

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al-Taubah [9]: 103).

Dan terkadang juga disematkan kepada peribadatan sebagaimana dalam firman-Nya Q.S. Maryam [19]: 13,

وَّحَنَانًا مِّنْ لَّدُنَّا وَزَكٰوةً ۗوَكَانَ تَقِيًّا ۙ

(Kami anugerahkan juga kepadanya) rasa kasih sayang (kepada sesama) dari Kami dan bersih (dari dosa). Dia pun adalah seorang yang bertakwa. (Q.S. Maryam [19]: 13).

Proses penyucian diri (tazkiyatun nafs) seseorang tidak didapat dari hanya proses belajar secara kasat mata, melainkan melalui bimbingan ilahi sebagaimana yang dialami oleh para nabi dan rasul. Dalam konteks pendidikan Islam, tazkiyah menjadi ruh dalam proses belajar mengajar, sebab hakikat pendidikan Islam adalah proses penyucian jiwa manusia untuk kembali kepada fitrahnya.

Artinya, serangkaian proses pendidikan dan aktivitas belajar mengajar harus diarahkan untuk mengembangkan potensi manusia seoptimal mungkin. Penyucian ini dimulai dari hal-hal yang kecil seperti menanggalkan sifat-sifat buruk atau dalam bahasa tasawuf disebut takhalli (penyucian diri dari sifat-sifat yang buruk) kemudian menuju tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji), yang puncaknya adalah tajalli (mengalami kenyataan ketuhanan/sampai kepada Allah swt). Wallahu A’lam.

Baca juga: Tuntunan Membersihkan Mulut Sebelum Membaca Al-Qur’an Berdasarkan Kitab At-Tibyan

Retorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta

0
Retorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta
Ilustrasi berhala kaum Nabi Ibrahim

Terdapat sebuah relasi implikatif antara Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal ini terlihat misalnya pada salah satu implementasi dari fungsi Al-Qur’an sebagai al-huda (petunjuk). Sudah semestinya, suatu petunjuk adalah berupa hal yang dapat dipahami oleh audiens. Demikian juga Al-Qur’an yang turun dalam konteks sosial bangsa Arab yang sarat akan kemapanan sastra. Maka tak heran jika Al-Qur’an juga memuat sastra yang beberapa langkah jauh lebih maju dari yang telah ada.

Kehebatan Al-Qur’an dalam menyampaikan kisah-kisah tak lepas dari aspek gaya bahasa yang memiliki sirr (rahasia) makna tersendiri. Misalnya pada kisah Nabi Ibrahim a.s. tentang penolakan terhadap ajakan kaumnya untuk merayakan hari besar mereka (QS. Ash-Shaffat [37]: 83-90). Selain itu, juga kisah tentang pengelakan atas tuduhan penghancuran berhala (QS. Al-Anbiya’ [21]: 51-70). Dari kedua kisah ini, muncul persoalan tentang perkataan Nabi Ibrahim yang tak sesuai dengan realita yang ada. Suatu riwayat dari Abu Hurairah menyatakan;

لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَّا ثَلَاثَ كَذَبَاتٍ ثِنْتَيْنِ مِنْهُنَّ فِي ذَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوْلُهُ { إِنِّي سَقِيمٌ } وَقَوْلُهُ { بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا } وَقَالَ بَيْنَا هُوَ ذَاتَ يَوْمٍ وَسَارَةُ إِذْ أَتَى عَلَى جَبَّارٍ مِنْ الْجَبَابِرَةِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ هَا هُنَا رَجُلًا مَعَهُ امْرَأَةٌ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَ أُخْتِي فَأَتَتْ سَارَةُ قَالَ يَا سَارَةُ لَيْسَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مُؤْمِنٌ غَيْرِي وَغَيْرَكِ وَإِنَّ هَذَا سَأَلَنِي فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّكِ أُخْتِي فَلَا تُكَذِّبِينِي

“Nabi Ibrahim a.s. tidak pernah berbohong kecuali tiga kali. Dua di antaranya adalah dalam masalah dzat Allah ‘azza wajalla, yaitu ucapannya “inni saqiim (sesungguhnya aku ini sedang sakit) dan “bal fa’alahu kabiiruhum haadzaa” (akan tetapi patung yang besar inilah yang melakukannya). Beliau bersabda: “Dan ketika pada suatu hari dia sedang bersama dengan Sarah, istrinya, saat beliau datang kepada seorang raja yang zhalim. Lalu raja tersebut diberi informasi bahwa akan ada seorang laki-laki bersama seorang wanita yang paling cantik. Maka diutuslah seseorang menemui Ibrahim, lalu utusan itu bertanya kepadanya; “Siapakah wanita ini?”. Ibrahim menjawab; “Dia saudara perempuanku”. Lalu Sarah datang, maka Ibrahim berkata: “Wahai Sarah, tidak ada orang beriman di muka bumi ini kecuali aku dan kamu dan orang ini bertanya kepadaku lalu aku beritahu bahwa kamu adalah saudara perempuanku maka janganlah kamu mendustakan aku”. (HR. Bukhari).

Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Lantas, bagaimana bisa Sang Kekasih Allah (khalilullah) dikatakan telah berdusta?

Terlalu dini rasanya untuk menyimpulkan demikian. Pasalnya, menjustifikasi Nabi Ibrahim a.s. telah berdusta berarti menciderai ke-ishmah-annya (keterjagaan para nabi dari berbuat dosa). Terlebih di antara sifat wajib nabi/rasul adalah shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya). Namun sifat fathanah (cerdas) juga tak terlupa. Perkataan Nabi Ibrahim a.s. yang tak sesuai realita tak lain adalah sebuah siasat cerdas menghindari dusta, demi tujuan mulia, menyeru meng-Esa-an Allah.

Bagaimana dengan redaksi kadzib dalam hadis di atas?

Ibnu ‘Athiyyah (w. 546 H.) ketika menafsirkan QS. Al-Shaffat[37]: 89 dalam al-Muharrar al-Wajiz mencoba mengklarifikasi kata kadzib dalam hadis ini. Bahwa redaksi kadzib dalam hadis dimaknai dengan kebohongan dalam perspektif lawan bicara. Perkataan “Saya sakit” dalam QS. Al-Shaffat [37]: 89 misalnya. Para mufassir saling berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Namun mayoritas sepakat bahwa Nabi Ibrahim a.s. tidak berdusta, hanya menerapkan seni berbahasa.

Hal demikian ternyata dapat dibenarkan dalam sudut pandang sastra. Menurut Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, uslub ini dalam ilmu balaghah biasa disebut dengan fann al-tauriyah dan fann al-ta’ridh.

Tauriyah berarti menyebut suatu kata yang memiliki dua makna, yaitu makna dekat dan jelas serta makna jauh dan samar. Makna jauh inilah yang dikehendaki oleh pembicara. Sedangkan ta’ridh (sindiran) berarti ucapan yang disampaikan dan dimaksudkan untuk menunjukkan suatu makna lain yang dipahami dari konteks kalimatnya.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Siasat serupa dalam kisah Imam Syafi’i

Siasat serupa juga pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i saat terjadi mihnah khalq al-Qur’an (perselisihan tentang isu penciptaan Al-Qur’an) pada sekitar tahun 833-849 M. Pemerintahan Abbasiyyah kala itu dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun dengan dominasi teologi Mu’tazilah yang sangat teguh menilai Al-Qur’an sebagai makhluk (bukan qadiim).

Konon, suatu hari sang khalifah hendak menguji akidah para tokoh-tokoh Islam. Mereka yang sepaham dengan Mu’tazilah akan aman. Sebaliknya, siapa yang menentang akan menerima siksaan dan hukuman berat. Imam Syafi’i menghadapi ujian tersebut dengan menjawab;

“Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Keempat ini adalah makhluk” (sambil mengiringi perkataannya dengan mengangkat keempat jarinya).

Artinya, pengakuan makhluk yang dimaksud ditujukan pada keempat jari Imam Syafi’i sendiri, bukan pada keempat kitab. Hal ini yang menjadikan beliau selamat dari fitnah mihnah. Berbeda dengan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal -tanpa mengurangi rasa hormat- yang menjawab dengan tanpa sentuhan retorika (balaghah), sehingga bernasib berbeda. Dalam hal ini, pemahaman terhadap penggunaan makna haqiqi (hakikat) dan majazi (kiasan) adalah kunci.

Konsep makna hakiki dan majazi lazim ditemui dalam syair-syair berbahasa Arab. Dalam Al-Qur’an, konsep ini justru menjadi satu dari beragam sisi kemukjizatannya. Keberadaan makna majazi telah membuka peluang bagi para mufassir dalam mewarnai khazanah penafsiran. Lebih jauh tentang pandangan para mufasir dalam memaknai perkataan retorik Nabi Ibrahim a.s., insyaallah akan penulis sambung pada tulisan berikutnya. wa al-shawaab lillah.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Perbandingan Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia dan Aplikasi Qur’an Kemenag

0
Aplikasi Qur'an
User Interface pada Aplikasi Qur'an Kemenag

Seperti yang telah penulis kemukakan pada tulisan yang lalu (baca selengkapnya: Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (Part 2)), bahwa temuan perbedaan pembubuhan tanda waqaf hanya penulis dasarkan pada mushaf-mushaf cetak non-Kemenag dan aplikasi Qur’an Kemenag, tanpa merujuk pada mushaf cetak Kemenag, baik tahun 1986 atau pun 2012.

Karena tidak melakukan rujukan pada mushaf cetak ini, penulis juga memberikan catatan bahwa ada kemungkinan ditemukannya perbedaan antara Al-Qur’an Kemenag versi cetak dengan versi aplikasi. Nah, beberapa waktu yang lalu penulis mendapatkan kiriman capture gambar mushaf cetak Kemenag tahun 1986 dan 2011, yang setelah penulis bandingkan dengan versi aplikasinya memang memiliki beberapa perbedaan.

Dalam tulisan kali ini, ijinkan penulis bagikan hasil tangkapan perbedaan yang telah penulis kompilasi dan klasifikasi dalam beberapa aspek: kaligrafi, rasm ‘utsmaniy, dan tanda waqaf. Temuan perbedaan ini hanya penulis dasarkan pada research singkat dan terbatas pada objek yang sama pada tulisan sebelumnya, yakni halaman mushaf yang berisi Surah Ali Imron ayat 3-11.

Oleh karenanya, hasil temuan penulis ini boleh jadi belum merepresentasikan keseluruhan perbedaan mushaf cetak Kemenag dengan versi aplikasinya. Sehingga pintu penelitian masih terbuka lebar bagi pembaca sekalian yang memiliki minat kajian terhadap dunia permushafan Indonesia. Okay, tanpa berpanjang lebar langsung kita simak saja ulasannya.

Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama

Objek perbandingan dalam tulisan kali ini adalah mushaf-mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama versi cetak dan aplikasi. Versi cetak yang penulis rujuk adalah cetakan tahun 1985/1986 dengan sampul luar berwarna biru, cetakan tahun 2011 dengan sampul berwarna hijau, dan cetakan tahun 2016. Sedangkan untuk versi aplikasi menggunakan Qur’an Kemenag.

Data sementara yang penulis miliki, menunjukkan bahwa mushaf Kemenag cetakan 2011 dan 2016 merupakan remake atau barangkali penyempurnaan (?) dari edisi 2002 (edisi kedua). Mushaf edisi 2002 sendiri merupakan pembaharuan dari mushaf edisi pertama tahun 1983 yang kemudian mengalami penyempurnaan pada dua cetakan berikutnya, yakni 1984/1985 dan 1985/1986.

Perbandingan antara kedua mushaf edisi ini (edisi 1983 dan 2002) dapat pembaca rujuk selengkapnya pada kajian Zainal Arifin Madzkur berjudul Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia: Studi Komparatif atas Mushaf Standar Usmani 1983 dan 2002. Diantara perubahan dan penyempurnaan yang diulas oleh Arifin adalah bentuk kaligrafi yang menjadi lebih gemuk, penyederhanaan tanda waqaf, dan pembenahan rasm ‘utsmaniy.

Sementara versi aplikasi yang penulis gunakan adalah versi 2.0.0 beta 4 dengan format android, sebagaimana tertera dalam deskripsi singkat aplikasi. Deskripsi ini juga menyebutkan bahwa ayat Al-Qur’an yang tertulis menggunakan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia Rasm Usmani. Artinya bukan Mushaf Al-Qur’an Standar Bahriyah atau bahkan Mushaf Al-Qur’an Standar Braille.

Perbandingan Mushaf Cetak dan Aplikasi Qur’an Kemenag

Seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa aspek perbandingan yang ingin penulis bicarakan mencakup 3 aspek: kaligrafi, rasm ‘utsmaniy, dan tanda waqaf. Kaligrafi dalam aplikasi Qur’an Kemenag mengalami perubahan dari mushaf cetak edisi kedua. Deskripsi singkat aplikasi menyebutkan bahwa kaligrafi (font) yang digunakan adalah Isep Misbah. Font ini berasal dari tulisan tangan kaligrafer bernama Isep Misbah yang mengalami penyesuaian dan penambahan karakter, yang karenanya dinamakan dengan Isep Misbah.

Bentuk kaligrafi aplikasi Qur’an ini mengalami perampingan dari mushaf cetak edisi kedua (2002) yang agak gemuk dan tebal, mirip dengan mushaf Bombay. Sebelumnya, mushaf cetak edisi kedua ini juga mengalami perubahan dengan penggemukan anatomi huruf dari mushaf cetak edisi pertama (1983) yang cenderung ramping.

Perubahan bentuk kaligrafi, terutama dari segi kerampingan tubuh huruf, dari yang semula ramping (mushaf 1983), menjadi gemuk (mushaf 2002), dan kembali menjadi ramping (mushaf aplikasi) agaknya terpengaruh oleh gaya penulisan modern yang cenderung ramping. Gaya penulisan modern ini barangkali dipengaruhi oleh dominasi dan hegemoni mushaf Madinah cetakan Mujamma‘ Malik Fahd yang menggunakan kaligrafi Uthman Taha yang ramping dan menimbulkan kesan elegan.

Sedangkan dari aspek rasm ‘utsmaniy, terlihat bahwa mushaf versi aplikasi telah mengalami sedikit penyempurnaan dari versi cetak baik edisi pertama (1983) maupun edisi kedua (2002). Hal ini penulis temukan pada penulisan kata والراسخون yang tidak lagi menggunakan alif madd setelah huruf ra’ dan digantikan dengan fatah berdiri.

Hal ini sesuai dengan kaidah penulisan rasm ‘utsmaniy yang menyebutkan bahwa penulisan kata yang mengikuti bentuk jama‘ mudzakar salim ditulis dengan menggunakan tanpa alif, seperti halnya pada jama‘ mu’annats salim yang ditulis dengan tanpa alif jama‘. Hanya saja, penulisan jama‘ mu’annats sudah dilakukan tanpa alif sejak mushaf cetak edisi pertama (1983).

Namun demikian, penulis tidak mengetahui sejauh mana konsistensi pembaharuan rasm ini. Apakah berlaku pada setiap penulisan jama‘ mudzakar salim yang lain atau tidak. Tetapi jika melihat kasus jama‘ mu’annats, pembaharuan ini boleh jadi berlaku secara konsisten. Selain itu, penulis juga tidak mengetahui perluasan penerapan kaidah rasm pada kaidah yang lain mengingat keterbatasan data yang penulis miliki.

Adapun aspek yang terakhir, yakni tanda waqaf, penulis tidak mendapati banyak perubahan. Namun secara umum ada beberapa pengurangan tanda waqaf pada mushaf versi aplikasi. Hal ini sebagaimana telah dibicarakan pada tulisan yang lalu, yakni waqaf lazim (mim) sebelum kata wa al-rasikhun. Namun pengurangan tanda ini agaknya memiliki implikasi yang cukup berarti pada sisi pemaknaan dan pemahaman, sebagaimana juga telah dibicarakan pada tulisan yang lalu.

Kesimpulan

Dari pemaparan perbandingan di atas dapat diketahui bahwa secara umum aplikasi Qur’an Kemenag mengalami perubahan yang positif dari mushaf versi cetak sebelumnya. Hal ini terlihat dari penempatan tanda waqaf yang lebih tepat dan penyempurnaan kaidah rasm ‘utsmaniy dalam beberapa penulisan. Selain itu, model kaligrafi yang lebih slim dan elegan juga sesuai dengan keinginan pasar pembaca mushaf modern saat ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Mengulik Makna Ta’dib Sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

0
Pendidikan Islam
Makna Ta'dib sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Pada dua artikel sebelumnya telah dijelaskan pengertian tarbiyah dan ta’lim, maka pada pembahasan kali ini akan diulas istilah ta’dib dalam pendidikan Islam. Jika kedua kata di awal mengandaikan satu proses pendidikan, kepengasuhan, dan kegiatan belajar mengajar, maka kata ta’dib lebih menitikberatkan pada aspek adab, sopan santun atau tata krama. Menurut Syed Naquib al-Attas, kata ta’dib lebih tepat digunakan dalam pendidikan Islam daripada istilah tarbiyah.

Pengertian Ta’dib

Secara literal, ta’dib berasal dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban, sebagaimana dikemukakan Atiyah al-Abrashi dalam Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, yang berkonotasi pada pembimbingan peserta didik oleh seorang pendidik, terutama akhlakul karimah. Ibn Mandzur dalam Lisan al-‘Arab seperti yang dikutip Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam, ta’dib merujuk pada pendidikan adab atau sopan santun. Arti dasar ta’dib, menurut Ibn Mandzur, yaitu “undangan kepada suatu perjamuan”.

Makna “perjamuan” menyiratkan bahwa tuan rumah adalah orang yang mulia dan tentu banyak sekali orang yang hadir di dalam acara tersebut. Mereka yang hadir, demikian kata Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education, adalah orang-orang yang berkedudukan mulia, terhormat, berpendidikan tinggi sehingga diharapkan dapat berperilaku, bersikap yang baik lagi sopan maupun bertutur kata yang baik (qaulan kariman).

Pengertian yang disuguhkan Al-Attas merujuk pada hadits Nabi saw dalam Syarah Sunan al-Darimi (Fathul Mannan),

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ خَالِدِ بْنِ حَازِمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا أَبُو سِنَانٍ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي الْأَحْوَصِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللَّهِ فَخُذُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنِّي لَا أَعْلَمُ شَيْئًا أَصْفَرَ مِنْ خَيْرٍ مِنْ بَيْتٍ لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ وَإِنَّ الْقَلْبَ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ شَيْءٌ خَرِبٌ كَخَرَابِ الْبَيْتِ الَّذِي لَا سَاكِنَ لَهُ

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Khalid bin Hazim telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Abu Sinan dari Abu Ishaq dari Abu Al Ahwash dari Abdullah ia berkata, “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah jamuan Allah, maka ambillah darinya semampu kalian. Sungguh, aku tidak mengetahui sesuatu yang lebih kosong dari kebaikan selain rumah yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an. Sungguh, hati yang di dalamnya tidak ada bacaan Al Qur’an adalah hancur seperti hancurnya rumah yang tidak berpenghuni.” (H.R. al-Darimi nomor 3173).

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda, “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik). Di dalam hadits tersebut, kata ta’dib secara eksplisit diartikan dengan pendidikan, dari kata addaba yang berarti mendidik dengan adab. Term ini, menurut al-Zajjaj sebagaimana dikutip Ibn Mandzur, dimaknai sebagai cara Tuhan mendidik Nabi-Nya, yang sudah barang tentu mengandung konsepsi pendidikan yang sempurna.

Lebih jauh, Ibn Mandzur seperti yang dikutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Quran tentang Pendidikan, ta’dib juga dapat dimaknai dengan doa. Sebab doa mampu membimbing manusia kepada sifat yang terpuji dan menghindarikan dari hal-hal yang tidak terpuji. Bahkan, cendekiawan Muslim Indonesia, al-Attas meneguhkan kata ta’dib untuk menggambarkan pendidikan Islam ketimbang tarbiyah.

Meskipun kata adab tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, namun ditemukan pujian yang terkait dengan akhlak Nabi saw sebagaiamana yang terekam dalam Q.S. al-Qalam [68]: 4,

وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti luhur”. (Q.S. al-Qalamm [68]: 4).

Ayat di atas khususnya diksi la’ala (berada di atas) menunjukkan betapa adab (budi pekerti) Nabi saw melampaui batas budi pekerti manusia pada umumnya sehingga Allah swt begitu “takjub dan terkesima” dengan akhlak Rasul saw yang terlampau luhur dan mulia.

Ta’dib sebagai Nomenklatur Pendidikan Islam

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam The Concept of Islamic Education menawarkan sekaligus mengampanyekan agar pendidikan Islam lebih menitikberatkan pada konsep ta’dib. Artinya, pemaduan dan pengembangan antara ta’lim dengan tarbiyah harus dalam konteks ta’dib. Jangan sampai pendidikan Islam tercerabut dari akhlakul karimah.

Menurut al-Attas, ia memandang bahwa ta’dib lebih “pas” untuk menerjemahkan pendidikan Islam dikarenakan struktur term ta’dib sudah mencakup fitur-fitur ‘ilm (ilmu), ta’lim (pembelajaran), dan tarbiyah (pembinaan dan pendidikan). Dalam konteks demikian, pendidikan Islam menurut al-Attas adalah proses penanaman adab ke dalam diri manusia yang dilakukan sejak usia dini hingga dewasa. Proses ini dilakukan secara berkelanjutan dan dengan bimbingan guru yang memadai.

Jika ta’lim meniscayakan aktualisasi pemahaman siswa dengan mendemonstrasikan materi pelajaran secara beragam, maka ta’dib mensyaratkan ilmu pengetahuan dan bimbingan yang memadai serta metode yang benar. Pendek kata, muara daripada ta’lim dan tarbiyah adalah ta’dib. Ta’dib adalah sebuah proses pengenalan, pemahaman dan pembiasaan serta pengembangan karakter sehingga membentuk akhlakul karimah dan mendekati fitrahnya sebagai manusia yang selalu cenderung ingin berbuat kebaikan (al-insan ‘abdul ihsan).

Sebagai penutup, mengutip Masdar Hilmy dalam Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmiah, jika ta’lim berimplikasi pada makna pendidikan Islam yang “sempit” sebagai sekadar proses belajar mengajar, maka tarbiyah dan ta’dib berimplikasi pada pemaknaan pendidikan Islam yang lebih ekstensif dan generik, yaitu sebagai sebuah proses belajar-mengajar yang tidak dibatas oleh sekat-sekat ruang dan waktu. Konten dan metode pembelajaran tarbiyah dan terutama ta’dib lebih bersifat cair (fluid), fleksibel, pembiasaan, dan serba mencakup (all-encompassing). Wallahu A’lam.